Lahat ng Kabanata ng IZINKAN AKU MENCINTAIMU: Kabanata 11 - Kabanata 20
97 Kabanata
BAB 11
POV : RANIA Awan gelap menggantung di angkasa. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Kini, langit tak lagi menampakkan sisi cerahnya. Mungkin sama gelapnya dengan perasaan Ummi kali ini. Dengan berurai air mata mau tak mau, rela tak rela harus melepas kepergian anak lelaki kesayangannya. "Jangan terlalu bersedih, Mi. Kalau ada waktu libur, Gaza pasti akan pulang. Atau kalau Umi terlalu rindu, datang saja menjenguk Gaza ke sana," pamit laki-laki itu dengan senyum tipis. "Umi pasti akan sangat merindukanmu, Za. Pasti." Perempuan tengah baya dengan jilbab lebarnya itu berulang kali menyeka kedua sudut matanya yang basah. Berulang kali pula dia memeluk anak laki-laki kesayangannya itu. "Makanya doakan Gaza biar lekas dapat calon istri, Mi. Biar nanti bisa di rumah terus menemani umi." "Iya. Umi selalu mendoakan kamu setiap waktu, Za." "Umi bilang mau menantu yang cantik, kan? Di sana pasti banyak calon menantu yang cantik seperti keinginan umi." Lagi, laki-laki itu mencoba untuk te
Magbasa pa
BAB 12
Flashback on (Pov : IBU) Sahabat adalah seseorang yang memahami seluk beluk kehidupan kita, baik suka maupun duka. Seperti air mata dengan telapak tangan, yang selalu setia bersama saat berada di titik kesedihan. Seperti teh dengan gula yang saling mengikat membuat kebersamaan terasa lebih manis dan hangat. Ah, entah. Yang pasti, persahabatanku dengan Nadia memang terjalin cukup lama dan erat. Tak pernah berselisih, bahkan semakin saling sayang dan penuh kasih. Tak hanya sekadar sahabat dekat, namun hubunganku dengannya bisa dibilang lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Apalagi aku yang memang tak punya saudara lagi semenjak kepergian kakak kandungku belasan tahun silam. Nadia, sudah kuanggap sahabat sekaligus kakakku sendiri. Aku tahu saat Nadia begitu terpuruk, pun saat dia sudah berada di pucuk. Dia tak pernah melupakan aku karena lagi-lagi dia sudah menganggapku bagian dari keluarga. Meski begitu, tak lantas aku terus ikut mencampuri kehidupan pribadinya, tetap ada cela
Magbasa pa
BAB 13
Pov : RANIA Dering ponsel terdengar begitu nyaring. Mas Azka mengambil ponsel itu dari atas meja lalu menatap layarnya dengan sedikit ternganga. "Siapa, Mas?" Aku ikut mengernyitkan dahi saat melihat ekspresi Mas Azka. "Ibu," jawabnya lirih sembari menempelkan telunjuk ke bibirnya. Aku hanya mengangguk pelan. "Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana kabarnya? Ibu sehat?" tanya Mas Azka memulai pembicaraan. "Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah sehat, Ka. Kamu sama Rania bagaimana? Sehat juga?" Suara ibu terdengar cukup keras sebab Mas Azka menyalakan loud speaker handphonenya. "Alhamdulillah kami sehat, Bu. Ini Rania juga belum tidur. Baru saja ngobrol ngalor-ngidul," ucap Mas Azka sembari tersenyum tipis. "Alhamulillah kalau begitu. Ibu boleh ngobrol sebentar dengan Rania?" tanya ibu kemudian. "Boleh dong, Bu. Masa mau ngobrol sama anak kesayangan nggak boleh," ucap Mas Azka lagi. Terdengar suara tawa renyah ibu dari seberang, pun Mas Azka. Dia berikan ponselnya ke tanganku lalu pami
Magbasa pa
BAB 14
Pov : Azka "Assalamu'alaikum." Aku dan Rania menyapa ummi yang masih sibuk merapikan pot-pot bunga hiasnya. "Wa'alaikumsalam." Ummi balik badan, seketika memeluk Rania begitu erat. Kedua matanya yang basah menandakan ada kekhawatiran dan rindu yang dia simpan cukup dalam. Rindu pada menantu kesayangannya. Aku dan Rania bergantian mencium punggung tangan ummi. Ummi menatap Rania cukup intens lalu tersenyum kecil. Senyum yang begitu menenangkan. "Gimana kabarmu, Rania? Baik-baik saja, kan? Ummi sangat mengkhawatirkanmu," ucapnya kemudian. Tangan kanan ummi mengusap pelan punggung Rania. Sementara padaku, ummi hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar seperti biasanya. Setelah cuci tangan, Ummi mengajak kami masuk ke rumah. Seperti tamu yang begitu ditunggu, ummi meminta Rania duduk di sofa sebelahnya lalu menanyakan apa saja kegiatannya di kontrakan bersamaku. "Pagi-pagi Nia dan Mas Azka membuat sarapan, Mi. Membuat adonan martabak, sebelum ashar kami sudah sampai di tempa
Magbasa pa
BAB 15
Pov : ALIF Mungkin mereka pikir, aku akan diam saja saat laki-laki itu menjatuhkan talaknya begitu saja pada Rania. Mungkin mereka kira, aku hanya menatap geram tanpa bisa berbuat apa-apa. Padahal aku tak akan pernah membiarkan siapa pun menyakiti adikku apalagi sampai memfitnah dia. Siapa pun orangnya, karena dampak fitnah cukup fatal dalam kehidupan seseorang. Bahkan dalam Alqur'an juga sudah dijelaskan jika fitnah lebih kejam daripada pembunuhan¹. Sinar mentari pagi mulai masuk kamar melalui celah-celah jendela. Daun pohon mangga di depan kamar pun gemerisik tertiup angin pagi. Aku sudah siap untuk misi penyelidikan kasus Rania. Kupacu perlahan motor membelah jalanan beraspal yang masih cukup lengang dan belum terlalu padat, mungkin masih terlalu pagi untuk para pekerja melakukan kegiatan hariannya. Bagus lah, belum ada kemacetan yang membuat pusing kepala. Jalan Pajajaran 23. Rumah bercat abu muda dengan taman kecil di samping garasi. Gegas kuparkir motor di seberang jalan, ma
Magbasa pa
BAB 16
Pov : Azka "Maaf, Ka. Apa nggak sebaiknya kamu sendiri yang bilang sama abah dan ummi soal rekaman ini?" Pertanyaan Mas Alif membuatku sedikit berpikir.  "Baiknya kita sama-sama bilang, ya, Mas? Kalau misal aku sendiri yang bilang, biasanya ummi nggak begitu menggubris. Beda kalau ada Mas Alif," jawabku kemudian. Mas Alif menatapku beberapa saat lalu menganggukkan kepala. Tandanya dia mengikuti saran yang kuberikan.  Sambil mengobrol ringan, aku dan Mas Alif menuju taman belakang dimana ummi dan abah biasa santai bersama. Sementara Rania masih ada di kamarnya, membaca novel dari penulis kesayangan.  Dia memang senang membaca, namun cukup pemilih siapa saja penulis favoritnya. Kemarin sengaja aku membelikan dia tiga novel penulis favoritnya secara online. Sebuah kejutan kecil yang membuat Rania tampak begitu bahagia dan aku senang bisa membuatnya tersenyum begitu ceria.  "Assalamu'alaikum, Mi, Bah. Ada Mas Alif," uca
Magbasa pa
BAB 17
Pov : Azka Kisah cintaku dimulai dari sini. Saat aku berhasil membuat wajahnya yang ayu tampak malu-malu. Senyum manis itu pun mengembang di kedua sudut bibir tipisnya. Rania ... Perlahan dia berani membuka hijab yang selama ini menutupi rambut panjangnya. Wangi shampo menguar ke penciuman hingga membuatku terhanyut dalam dekap cintanya yang menenangkan dan menyenangkan. Dalam keletihan, kupandangi wajahnya yang begitu mempesona. Dia adalah salah satu anugerah terindah dariNya dalam hidupku. Dia mampu membalut sedikit demi sedikit hatiku yang penuh luka dengan tawa. Dia mampu menyirami jiwaku yang penuh duka dengan kelembutan dan cintanya yang tak biasa. Sederhana tapi sangat terasa dalam dada. Sejak ada dia dalam hidupku, tiap denting waktu terasa begitu istimewa. Senyumnya ... tawanya ... kelembutannya ... dan semua yang ada pada dia begitu membuatku tergi°a-gi°a. Sejak ada dia, ada kenikmatan berbeda tiap kali kumembuka mata
Magbasa pa
BAB 18
POV : Gaza Pikiranku mendadak kacau sejak membaca pesan panjang yang dikirimkan Azka. Sahabat-sahabatku yang sengaja menghancurkan pernikahanku dengan Rania? Benarkah? Kali ini bercandanya memang benar-benar kelewatan. Bagaimana mungkin persahabatan yang selama ini aku genggam erat bisa dijadikannya lelucon murahan. Tapi ... bukankah selama ini Azka memang hampir tak pernah bercanda? Apalagi denganku?Jadi gimana? Apa benar dua diantara ketiga sahabatku itu dalang dari ini semua? |Mas Gaza, baiknya kamu tanyakan sendiri apa yang sudah dua sahabatmu lakukan pada Rania. Sahabat yang begitu kamu percaya ternyata menusukmu dari belakang.| Dua sahabatku. Siapakah itu? Ahdan dengan Windy? Windy dengan Yoanda? Ahdan dengan Yoanda atau siapa diantara mereka yang sudah bersekongkol menghancurkanku? Kepala mendadak pusing memikirkan semuanya. Mereka benar-benar kelewatan jika memang ucapan Azka benar adanya. Kurang apa aku sebagai sahabat? Tiap ke makan atau ke mall, selalu aku yang ke
Magbasa pa
BAB 19
Pov : Azka "Za, kapan sampai rumah? Kok nggak bilang ummi dulu kalau mau pulang. Nggak ada yang jemput dong jadinya," ucap ummi begitu berbinar, saat ia dapati Mas Gaza sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sejak pagi hingga sesore ini ummi memang nggak ada di rumah, ada kegiatan dengan kawan arisannya. Sedangkan aku dan Rania baru pulang dari rumah ibu, kebetulan bertemu ummi di pertigaan gang perumahan. "Baru sampai kok, Mi. Setengah jam yang lalu," ucapnya sembari melirikku. Aku? Atau Rania? Entah! "Gimana kabarnya, Mas? Baik?" tanyaku mencoba kembali beramah-tamah padanya, meski kulihat wajahnya masih tampak tak bersahabat. Mungkin karena lelah. Mungkin juga karena memikirkan pesan yang kukirimkan padanya kemarin. Sementara Rania masih menggamit lenganku mesra. Aku laki-laki, bisa merasakan jika kini dia agak salah tingkah. Beberapa kali kutemukan matanya menatap lenganku. Tatapannya pada Rania juga sudah berubah. Tak seperti sebelum pergi ke Kairo yang terlihat jijik dan pen
Magbasa pa
BAB 20
Pov : Azka "Rania, aku minta maaf."  Laki-laki yang wajahnya serupa denganku itu menundukkan kepalanya. Baru kali ini kudengar sebuah kata maaf keluar dari bibir itu. Biasanya, dia terlalu angkuh untuk sekadar mengakui kesalahan dan minta maaf atas kekeliruannya.  Hanya alibi dan berbagai alasan yang dia ungkapkan tanpa mau introspeksi atas kesalahan yang dia lakukan. Sebuah keajaiban bisa menundukkan wajah Mas Gaza dan membuatnya minta maaf.  Rania yang masih duduk di pembaringan hanya menatapnya sekilas, lalu kembali terisak di pundakku. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, sementara tanganku masih terus mengusap punggungnya pelan.   Ummi pun masih menangis di samping abah, sementara mas Alif terdiam di sofa kamar, menatap adik perempuannya dengan tatapan iba dan cinta. "Aku benar-benar minta maaf, Rania. Harusnya aku memang mendengarkan penjelasanmu dulu, bukan langsung menjatuhkan talak itu. Aku sangat
Magbasa pa
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status