All Chapters of Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku: Chapter 11 - Chapter 20
47 Chapters
Bagian 11
Ibu meminta bicara padaku. Ia nampak gusar, mungkin mengenai usulku membawa Niar ke Psiater. "Den, kita lihat dulu ke depan. Kalau misalnya Niar menunjukkan gejala aneh, nanti ibu carikan psikiater untuknya. Alasannya, ibu tak pernah menganggap Niar ada gangguan. Gimana, Den?" Rasanya tak sependapat dengan hal itu, tapi aku akan mencoba mengikutinya. Lagian sekarang ada kamera pengawas, aku nggak terlalu khawatir. "Baik, bu. Aku akan mengamati perkembangan Niar ke depan. Jika dia semakin susah diajak bicara, aku kan langsung membawanya ke psikiater," ucapku pada ibu. "Okey." Ibu setuju dengan pendapatku. Pagi ini ku lihat Kak Ayu yang sibuk di dapur, ia dibantu oleh kedua anaknya, Farrel dan Ayesa. Terlihat Farrel mengepel lantai setelah Ayesa yang menyapunya terlebih dahulu. 'Baguslah,' pikirku saat melihatnya. Anakku Icha masih belum bangun, ia masih tertidur. Aku menemui Niar yang sudah terbangun dan salat subuh, karena ku b
Read more
Bagian 12
"Dek, kenapa Farhan ada di bawah? Kamu apain dia?" Aku berlari mengambil Farhan yang tengkurap di atas lantai."Tidaaak, aku tidak melemparnya. Aku kaget lihat dia di bawah." Niar bicara dengan pandangan lurus ke depan."Jadi, Farhan jatuh sendiri?""Tadi, ada yang ngintip di pintu! Ku tutup pintu. Dia jatuh!"Niar bicara dengan ketakutan. Aku mencoba menenangkannya, lalu mendudukkannya di bibir ranjang."Sebentar, aku ambilkan minum dulu ya, Dek!"Farhan masih ku gendong, ia tak menangis sedikit pun, hanya bergumam sesekali."Dek, ini minum dulu!"Niar mengambil air dari tanganku, lalu meminumnya. Setelah itu aku ambil, dan ku simpan di atas nakas."Bang, aku takut!" Niar berkata tanpa memandangku."Takut apa, Niar? Siapa yang ngintip? Di rumah ini hanya ada kita berempat.""Ada yang ngintip." Niar masih ketakutan."Ya udah, nanti Abang cari siapa orangnya."Aku mengambil gawai dari saku. Aku
Read more
Bagian 13
"Uuuuhhh ... Nggak enak!"Mata kami sama-sama ke arah Icha. Lalu, aku menoleh ke arah kak Ayu. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Wajahnya memerah, kak Ayu grogi saat aku perhatikan.Sebelumnya aku katakan pada Icha agar jangan berbicara tak baik pada makanan."Tapi kan ini nggak enak. Enak masakan Mama," katanya."Papa coba, ya!" Aku mencoba makanan itu.Rasanya memang tak karuan. Udang saos tiram keasinan, capcaynya tak berasa. 'Kok bisa kak Ayu yang sudah punya jadwal masak memasak yang seperti ini,' ucapku dalam hati.Aku menatap lagi pada kak Ayu. Dia semakin gusar, keringat mengucur  di wajahnya."Baiklah, kak Ayu ikut aku dulu!" perintahku pada kakak perempuanku ini. "Icha tunggu sama mama ya! Nanti papa pesankan makanan buat makan kita," kataku."Iya, Pa."Kak Ayu mengikutiku, tapi ibu mengekor di belakangnya. Ketika ku berbalik, aku menatap ibu."Kenapa ibu ikut? Mau bela kak Ayu?"
Read more
Bagian 14
Bu RatihSiang ini, aku, Ayu dan anak-anaknya pergi keluar untuk makan-makan. Seperti biasa, aku nikmati uang hasil jerih payah anakku Deni.Kepindahan kerja Deni menjadi berkah tersendiri buatku. Aku jadi lebih leluasa mengendalikan Niar.Namun, aku harus sembunyi-sembunyi dari Icha, dia tak boleh melihat saat aku bicara dengan mamanya. Makanya ku minta Farrel dan Ayesa mengajak main Icha saat aku menemui Niar.Ketika sampai rumah, aku terkejut Deni sudah sampai. Biasanya dia sampai larut malam, makanya aku dan Ayu makan-makan dulu, karena tau hal itu.Deni malah bertepuk tangan saat kami datang."Luar biasa nih ibu sama kak Ayu, habis makan-makan di luar, nggak ajak-ajak kami," sindir Deni.Langsung dijawab oleh Ayu kalau kami habis daftar sekolah Farrel."Benar itu, Bu?" Deni memastikan kebenaran jawaban Ayu padaku."Be-benar, Den!" Aku gugup saat menjawabnya.Deni tak banyak bicara, ia meninggalkan kami. Lalu
Read more
Bagian 15
Aku melihat dua hari ini, mereka aman-aman saja. Tapi ketika ku pantau malam ini, kamera pengawasku mati.Apa mungkin ibu dan kakakku tau tentang ini? Mereka mencabutnya sehingga aku tak bisa melihat aktivitas mereka.Apa yang harus kulakukan yaa Allah? Apa sebaiknya aku mengambil cuti untuk besok? Mmm ... Baiklah kuputuskan untuk mengambil cuti esok hari. Aku harus segera hubungi pihak HRD agar cuti dadakanku ini di ACC."Den, kamu kok resah begitu?""Iya aku sepertinya ingin pulang. Ada sesuatu yang terjadi dengan istriku sih kemungkinan besar!" Aku menjawab pertanyaan Rio."Jika dengan pulang, kamu semakin tenang, maka lakukanlah!" Nasehat Rio membuatku tenang."Terima kasih ya, Rio!"Selanjutnya aku menghubungi Bram, aku menanyakan perihal kamera pengawas yang ku pakai malah mati saat ini."Bisa jadi karena ketahuan, lalu dimatikan sambungannya." "Baiklah, Bram. Aku mengerti." Tekadku untuk pulang
Read more
Bagian 16
Pagi ini keadaan Niar sudah lebih baik. Dahinya sudah tidak panas, demamnya sembuh. Pagi ini aku belikan bubur ayam untuk kami sarapan. Ku belikan sekalian sepuluh bungkus. Takutnya ibu dan kak Ayu mau. Sedangkan aku tak mau ada keributan pagi ini gara-gara belum ada sarapan pagi. "Sayang, makan dulu, yuk! Aku udah beli bubur ayam," kataku sembari membimbingnya ke dapur. "Duduk di sini, ya!" Ku dekatkan kursiku di sebelahnya. Niar melihatku menuangkan bubur ayamnya. Lalu, aku mencoba menyuapinya. Tapi dia tak mau aku suapi. Diambilnya sendok dariku. Dia lebih baik makan sendiri. Aku pun mengambil piringku. Satu bungkus lagi ku tuang di piring, lalu aku menyendoknya. "Habiskan, Dek! Sayang kalau nggak habis. Soalnya aku rasa porsinya nggak terlalu banyak," kataku. Niar terus memakannya. Ia menyukai bubur ayam itu, lalu berhenti setelah piringnya kosong. Aku berikan segelas air putih untuk diminumnya. "Silahkan minum yang
Read more
Bagian 17
Pemeriksaan psikiater akan dilakukan hari ini. Aku dan Niar sudah berangkat pagi-pagi setelah menitipkan anak-anak pada Mak Elin.Sesampainya di rumah sakit, kami haru daftar poli, yang dituju adalah poli kesehatan jiwa. Beruntungnya mendapatkan antrian nomor dua. Sambil menunggu dokter datang, aku menggenggam tangan Niar. Aku harap dia bisa tenang dan menceritakan semua yang dirasakannya."Bagaimana, Sayang? Bisakah kamu nanti melakukannya?"Niar mengangguk tanda setuju.Tak lama, nama istriku dipanggil. Kami gegas masuk ke ruangan dokter. Dokter jiwa tersebut bernama Saptadji."Permisi, Pak Dokter, istri saya mau konsultasi dengan dokter," kataku."Baik, Pak. Silahkan masuk," katanya.Dokter menyambut kami dengan ramah. Ia juga mengapresiasi kami yang berani datang ke psikiater. Walau banyak tanggapan miring mengenai konsultasi ke psikiater. Padahal ada saatnya pertolongan psikiater dibutuhkan oleh seseorang.Set
Read more
Bagian 18
Sebelum pulang, aku memperhatikan aplikasi CCTV-ku. Kulihat ibu tengah memarahi Icha.Ibu sedang memainkan gawainya, lalu Icha datang membawa sesuatu, Icha bertanya tentang barang yang dibawanya.Ibu bukannya menjawab, malah memarahinya. Lalu tak segan mengusir Icha untuk menjauhinya.'Ibu lupa kalau tingkah lakunya dipantau olehku sekarang,' batinku.Aku tak memperlihatkan kejadian ini pada Niar. Takutnya akan menambah rasa khawatirnya semakin besar.Lalu kulihat Mak Elin kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah karena sambil mengasuh Farhan. Ibu dan Kak Ayu sama-sama tak mau direpotkan mengasuh anak-anak.Karena takut terlalu lama, kami langsung pulang.Sesampainya di rumah, ibuku menatap kami sembari melihat jam yang terpasang di dinding ruang tamu, seolah memberi kode kalau kami pulang terlambat."Kenapa, Bu?" tanyaku padanya."Kalian bawa jam, kan? Lihatlah sekarang sudah jam berapa?" tanya ibu ketus."Nggak baw
Read more
Bagian 19
Aku menunggu Kak Aldo datang karena kami janjian akan melihat-lihat rumah. Rencana aku akan pindah ke sana bersama keluargaku.Setelah aku memeriksa rekening koran tabungan Niar, aku menemui Kak Ayu menanyakan keberadaan Kak Aldo. Kak Ayu juga tidak begitu tau dimana suaminya berada."Coba saja kamu telepon, Den!""Sudah, tapi nggak diangkat.""Ya sudah, kita tunggu saja.""Baik, Kak."Aku menunggu Kak Aldo sembari bermain dengan Icha. Dia sangat senang memiliki mainan baru. Sebuah topi bulu berkarakter kelinci dengan telinganya yang dapat digerakkan seperti menari dengan menekan cakarnya. Terdapat pula hiasan lampu kelap-kelip didalam topi tersebut."Makasih ya, Papa. Aku punya buni het," kata Icha."Sama-sama, Icha. Papa juga seneng kalau kamu seneng, Cha!"Icha menyunggingkan senyumnya. Ia bermain masak-masakan sembari memakai topi karakter yang baru kubelikan tadi.Tak lama Bang Aldo datang."Hi, Bro. M
Read more
Bagian 20
Seusai membalas pesan dari Bang Aldo, tiba-tiba ibu telepon.'Siap-siap disemprot oleh ibu,' gumamku.Aku mengangkat telepon ibu."Halo, Deni. Kamu kok diem-diem pindah dari sini? Siapa yang ajarin bersikap seperti itu?""Memangnya salah kalau aku pindah ingin mandiri bersama keluargaku? Anak dan istriku butuh tempat yang nyaman, Bu.""Memangnya di rumah ibu nggak nyaman? Kamu aja hidup bersama ibu hampir tiga puluh tahun, nggak nyaman di mana coba?""Itu berbeda, Bu, kondisinya. Aku nyaman karena aku anak ibu. Sementara istriku dan anakku, ibu menganggap mereka orang lain. Betulkan apa yang aku katakan?""Nggak begitu, Den. Cepat kalian pulang lagi. Ibu harap kalian bisa tinggal di rumah ini lagi. Ibu kangen sama Icha," katanya."Maaf, Bu. Aku belum bisa menuruti kata Ibu. Biarkan kami tenang di tempat yang baru. Ibu doakan kami saja, ya!"Aku menutup telepon dari Ibu. Wanita itu memang yang melahirkanku, tapi aku tak b
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status