All Chapters of MARTA, cinta kedua: Chapter 61 - Chapter 70
79 Chapters
61. Mengikuti Alur untuk Bahagia
Sosok Panji yang terlihat suram berdiri tegak di depanku. Dari belakangnya Pak Haris terlihat berlari mendekati kami.Aku masih belum bisa bersuara setelah sekian lama. Seolah ada sesuatu yang membuatku bungkam. Panji terlihat sangat kacau. Kemeja yang dia pakai terlihat kusut. Wajahnya yang tampan terlihat muram, seperti tertutup kabut.Matanya tajam menyorot lurus ke arahku. Aku seperti terintimidasi olehnya. Aku bahkan tak sadar jika Ita dan Maya sudah di sebelahku."Ta," gumamnya pelan. Sangat pelan, hingga hanya seperti hembusan angin."Kamu ..., cantik."Omong kosong apa ini? Dia tiba-tiba muncul dengan kondisi yang berantakan, dan hanya mengucapkan kata itu? Ingin kulepas sepatu dan melempar ke arahnya.Tidak adakah kata yang lain?Kata yang lain? Apa? Apa yang kuharapkan?Apa aku baru saja mengharapkannya memintaku mundur dari pernikahan ini?Aku ingin berteriak memakinya. Mengungkapkan putus asaku yang seperti dimainkan olehnya. Aku ingin mencakar wajah sombong, yang sayangny
Read more
62.
Aku mengamati wajah lelaki yang saat ini sedang menikmati makan malamnya. Dia terlihat begitu menikmati, sesekali berkomentar tentang kelezatan hidangan yang di olah chef kepercayaannya.“Kamu suka?“ tanyanya entah untuk yang keberapa kali.Aku tersenyum. Arka membalas senyumku dengan lengkungan bibir, kadang diselingi kedipan mata.Sebenarnya aku tidak pernah memimpikan hal ini sama sekali. Tidak pernah terpikir jika aku akan dengan cepat menemukan pengganti Akmal. Belum setahun, bahkan masih dalam hitungan bulan.Rasa sakit itu masih ada, meskipun tidak jelas sakit kenapa. Entah karena kebodohan kami yang terlalu cepat emosi, atau karena perceraian.Tidak, aku yakin jika perceraian kami tidak pernah kusesali. Apalagi, sekarang di depanku ada sosok pengganti yang lebih dari mantan suamiku.“Jangan ngelamun, Ta.“ Arka mengelap mulutnya dengan selembar tisue.“Habis ini kita langsung pulang?“ tanyaku cepat.“Ngapain buru-buru?“ Lelaki yang dulu terlihat menyebalkan itu kini bertanya de
Read more
63.
Aku memejamkan mata. Mencoba mengais ketenangan dalam pelukan Arka. Lelaki itu terus mengusap punggung dan juga kepalaku.Pelan dia membawaku menjauhi pintu kamar mandi. Hembusan nafasnya sesekali terdengar di telingaku. Sepertinya Arka sengaja melakukan itu, seolah dia ingin menunjukkan keberadaannya. Di sampingku.“Apa kamu tidak nyaman di sini?“ tanya Arka seraya membingkai wajahku. Memberi jarak hingga mata kami bertemu.“Sangat nyaman.“ Seandainya bayangan Akmal tidak muncul tiba-tiba tadi.Arka mengamatiku. Tatapannya seolah mencoba menembus dalam pikiranku. Aku tahu, dia mencoba mencari jejak kebohongan di sana.“Aku capek,” keluhku. Berusaha mengalihkan perhatiannya.“Tidurlah.“ Dia mendorongku pelan.Aku rebah diatas ranjang diiringi tatapannya yang berubah lembut. Dia membantu menutup badanku dengan selimut.“Ka, maaf!“ Aku sendiripun tidak tahu, kenapa aku meminta maaf. Entah maaf untuk apa, yang jelas aku merasa perlu mengatakannya.“Tenanglah, aku ada di sini untuk menjag
Read more
64.
Ekspresi Arka tak terbaca. Namun, nada suaranya sangat jelas terdengar jika dia keberatan dengan tindakanku yang berani mengangkat panggilan dari perempuan itu.“Agh …! Dia pasti ngomong aneh-aneh, kan?“ geramnya.“Kenapa? Kamu terlihat takut,” ucapku dengan suara tenang.“Dia perempuan nggak jelas. Aku khawatir dia ngomong nggak bener ke kamu, Ta,” sangkalnya.Sikapnya aneh. Bisa jadi dia takut rahasianya dengan Tika terbongkar. Apa yang dia takutkan? Toh semalam dia sendiripun mengakui jika pernah berbagi nafas dengan perempuan itu.Jangan salahkan jika kemudian aku merasa tak nyaman. Aku tidak sedang merasa sok suci, tapi paling tidak aku pernah menikah. bukan seks bebas seperti mereka. Itu sangat menjijikkan.Aku janda, statusku jelas. Hanya dengan Akmal aku melakukannya.Pandanganku pada Arka berubah. Dia lelaki bebas, walau aku belum lama mengenalnya, sedikit banyak aku tahu bagaimana dia.“Kamu cuci muka dulu, biar seger,” ucapnya sambil menuang segelas susu.Wajahnya kembali s
Read more
65.
Ada rasa lembut yang pelan mengapa. Jantungku berdegup lebih cepat.Wajah Arka semakin mendekat. Binar matanya membuat pikiranku tak fokus. Ada sesuatu yang seolah menuntutku tak lepas dari tatapannya.Sementara bibir lelaki itu setengah terbuka, seperti mengundangku untuk menyapa. Menyusuri tiap sisi lembut itu dengan benda yang sama.Nafas Arka membelai, membuat hasratku pelahan muncul. Kurasa, aku menginginkannya. Disaat yang sama sebuah seringaian jahanam kembali muncul.Dia Arka. Suamiku.Dia berhak memilikiku. Seutuhnya.Sekuat hati aku meyakinkan diri. Kupejamkan mata, dan membayangkan wajah Arka.Tanpa tahu malu aku menunggu. Disela hati yang terus berperang, ada sudut kecil yang meminta haknya untuk di masuki selaksa rasa bernama cinta.Kurasakan Arka semakin mendekat. Ujung hidungnya bahkan menempel di puncak hidungku.Gelisah, ya! Aku seperti perawan mendamba ciuman pertama.Cup.Satu kecupan. Hangat dan lama.Bukan di bibir. Tapi di dagu.Sedikit terkejut, akupun membuka m
Read more
66.
Menjelang senja suara motor terdengar memasuki halaman. Setengah berlari aku menyambut kepulangan Arka.Saat aku sampai di dekatnya, lelaki itu sedang sibuk melepas sarung tangan.Wajahnya terlihat kusut. Seperti dia baru saja melakukan pekerjaan berat yang menyita waktu dan pikirannya.“Hai,” sapaku lebih dulu.“Oh, hai!“ Arka seperti terkejut melihatku berdiri di belakangnya.“Astaga, Ta! Aku lupa kalau sekarang aku punya kamu,” katanya sambil tersenyum kaku.Hmm, dia lupa. Kata itu sedikit banyak menunjukkan jika aku belum berarti apa-apa di hidupnya.“Kita belum terbiasa. Aku juga begitu,” kilahku menutupi kecewa.Seharian menunggunya, dan sore ini penantianku terbayar oleh satu kata. Lupa.“Ayo,” ajaknya sambil menenteng tas ransel.Pertanyaan yang sedari tadi memenuhi pikiran kusisihkan begitu saja. Jika denganku saja dia lupa, apakah masih penting aku tahu tentang keberadaannya seharian ini?“Mau mandi dulu, atau makan? Perlu kusiapkan air hangat?“ Sebisa mungkin kutekan nada s
Read more
67.
“Mbak Marta! Aku kangen!“ Sosok itu memelukku erat.“Amel? Ngapain di sini?“ tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejut.Maya bergeser sedikit ke belakang. Rasa tidak nyaman kembali hadir. Aku ke tempat ini untuk menenangkan diri, tapi kenapa malah bertemu dengan Amel? Mungkin Maya juga tidak tahu jika gadis itu ada di sini. Seandainya tahu, dia pasti memberitahuku.Amel, adik tiri Panji ada di penginapan ini. Suatu kebetulan atau memang sengaja?“Aku kabur,” ujarnya sambil meringis.“Hah? Kok bisa?“Amel menggeleng dengan wajah murung.“Ini mau kemana?“ tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.Amel melihat sekeliling. Suasana penginapan yang masih sepi, selain karyawan hilir mudik membersihkan area taman, belum ada pengunjung yang keluar kamar.“Mau nyari sarapan,” jawabnya.“Nggak pesan sekalian disini?““Bosen,” sahutnya sambil melirik Maya.Maya mengedikkan bahu sambil tersenyum maklum. Usia Amel yang terbilang masih muda bisa membuatnya maklum.“Kalau aku temenin sarapan pak
Read more
68
Tangisku semakin menjadi. Pelukannya semakin erat. Aku sedang ingin jauh darinya.Beberapa menit posisi kami masih sama. Dia hanya diam sambil terus memeluk bahuku. Mungkin dia mendengar semua ucapan Amel.Entahlah.Aku sedang tidak ingin melihatnya.Tidak untuk saat ini. Tidak sanggup melihat kekalahanku, kepedihanku di kedalaman matanya.“Seharusnya aku bisa menjadi rumah bagimu, Ta. Bukan malah membuatmu tidak nyaman berada di sampingku. Kita masih sama-sama belajar. Belajar menghadapi masa depan, dan belajar merelakan masa lalu.“Suara Arka kudengar seperti bisikan.“Kalau baginya kamu begitu berharga, pasti dia akan berjuang untuk membuatmu bahagia. Entah bahagiamu denganku atau dengannya,” bisiknya lagi.Pelan dia berusaha menegakkan bahuku. Lalu menyandarkanku di dadanya.“Belajarlah menangis di pelukanku. Bantu aku belajar untuk terbiasa denganmu juga. Bantu aku, Ta.“Kemejanya basah oleh airmataku. Kalimatnya semakin terdengar menyakitkan.“Aku ingin sendiri dulu,” kataku pel
Read more
69
Walau sekilas, terlihat jika wajah Arka terlihat memerah di dekat mata. Aku yakin, sebentar saja warna merah itu akan berubah kebiruan. Sementara Panji terlihat lebih tenang. Bahkan tangan kanannya sudah mendekap tubuh Amel yang terlihat sesenggukan.“Ada apa ini?“tanyaku pada Maya.Perempuan itu menghela nafas, namun sebelum dia menjawab, Arka sudah membuka mulut. “Bayi itu menghubungi kakaknya, dan akhirnya dia datang. Memandangmu dari jendela, dan itu membuatku muak.“ Arka berusaha melepaskan diri. Sayangnya Aldi lebih kuat karena otaknya terlihat lebih waras.“Aku hanya ingin melihatnya. Memastikan kalau kamu becus menjaga perempuan yang memilihmu. Sayangnya kamu bodoh. Sangat bodoh!“ Panji menunjuk wajah Arka.Reflek Arka berdiri dan berusaha menghantam Panji. Aldi terlihat kesulitan menahannya Tanpa pikir panjang aku segera berlari menahan Arka. Ya, aku memeluknya erat.Sangat jelas degub jantungnya di telingaku.Tak berapa lama tangan Arka terangkat dan balas memelukku.Suara
Read more
70.
Semalam aku dan Arka terus mengobrol hingga larut. Suasana canggung perlahan mencair.Iya, mungkin kemarin langkah kami terlalu cepat. Kami masih terlalu asing untuk menjadi pasangan suami istri.Memberi sedikit jarak, ternyata bukan pilihan buruk. Biarlah waktu yang menuntun kami. Masalah hati, biar berjalan apa adanya.Arka benar, sebaiknya kami memulai dengan bersahabat terlebih dahulu.Pagi ini aku terbangun dengan perasaan yang lebih baik. Seketika muncul ide untuk memberi kejutan pada Arka.Cepat aku mandi dan mempersiapkan diri.“Mau kemana? Jangan bilang kamu mau minggat!“ cetus Maya saat melihatku berpakaian rapi.“Ih, ngawur! Aku mau kerja, Sayanggg,” jelasku.“Tunggu! Kerja dimana?“ Maya nyaris menyemburkan air yang tengah diteguknya.“Di butik. Emang kerja dimana lagi,” sahutku cuek.“Eh, kamu udah jadi nyonya Bos, loh. Emang nanti pegawai butik nggak canggung gitu sama kamu?““Santai, aku bisa menempatkan diri, kok,” balasku yakin.“Arka tahu?““Enggak. Kejutan, dong!“Ak
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status