All Chapters of MARTA, cinta kedua: Chapter 41 - Chapter 50
79 Chapters
41. Gadis Rasa Janda?
"Ish, dasar janda! Dimana-mana selalu menggoda dan tebar pesona!" Aku dan Pak Arka menoleh ke sumber suara. Tika terlihat bersandar di pintu masuk. Perempuan itu, bagaimana bisa tahu kalau aku janda? "Beb, kamu nggak risih deket-deket sama janda? Atau … kamu tidak tahu tentang statusnya?" Tatapan sinis tersorot dari matanya yang sekarang berwarna biru. Aku tak berani melihat ke arah Pak Arka. "Kenapa kalau dia janda? Bukankah dengan begitu statusnya jelas. Jelas juga siapa yang membuatnya nggak perawan, kan?" Aku tercekat mendengar kalimat vulgar yang baru saja Bosku katakan. Namun ajaib, kalimatnya berhasil membuat Tika gelisah. Mulut Tika sebentar terbuka, lalu detik berikutnya tertutup. Persis seperti ikan yang diangkat dari air. "Apa kabar kamu Tik?
Read more
42. Tragedi di Pesta Tika
Pak Arka memilih gaun navy untukku. Dia bilang, gaun pink hanya akan membuatnya seperti mengajak pesta anak SMP. Sedikit kesal saat dia mengatakan itu. Kenapa tidak bilang kalau dia takut jika aku terlihat lebih muda darinya? Berarti dengan gaun navy, aku terlihat tua? Begitukah? "Jangan cemberut! Merusak suasana tahu," ucapnya sambil tetap menggoreskan pensil diatas kertas. Sebentar lagi pasti dia mencari pensil warna. Benda panjang warna warni itu sering kali menghilang entah kemana. Beberapa minggu yang lalu aku masih bodoh, mau saja di mintanya membeli pensil warna. Sekarang tidak. Aku membeli beberapa pack sekalian kemarin. Apalagi Ita memberikan kartu ATM yang berisi uang cukup banyak. Untuk kebutuhan si Bos, juga untuk keperluan kantor lain. Katanya tidak ada pengecekan. Dan katanya aku juga bisa menggunakannya untuk keperluan pribadi. Anggap s
Read more
43. Reuni (?)
Bagaimana mungkin aku tidak berteriak, sedangkan dia sedang berusaha melakukan sesuatu yang bisa membuatku malu!! Pak Arka terus saja melancarkan aksinya. Beberapa kali aku menahan sakit saat tangannya dengan kasar menarik rambutku. Ya, dia sedang berusaha melepas tatanan rambut yang Maya buat! "Ini pasti ulah temanmu kan!" umpatnya geram. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kondisi rambutku saat ini. Rasanya aku ingin menangis! "Aww!" Pekikku tertahan. "Sst, diam. Atau orang-orang pikir kita sedang melakukan perbuatan yang iya-iya." "Kenapa Bapak tidak menyuruhku ke toilet saja! Aku bisa melepas sendiri tanpa bantuan laki-laki kasar seperti Bapak!" gerutuku kesal. Lagi-lagi Pak Arka menarik keras rambutku. "Kenapa tidak bilang d
Read more
44. Reuni 2
 "Marta …," panggilnya sekali lagi. Aku masih berdiri di balik punggung Pak Arka, dan Akmal menatapku dengan tatapan … pasrah? "Marta sepertinya tidak ingin berbicara dengan Anda." Pak Arka berkata setelah kami terdiam sekian detik. "Saya hanya ingin meluruskan beberapa hal saja. Jika Marta tak nyaman bicara berdua dengan saya, Anda bisa menemaninya." Suara Akmal terdengar lemah. Tak seperti Akmal yang ku kenal dulu. Raut wajahnya juga terlihat kuyu. Bukankah seharusnya dia merasa bahagia? Bisa lepas dariku yang dicap mandul oleh ibunya? Pak Arka menoleh ke arahku, "Bagaimana? Kamu mau?" tanyanya. Aku ingin,
Read more
45. Harga Raina ...?
Pak Arka mengajakku pamit pada Bu Anggi dan suaminya. Tak lupa dia juga mohon maaf karena Pak Har pulang setelah meninggalkan sedikit kekacauan.    Wanita anggun di depanku itu tersenyum, "Kamu tadi sudah ketemu Tika?"   Pak Arka mengangguk.   "Ya sudah, Tika sangat antusias menunggu kamu tadi. Eh, sekarang malah Tante nggak tahu anak itu ada di mana."   Pak Arka tersenyum sama sebelum memberiku isyarat untuk keluar dari rumah itu.   Di depan pintu kami kembali berpapasan dengan Akmal dan Ibunya. Kali ini mereka menunduk.   "Tolong pastikan Raina baik-baik saja. Jangan sampai dia strees, karena itu sangat mempengaruhi kondisi janinnya."   Aku mendengar dengusan Pak Arka sebagai jawaban atas ucapan Akmal.   Meskipun baru bebe
Read more
46. Seperti Puzzle
Panji tidak membawaku ke pasar. Dia juga tak menjawab saat ditanya, kenapa mobil mengarah ke jalur lain. Dengan tenang dia melajukan kendaraan. Sesekali ku lihat mata Panji melirik ke arahku. Mobil putih yang kami tumpangi berhenti di sebuah hunian minimalis. Batu alam tertata rapi membentuk pilar-pilar kecil. Beberapa tanaman mempercantik tatanan taman mungil di depannya. "Rumah siapa, Ji?" tanyaku sambil menatap kagum pada tatanan rumah yang apik. "Arka." "Wow, benarkah? Laki-laki sepertinya mempunyai rumah sebagus ini?" "Dia laki-laki seperti apa?" Terdengar nada tak suka dari ucapan Panji. "Galak, sombong, angkuh …, hmm, ya seperti itu." "Kamu suka?" "Hm? Maksudnya?" 
Read more
47. Cincin dari Arka
Aku memaksa Pak Arka untuk membawaku menemui Raina. Namun lelaki itu malah berbalik memaksaku untuk berjibaku dengan wajan dan kompor. Tanganku berjuang keras meracik bumbu nasi goreng spesial seperti yang dia mau. Aku memasak, sementara otakku berkeliling liar mencoba menggali setiap waktu yang dengan bodoh ku lalui. Beberapa ucapan Pak Arka tadi cukup mengguncang. Berputar tentang Akmal, Raina dan Pak Har. Entah lakon apa yang mereka bertiga perankan. Panji dan Pak Arka tengah sibuk berbicara tentang pengembangan kafe. Sepertinya Panji menawarkan kerjasama dengan iming-iming jika perputaran uang kafe lebih cepat. Dan juga kafe banyak diminati segala usia, meskipun lebih menyasar pada pasar anak muda. Kurang dari setengah jam, nasi goreng berhasil ku hidangkan. "Enak," puji Pak Arka. Semen
Read more
48. Pengakuan Raina
Aku melihatnya, perempuan berbadan kurus dengan perut yang membuncit. Mungkin kandungannya sudah berumur sekitar tujuh bulan. Tapi kenapa badannya begitu kurus? Panji menepuk bahuku, memberi isyarat padaku untuk mendekat ke arah perempuan yang sedang duduk di gazebo. Matanya terpejam, dan mungkin tidak menyadari kedatanganku dan Panji. Aku menarik tangan Panji, namun ditepisnya dengan halus. Sekarang tangan kami bertautan. "Dia membutuhkanmu, aku tunggu di sini. Ingat, jangan marah, jangan sia-siakan perjuanganmu untuk sampai di titik ini," ucapnya pelan. "Apa aku bisa, berhadapan dengannya tanpa rasa marah?" "Pasti bisa, kamu ingat … aku pernah bilang kalau kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan?" 
Read more
49. Jejak Kisah Lama
"Ada apa ini?" Suara berat Pak Har tiba-tiba terdengar. Aku mengalihkan tatapan tajam ke arah lelaki setengah baya yang sudah berdiri di samping Raina. Panji dan Pak Arka yang dari tadi menjaga jarak dari kami kemudian mendekat. "Kamu yang membawa mereka kemari?" tanya Pak Har pada keponakannya. "Om sendiri sering merecoki butikku, bahkan memintaku menerima Marta jadi pegawai." Pak Har menatap malas ke arah Pak Arka dan di balas dengan kedikan bahu. Dapat ku rasakan udara di sekitarku memanas.  "Kenapa kamu selalu ikut campur!" Keluh lelaki tua itu. "Mereka datang tadi pagi dan merengek agar aku mau mengantar kemari. Aku bisa apa?" ucap Pak Arka tanpa rasa berdosa. Ku lihat dengan jelas, jika Raina berusaha menjauhi Pak Har.
Read more
50. Jadi yang Terindah
Sampai malam aku masih berharap Panji menghubungiku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Aku hanya seperti menggenggam angin. Tanpa sadar aku tertidur. Meninggalkan jejak basah di atas bantal. Aku menangis? Sayangnya iya. Aku tidak ingin, tapi entahlah. Air dari mataku mengalir tanpa permisi. Aku pun tak bisa mencegahnya. Tak bisa, sekuat apapun aku didepan orang lain, nyatanya aku rapuh dan tidak bisa menghadapi diriku sendiri. Hingga pagi, tak ada satu pesan pun menyinggahi ponselku. Aku mendesah pelan. Baiklah … selamat pagi hari yang baru. Mulai hari ini aku janji. Hanya akan ada aku dan bahagiaku. Semangat Marta!!! 
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status