All Chapters of MARTA, cinta kedua: Chapter 31 - Chapter 40
79 Chapters
31. Diambang Batas
"Siapa kamu?" Tiba-tiba dia menarik amplop dari tanganku. Seketika pandangan kami bertemu. Dan … Ya Tuhan, kenapa Maya tidak bilang kalau bos butik ini masih sangat muda? Mungkin masih berusia dua puluhan. Tunggu, atau jangan-jangan aku salah orang? Bisa saja kan dia-- "Siapa kamu?" Dia mengulang pertanyaan yang sama. "Ehm, maaf. Saya ingin bertemu pemilik butik." Pemuda itu memandangku sekilas sebelum tersenyum mengejek. "Maksud kamu Bosnya butik ini?" "Iya," jawabku tegas. "Mau apa?" "Mau melamar pekerjaan di sini." "Oh. Masuk …!" Pemuda ini, kenapa gayanya arog
Read more
32. Tentang Rasa
 Ketukan pintu membuatku terbangun. Semalam aku tertidur dengan posisi duduk bersandar di ranjang. Ketukan kembali terdengar. "Ya, sebentar!" seruku. Aku mengikat rambut sebelum melangkah ke kamar mandi, cuci muka dan menggosok gigi. Tok … tok … tok … Siapa sih? Kenapa tidak mau sedikit bersabar. Ku buka pintu, dan menemukan Panji bersandar di tembok. Kedua tangannya terlipat, sorot matanya menatapku tajam. Kuberanikan diri menentang mata itu. Mata yang kadang redup, menawarkan rasa nyaman dalam ketidak pastian. "Ayo ikut," ajaknya seraya melangkah mendahuluiku. Tak ada pilihan selain mengikutinya.
Read more
33. Masalah di Hari Pertama
Pagi yang melelahkan. Entah aku yang terlalu sembrono atau dia yang terlalu arogan. Kenapa tidak sejak awal saja dia memperkenalkan diri sebagai Bos disini? Jika seperti ini tentu saja aku yang merasa dirugikan. Aku tak akan berani memanggilnya adik manis jika dari awal tahu Bos nya berwajah imut seperti oppa korea. Maya juga sepertinya lupa memberitahuku jika Bosku semuda itu. Maya hanya bilang jika Bos butik ini adalah seorang laki-laki galak. Tanpa ada imbuhan berwajah bayi. Ternyata butik baru buka pukul sepuluh, dan para pegawai baru mulai berdatangan pukul sembilan. Ah, kenapa Bos sombong itu memintaku datang pukul tujuh! Benar-benar keterlaluan. Sebelum membuka butik, kulihat mereka merapikan beberapa pajangan, mengganti baju lama dengan yang baru. Dan ada seorang bapak paruh baya yang bertugas membersihkan ruangan dan juga menyediakan minum un
Read more
34. Terjebak Permainan
Pak Arka menatapku, dan seringaian muncul di bibirnya. "Dia kekasihku." Pak Arka menunjuk ke arahku. Hah? Apa dia bilang? Kekasih? Perempuan itu menatapku tajam sementara Bos ku masih menyeringai. Aku seperti berhadapan dengan dua monster! "Jangan bercanda kamu beb," suara perempuan itu kembali terdengar. "Kapan kamu lihat aku bercanda? Kamu sendiri kan yang bilang jika aku orang paling serius yang pernah kamu temui." Suara Pak Arka terdengar ketus. "Nggak mungkinlah kamu suka sama perempuan model begitu," ucap si rambut cokelat. Jari telunjuknya mengarah kepadaku. Model begitu? Maksudnya apa coba! Seketika wajahku memerah. Jangan salah, aku dulu pernah jadi primadona kampus. "Hei rambut jagung! Mak
Read more
35. Malu Mengaku Rindu
 Aku segera berjalan ke arah pintu sambil menggenggam ponsel yang masih terhubung dengannya. "Kejutan …!" Aku hanya bisa melongo saat membuka pintu. Laki-laki itu … huh! Aku menutup kembali pintu depan dengan kasar. Suara tawa Panji terdengar keras dari ujung sana. "Dasar!" Aku mengumpat saat sadar dipermainkan oleh Panji. "Segitu kangennya, sampai berharap aku datang?" Ujarnya di sela tawa. Aku memberengut kesal. Ku kira dia ada di depan pintu, atau paling tidak dia dan mobilnya ada di seberang jalan. Nyatanya tidak ada siapapun di depan kontrakan. "Kamu pikir ini lucu!" Aku segera mematikan video call. Sed
Read more
36. Mulai Terkuak
Aku terus mengamati laki-laki di depanku. Gerakan tangan kanannya begitu lincah, seakan menari membentuk beberapa garis dan lengkungan. Tangan kiri memegang gagang telepon, sepertinya dia tengah berdiskusi dengan klien. Aku menatapnya cemas. Khawatir kopi yang kubeli tidak sepanas yang dia harapkan. "Pak …," panggilku pelan. Antara takut kopi jadi hangat, dan takut mengganggu Pak Arka. "Pak …," ucapku sekali lagi. Laki-laki yang mengaku berumur dua puluh delapan tahun itu menatap ke arahku. Bibirnya bergerak tanpa suara. Aku menunjuk cup kopi di plastik yang ku bawa. Pak Arka mengangguk, dengan gerakan tangan dia menyuruhku meletakkan kopi di sebelah komputer. Dia masih sibuk dengan telepon dan gambarnya. Aku kem
Read more
37. Merancang Masa Depan
"Ta, rumahmu sudah deal. Lima ratus juta lebih dikit. Tapi nanti masih kena potong pihak ketiga," suara Pak Haris terdengar dari seberang. "Oke Pak, aku ngikut aja. Pokoknya aku tinggal terima beres," jawabku singkat sebelum telepon ditutup. Aku menghela nafas pelan. Tadi Pak Haris membujukku untuk mau bertemu calon pembeli. Tentu saja aku menolak. Aku tak ingin melihatnya, atau mencari tahu siapa dia. Dan satu lagi, aku tak mau melihat rumah itu. Aku khawatir jika nanti berubah pikiran. Uang itu rencananya ingin ku belikan ruko. Ingin sekali aku membuka sebuah usaha. Namun hingga saat ini aku belum tahu usaha apa yang cocok untukku. Sering kali rasa sesal datang, kenapa dulu aku tidak bekerja. Hidup di zona aman nyatanya tak membuat otakku berpikir cerdas. "Bikin kue aja, kan kamu pinter bikin kue-kue," cetus Maya.
Read more
38. Panji dan Arka
"Oh, jadi kamu sudah punya pacar ya?" Aku terperanjat, dan dengan cepat memutar tubuhku. Tampak seseorang berdiri angkuh di depan pintu butik yang masih terkunci. Gawat … kenapa bisa tadi aku tak melihatnya! "Sudah kuduga, nggak mungkin Arka bisa suka sama cewek kampungan sepertimu. Ya, kecuali kalau cuma buat 'senang-senang'," senyum jahat muncul dari bibir Tika, si perempuan berambut coklat. Tangannya membuat tanda petik saat dia mengucap kata 'senang-senang'. Fiuh …, aku menghembuskan nafas dengan keras. Sabar Marta, ini masih pagi. Jangan sampai energiku terkuras hanya untuk melayani makhluk aneh bernama Tika. "Hei, kampung! Kamu dengerin omonganku nggak sih?" Tika mungkin merasa gusar karena aku mengabaikannya. 'Tolong mengertilah Tika …, aku harus menghemat tenaga
Read more
39. Hanya Teman?
"Teman Marta kan? Soalnya Marta bilang mau makan siang dengan temannya." Tak ada jawaban, dan suasana mendadak tegang. Ya Tuhan, ingin sekali ku pukul wajah tak berdosa itu dengan ransel. Panji menatapku, seolah menuntutku memberi pengakuan atas keberadaannya. Pak Arka dengan tenang mengambil air mineral yang tersedia di setiap meja. "Sepertinya wajah anda tidak asing, hmm … apa kita pernah bertemu? Oh, sebentar, sepertinya aku ingat sesuatu. Kamu pernah membawa paket besar ke penginapan dekat butikku kan?" Paket besar? Ah ya, aku juga pernah mendapat paket besar berisi boneka. Mungkinkah boneka waktu itu dari Panji? Kulihat Panji tersenyum samar. "Ingatanmu sangat kuat," u
Read more
40. Janda Selalu Menggoda?
Aku melangkah menyambut kedatangan Panji. Namun dalam dua langkah aku berhenti. Mataku nanar melihat sesuatu yang ia bawa. Rasa kesal yang sempat hilang kembali muncul. Ya Tuhan … apakah hanya itu yang ada di dalam pikirannya? Setelah sampai di depanku, Panji menyerahkan kantong makanan yang dibawanya dari warung makan. "Ayo kita makan dulu," ujarnya seolah tak menghiraukan wajahku yang tertekuk. "Mau makan sendiri, atau ku temani? Ta …, aku tidak bisa membiarkan perempuan yang sedang bersamaku sakit karena terlambat makan," celetuknya sambil meletakkan kantong di atas meja teras. Perempuan? Kenapa tak terbesit di hatinya untuk menyebut namaku saja? Atau, kata perempuan di ganti dengan kata 'kamu'. Aku menatap malas ke arahnya. 
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status