Semua Bab Pendekar Tengil: Bab 361 - Bab 370
387 Bab
Bab 112: Rasa Bimbang (part 1)
“Aku mengerti sekarang. Jika saja kau menjelaskan semuanya dari awal, mungkin aku tidak perlu terus bertanya seperti ini,” tutur Kusuma Galuh sembari meneguk kopi di cangkir bambu miliknya.“Jadi Mahaguru tahu tentang Aki Guru?” tanya Indra.“Nama Braja Ekalawya sangat dikenal di kalangan Jawara, dia adalah satu-satunya orang asing di Paguron Margabuana yang mampu menjadi salah satu dari sepuluh murid terkuat Purbakala. Meski mungkin dia berada di urutan kesepuluh dari yang terbaik, tapi mengingat dia bukanlah orang Kerajaan Galuh tentunya itu adalah hal yang sangat mengesankan,” jelas Kusuma Galuh.“Eh? lalu sembilan sisanya adalah para pendekar dari kerajaan ini?” tanya Indra yang terlihat agak lega sebab respon Kusuma Galuh diluar dugaannya.“Bukan hanya sembilan. Tapi selain Braja Ekalawya, tidak ada lagi pendekar dari luar Kerajaan Galuh yang mampu diperhitungkan di dalam seratus murid terbaik Purbakala,” jawab Kusuma Galuh. Mendengar hal itu Indra semakin terkejut, sebab dia tid
Baca selengkapnya
Bab 113: Rasa Bimbang (part 2)
“Rasa bimbang di hatimu itu adalah hal yang baik, tandanya kau tidak kehilangan rasa kemanusiaanmu. Aku juga mengerti kebimbanganmu itu, saat berhadapan dengan orang-orang jahat seperti itu kita memang dihadapkan diantara dua pilihan yang sulit, memberinya kesempatan atau langsung menghabisinya,” tutur Kusuma Galuh.“Jika kita menghabisinya, kita akan merasa bersalah karena dia mungkin bisa saja berubah bukan?” sambung Kusuma Galuh.“Iya Mahaguru, itulah yang mengganjal perasaan saya,” jawab Indra.“Di sisi lain, jika kita mengampuninya saat itu dan memberinya kesempatan, kita juga akan khawatir menyesali keputusan kita nantinya. Bisa saja dia memang berubah. Tapi coba pikirkan kemungkinan buruknya jika dia tidak berubah, maka setiap kejahatan yang dia lakukan lagi nantinya juga akan menjadi tanggung jawab kita. Terlebih belum tentu dia akan bertemu lagi dengan kita, coba bayangkan andaikan dia hidup puluhan tahun dan tidak berubah maka berapa banyak orang yang menjadi korbannya karen
Baca selengkapnya
Bab 114: Pamit dari Linggabuana (part 1)
“Saya masih bingung dengan kemampuan bandit yang saya hadapi beberapa hari yang lalu, entah mengapa serangan mereka sama sekali tidak bisa saya lihat. Terlebih yang mengejutkannya lagi, ilmu kanuragan yang digunakan olehnya untuk menyerang Ratih juga berdampak terhadap tubuh saya,” kata Indra. “Oh masalah itu. Bandit yang kau hadapi itu mampu menguasai ilmu kanuragan mengerikan yang bernama ajian malih rasa. Salah satu ilmu kanuragan tingkat tinggi yang sangat merepotkan, bahkan untuk orang sepertiku,” ucap Kusuma Galuh. Dia kemudian menjelaskan tentang ajian malih raga, semuanya sama seperti yang dijelaskan oleh Ratri waktu berhadapan dengan Buras dan Nyi Pontrang. Indra hanya mengangguk paham sembari mendengarkan Kusuma Galuh menjelaskan semuanya, dia akhirnya paham mengapa waktu itu tubuhnya mendadak sakit dari serangan yang tidak terlihat. Dia tidak menyangka kalau ada ilmu kanuragan seperti itu di dunia ini, andaikan saja Jayadharma dan Ratri tidak menolongnya mungkin dia sudah
Baca selengkapnya
Bab 115: Pamit dari Linggabuana (part 2)
“Kang Patra terlalu berlebihan, lagipula di luar sana masih banyak Jawara yang sanggup berduel satu lawan satu dengan Raka Adiyaksa. Saya tidak bisa dibandingkan dengannya, jika saja dia menggunakan ilmu pedangnya maka saya sudah dipastikan kalah,” sanggah Jayadharma.“Hehe.. kau ini, padahal aku sudah berusaha untuk membujuk Indra berguru di sini. Coba bayangkan seperti apa respon Mahaguru Adiyaksa kalau orang yang menguasai ajian gelap ngampar malah berguru di sini,” gerutu Patra.“Hahaha.. Mahaguru Adiyaksa pasti akan menggerutu, dia mungkin saja mau menerima tantangan untuk latih tanding denganku lagi jika hal itu terjadi,” timpal Kusuma Galuh sambil tertawa.“Eh? Memangnya ayah masih sering menantang Mahaguru Adiyaksa?” tanya Jayadharma sembari mengerutkan keningnya.“Tentu saja, enam bulan sekali aku mengiriminya surat untuk melakukan latih tanding. Tapi selalu saja dia tolak,” jawab Kusuma Galuh.“Kelihatannya ayah masih kesal karena lima tahun yang lalu dia kalah telak oleh Ma
Baca selengkapnya
Bab 116: Pamit dari Linggabuana (part 3)
Hari demi hari berlalu semenjak Indra dan keluarga Jayadharma meninggalkan Perguruan Linggabuana. Tanpa terasa, satu minggu sudah berlalu di perjalanan. Mereka menyusuri desa-desa kecil dan hutan-hutan belantara yang jarang dijamah oleh manusia, tampak jelas kalau Jayadharma dan Ratri sudah familiar dengan jalan yang mereka lalui tersebut.Selama itu juga Indra tidak menyia-nyiakan kesempatan, dia mendapatkan berbagai pengetahuan tentang beberapa ilmu kanuragan yang ada di Kerajaan Galuh. Terutama ilmu kanuragan unik yang tidak pernah Indra ketahui sebelumnya. Jayadharma dan Ratri tampaknya tidak khawatir dia akan menyalah gunakan informasi tersebut.Malam ini mereka kembali beristirahat di tengah hutan karena tidak menemukan desa terdekat yang bisa dijangkau sore harinya. Jayadharma mengatakan kalau malam ini adalah malam terakhir mereka bersama, sebab besok harinya mereka akan berpisah karena menempuh jalan yang berbeda. Sementara Ratri dan Irgi sudah tidur duluan, Indra dan Jayadha
Baca selengkapnya
Bab 117: Pamit dari Linggabuana (part 4)
“Kembali lagi ke cerita awal. Mahaguru Purbakala memanglah orang yang baik pada awalnya. Tapi meski perang besar tiga trah Galuh sudah berhenti dan kedamaian di kerajaan ini tercapai, dia tetap melanjutkan prinsip leluhurnya untuk mengajarkan ilmu kanuragan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Murid Margabuana menjadi sangat banyak jumlahnya pada waktu itu, malah ada satu garis keturunan yakni marga Satya yang mana semuanya berguru di sana,” kata Jayadharma menyambung lagi kisahnya.“Paguron besar aliran putih menjadi sangat khawatir dengan hal tersebut hingga beberapa diantaranya ada yang menasehati Purbakala agar mengubah prinsip paguronnya karena kini mereka sudah dalam keadaan yang damai. Tapi dia tetap teguh menolaknya, pada akhirnya malapetaka terjadi. Istri tercinta Purbakala terbunuh secara misterius, saat itulah sikapnya mulai berubah. Hubungan Margabuana dengan paguron lainnya semakin renggang,” tambah Jayadharma.“Bahkan Mahaguru Surawisesa segera bertindak untuk mengambil t
Baca selengkapnya
Bab 118: Pendekar Pedang Bersaudara (part 1)
Setelah suara dentingan senjata yang berbunyi terdengar semakin dekat, Indra segera memperlahan langkah kakinya seakan tidak mau terdengar oleh siapapun. Indra berjalan dari balik satu pohon ke pohon lainnya mendekati arah suara dentingan senjata berasal. Samar-samar dari balik pohon dan semak belukar, Indra bisa melihat dua orang pemuda tengah bertarung menggunakan pedang.Satu orang pemuda terlihat lebih dewasa sedangkan yang satunya lagi tampak lebih muda sedikit, Indra segera menyipitkan kedua matanya menatap kedua pendekar yang sedang bertarung tersebut. Seketika itu juga Indra terbelalak kaget saat melihat kedua pemuda tersebut mirip seseorang yang dia kenali.“Tidak mungkin, mereka mirip dengan Eka Loka,” gumam Indra kaget. Dia sama sekali tidak habis pikir bagaimana bisa dia bertemu dengan dua orang sekaligus yang mirip dengan Eka Loka di kerajaan ini.Sementara itu kedua pendekar yang masih saling berhadapan terus melakukan jual beli serangan. Dentingan demi dentingan senjata
Baca selengkapnya
Bab 119: Pendekar Pedang Bersaudara (part 2)
‘Celaka!” gumam Indra saat melihat tebasan si pendekar tersebut melesat bersama riuh angin yang bergemuruh kencang ke arahnya. Tekanan udara yang dia tebas kini membentuk tebasan angin yang begitu lebar.‘Tap’‘Bhoomrrr’‘Brugh’Suara dentuman keras terdengar saat tebasan angin dari kejauhan yang dilakukan pendekar muda berhasil menghantam pohon tempat Indra bersembunyi, saat itu juga pohon besar yang terkena serangan itu seketika roboh menghantam tanah sampai menimbulkan suara benturan keras. Sementara itu Indra berhasil menghindari selamat karena keburu menghindar sesaat sebelum serangan yang datang juga mengenainya.“Tri kau terlalu buru-buru! Bagaimana kalau orang yang datang itu hanya warga biasa yang sedang mencari kayu bakar!” bentak pendekar yang lebih tua seakan tidak setuju dengan tindakan adiknya.“Kau terlalu berisik kak, lihatlah sendiri dia itu bukan warga biasa. Dia bahkan bisa menghindari seranganku!” balas si adik yang tampaknya juga tidak senang dinasehati kakaknya.
Baca selengkapnya
Bab 120: Sampai di Mekarbuana (part 1)
“Lalu apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Indra.“Aku sedang melatih adik ku. Jika di sekitar paguron langsung kami berlatih maka akan banyak murid lain yang malah menontonnya, di tempat yang jauh seperti ini kami bisa lebih bebas berlatih tanpa ada yang menonton,” jawab Dwi Loka.“Oh begitu ya,” ujar Indra.“Sebaiknya kita juga harus segera kembali kak, jika lebih lama di sini bisa-bisa kita kemalaman,” tukas Tri Loka seraya menatap Gunung Mekarbuana di kejauhan.“Ya, sebaiknya kisanak juga ikut bersama kami saja agar ada teman di perjalanan,” kata Dwi Loka sembari berbalik menghadap ke arah Gunung Mekarbuana. Indra hanya mengangguk saja sambil mulai melangkahkan kakinya mengikuti langkah Dwi Loka dan Tri Loka.Mereka bertiga segera berjalan meninggalkan hutan tempat mereka bertemu. Langkah mereka tertuju ke arah Gunung Mekarbuana. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang banyak hal, terutama tentang pertemuan Indra dengan Eka Loka di Kerajaan Panjalu. Tanpa terasa mer
Baca selengkapnya
Bab 121: Sampai di Mekarbuana (part 2)
“Aku sendiri tidak mengira kalau ternyata saudara-saudaranya berguru di sini, saat itu dia sama sekali tidak menceritakannya kepadaku,” ucap Indra.“Sudah sejak turun temurun keluarga kami memang berguru di sini,” tukas Dwi Loka.“Eh begitu ya,” ujar Indra sembari menganggukan kepalanya tanda mengerti.Tak lama kemudian Chakra kembali menemui mereka bertiga. Dia mengatakan Mahaguru Sekar Arum meminta Indra untuk menghadapnya. Indra hanya bisa mengangguk lalu pergi menuju kediaman Mahaguru Sekar Arum diantar oleh Dwi Loka. Di kediamannya, Mahaguru Sekar Arum sudah menunggu dengan ditemani oleh salah satu putranya yang bernama Danang Arum.“Jadi kau yang namanya Indra Purwasena?” tanya seorang nenek tua berambut putih dengan tatapan tajam. Meskipun kulitnya sudah keriput pertanda umurnya sudah sangat tua, namun tubuhnya tidak terlihat bungkuk sedikitpun. Tatapannya juga masih sangat tajam, di pinggangnya tampak sebilah pedang tersarung dengan rapi.“Iya Mahaguru. Saya Indra Purwasena da
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
343536373839
DMCA.com Protection Status