"Alana, dengar," Ridwan memulai, suaranya serak dan berat, hatinya sakit. "Mas... Mas tidak bisa..." ia menarik napas tajam, mengumpulkan semua keberaniannya yang tersisa. "Mas tidak bisa mengambil risiko kamu pergi. Mas harus tetap di sana. Mas harus menemani kamu malam ini. Demi bayi kita, Sayang. Mas minta maaf."Keheningan kembali menyelimuti saluran telepon, namun kali ini terasa berbeda. Di ujung sana, Alana tidak lagi berteriak, melainkan tertawa pelan, tawa yang dingin dan penuh kemenangan."Baik, Mas," jawab Alana, nadanya tiba-tiba kembali manis. "Aku mengerti. Terima kasih, Mas. Aku tunggu Mas di sini. Jangan lama-lama, ya. Aku butuh Mas sekarang."Ridwan menutup telepon, tangannya gemetar. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, mobilnya masih terparkir di pinggir jalan, jauh dari rumah utama Rahma, dan jauh dari rumah kontrakan Alana. Ia telah mengambil keputusan. Keputusan yang terasa seperti ia mencabut sebagian jiwanya dan memberikannya kepada ancaman yang paling keras.
Terakhir Diperbarui : 2025-10-10 Baca selengkapnya