All Chapters of Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam: Chapter 21 - Chapter 30
44 Chapters
Penyimpan Misteri Kematian
"Kamu dicariin Fahri sampai neleponin aku berkali-kali, Nay. Aku capek balesin dia.""Udah berapa kali aku bilang, gak usah diladenin. Susah dibilangin, sih."Aku meletakkan kotak makanan yang tadi diberikan Angga. Katanya, ini makanan lumayan enak. Kebetulan aku sedang lapar. "Kamu yang susah dibilangin. Gak ngerti lagi sama kamu, Nay."Pandanganku beralih ke Putri. Kenapa dia yang repot, sih? Lagian, Mas Fahri juga pakai reseh menghalangiku untuk membongkar semuanya. Dia seperti takut sesuatu. "Kamu juga kenapa ngeladenin Mas Fahri, Putri? Kan, nomor dia udah aku hapus, bahkan kartu kamu aku potong. Apa lagi biar ketenangan kamu terjaga?" tanyaku kesal. "Cukup soal Zifa, Nay. Kamu gak bakalan berhenti kalau terus kayak gini.""Apaan, sih? Kok jadi kamu ikutan ngelarang aku bahas Zifa?""Aku cuma mau kamu hidup tenang lagi. Tanpa gangguan apa pun. Selama kamu kenal sama Zifa, kamu sering diganggu, kan? Sering ngerasa melihat sesuatu aneh?"Aku diam sejenak. Memang benar kata Putr
Read more
Orang Misterius yang Berpura-pura
"Kita mau kemana sebenarnya?"Aku menoleh ke belakang. Menatap Putri yang terlihat penasaran. Ah, dia pasti sudah bisa menebak, kalau perjalanan kami kali ini masih ada hubungannya dengan kematian Zifa. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Zifa. Baik aku dan Angga sama-sama diam. Aku menghela napas pelan, memalingkan wajah. "Bi, coba lihat alamatnya.""Dari penunjuk jalan sih ke kanan, Ngga."Angga mengangguk. Harusnya, kami sudah sampai di alamat rumah yang dimaksud di buku harian milik Pia. Namun, tidak ada rumah sama sekali. Aku dan Angga berpandangan. Ini hanya lapangan saja. Masa kami harus bertanya pada rumput?"Tanya ke tetangga sana aja, kali, ya, Bi."Mobil menuju ke rumah yang cukup dekat dengan alamat ini. Aku sesekali melirik Putri. Kami keluar dari mobil. Tadi saat pertama kali masuk lokasi ini, asing sekali menurutku. Apalagi kami belum pernah masuk ke kawasan ini. Baik aku atau Angga. Entah Putri. "Maaf, Bu. Kami mau tanya alamat ini. Ibu tahu ada di mana?"Wanita p
Read more
Orang Kepercayaan Pia dan Zifa
"Ini orang yang mau kita temui, Bi?" bisik Angga. "Tidak usah bisik-bisik. Ayo masuk." Orang itu membuka pintu lebar-lebar. Bau badannya tercium sampai jarak berdiriku. Entah sudah berapa lama dia tidak mandi. Aku ragu-ragu menatap ke dalam rumah itu. Pantas saja tidak terawat rumah ini, yang menghuni saja tidak merawat tubuhnya sendiri. "Jangan malu-malu. Penampilan saya memang begini.""Gimana, Bi?" bisik Angga lagi. "Bibi juga gak tau." "Gak mau masuk?" Wajah orang itu terlihat sedih. Angga masih menatapku. Dia menunggu keputusanku. Ah, baiklah. Dari pada kami kehilangan kesempatan. Lagi pula, alamatnya benar. Biarkan saja konsekuensinya ditanggung nanti.Akhirnya, aku masuk duluan. Diikuti Angga dan Putri. "Terima kasih sudah mau bertamu."Pria ini harusnya tidak berpenampilan seperti orang gila. Dari nada bicaranya, dia terlihat seperti orang pintar. Entahlah. Aku belum bicara dengannya. Belum bisa menyimpulkan, dia benar-benar pintar atau tidak. "Saya tahu tujuan kali
Read more
Bertemu Pia dan Zifa
"Saya harap, kalian tidak terkejut dengan apa yang akan kalian saksikan nanti."Televisi kembali mati. Aku menatap Pakannya Zifa. Begitu juga dengan Angga. Kami penasaran sekali dengan apa yang terjadi. "Iya. Kami tidak akan terkejut. Tapi tayangkan saja dulu." Aku berusaha membujuknya. "Tidak bisa. Kalian pasti akan kaget nanti."Eh? Aku menatap Pamannya Pia. Apa maksudnya? "Berjanji dulu. Saya tidak akan menyalakannya, sebelum kalian berjanji. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah bertanya apa maksudnya."Angga menoleh ke aku. Meminta persetujuan. Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kalau itu untuk kebaikan semuanya, aku siap dengan risikonya. Lagi pula, kami sudah siap untuk menontonnya. Pria dengan rambut dan pakaian berantakan itu mengangguk. Aku sempat melihatnya melirik ke Putri, kemudian tersenyum miring. Ah, entahlah. Aku tidak mengerti maksudnya menatap Putri seperti itu. "Dalam hitungan ketiga, aku akan menyalakannya. Kalian hitung, ya."Kami menatap pria itu ane
Read more
Orang dari Misteri Kematian Zifa
"Sini. Kalian mau diam saja di sana?"Aku menelan ludah, sedikit tidak percaya dengan pandanganku di depan sana. Apakah benar itu adalah Zifa dan Pia?"Bi?" Angga meminta persetujuan dariku. "Kita pastiin." Aku menganggukkan kepala, mulai mendekat. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu asing lagi, karena pernah bertemu dengan Pia dan Zifa saat mereka sudah meninggal—entah itu halusinasi atau nyata. Namun, Angga belum pernah. Maka nya dia sedikit takut. "Bi Nay." Mereka kompak menyapaku. "Hai, Pia. Zifa." Aku tersenyum, berusaha mengadaptasikan diri. "Bang Angga." Zifa tersenyum, dia menganggukkan kepala ke Angga. Jarak mereka tidak terlalu dekat padaku. Aku menghela napas pelan, bingung mau mengatakan apa. "Apa yang ingin Bi Nay dan Bang Angga tanyakan pada kami?" tanya Zifa pelan. Angga menoleh padaku. Dia seketika kehilangan kata-katanya. "Apa pun yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada mereka." Paman Pia akhirnya ikut bersuara, agar kami tidak kehilangan kesempatan. Beber
Read more
Misteri Orang Tua Nara
"K—kamu serius?" Aku menghentikan langkah. Sedikit tidak percaya dengan kabar ini. Benarkah Maa Fahri dan Putri otak dari semua masalah ini?Awalnya memang aku sudah menduga kalau mereka adalah otak dari semua masalah ini, tapi aku tidak menyangka, kalau itu semua benar. "Tidak mungkin aku mengatakannya, kalau tidak benar.""Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau mereka yang melakukan itu semu—"Gadis itu tertawa, membuatku berhenti mengatakan kalimat tadi. "Memang benar. Tidak ada tanda-tanda dari mereka. Bahkan, mereka menyimpannya hebat sekali, tidak kelihatan oleh orang lain. Bi Nay menyangka tiga orang itu, bukan? Ah, ternyata otakmya adalah orang dekat Bi Nay sendiri."Remaja ini. Entah kenapa aku merasa dia pintar sekali. Aku menggelengkan kepala. Kami kembali melanjutkan langkah. "Kadang, orang yang dekat itu seperti musuh dalam selimut. Sulit dipercaya.""Bagaimana kamu bisa tahu semuanya?" tanyaku pelan. "Tidak usah dipikir juga, aku sudah tahu. Mereka orang jahat. Apalagi?"
Read more
Aku Sebenarnya ....
"Maaf, saya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Ibu memeluk saya."Mamanya Nara masih saja memelukku. Sedangkan Nara, Pamannya Pia, dan Papanya Nara sudah duduk. Seolah tidak peduli dengan kejadian ini. Hanya Angga yang juga kelihatan kebingungan. Selama beberapa menit, Mamanya Nara masih memelukku, membuat sedikit risih. Aku tidak mengerti kenapa sampai di peluk seperti ini. "Nay, saya selalu menunggu kedatangan kamu. Tapi apa? Tidak pernah datang.""Maksudnya, Bu? Saya tidak kenal dengan Ibu, saya saja baru kenal Nara tadi. Kenapa seolah-olah Ibu mengenal saya sudah lama?""Kamu belum tahu semuanya?"Mama Nara melepaskan pelukan, membuatku menghela napas lega. "Kamu ini gimana, sih, Nara. Sudah Mama bilang, kamu harusnya kasih tahu sejak dulu."Nara mengangkat bahu. "Kenapa tidak Mama saja? Kenapa harus Nara? Selalu Nara."Apa, sih? Sungguh, aku tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa seperti drama?"Dari pada kalian berdebat, lebih baik kasih tahu saja. Kasihan, kebingungan." Pama
Read more
Orang Tua Kandungku Adalah...
"Tapi mereka—""Tidak ada tapi-tapian lagi, Nay. Kamu mau terus-terusan bingung dengan semua ini? Waktunya melepaskan diri."Aku menelan ludah. Nara berdiri, dia sepertinya tidak mau berbicara denganku lagi. "Sekarang, semuanya terserah padamu. Aku akan membantumu, kalau kamu mengizinkan, tapi kalau tidak, buat apa? Tidak ada gunanya."Baiklah, aku akhirnya menganggukkan kepala, setelah melihat foto itu kembali. "Kamu mau membantuku, Nara? Bimbing aku sampai semuanya selesai."Nara berbalik. Dia menatapku sedikit tidak percaya. Biarkan semuanya bekerja dengan sendirinya. Aku akan melakukan semua yang ada di diriku. Kemampuanku. "Serius? Tadi gak mau.""Ini serius sekali. Kalau benar apa yang kamu katakan, aku tidak akan pernah memaafkan mereka. Meskipun mereka sering sekali membantuku."Astaga, sebenarnya aku masih tidak percaya dengan semua fakta ini. Ah, sulit sekali mempercayainya. Namun, entah kenapa sebagian besar diriku mempercayai Nara. Juga fakta yang menjurus ke Mas Fahr
Read more
Mereka Akan Mendapatkan Hukuman!
Tuan putri Nay? Siapa yang dipanggilnya begitu?"Cepetan masuk, Nay. Kelamaan banget nunggu di sini." Nara mendorong punggungku pelan, menyuruh masukKami sudah berdiri di depan gerbang. Ternyata, mobil itu tidak boleh masuk. Nara saja santai sekali turun dari mobil. Menghampiri penjaga yang langsung memasang kuda-kuda. Namun, ketika melihatku ikut turun, mereka terlihat santai sekali. Justru wajah mereka berubah jadi santai. "Boleh kami masuk?" tanyaku pelan, berusaha bernada sopan di sini. "Tentu saja Tuan Putri. Biar dua penjaga yang mengawal.""Nah, cepetan, Nay. Panas di sini. Diam aja terus." Nara mendesakku sejak tadi, membuat kesal saja. Baiklah. Aku melangkahkan kaki masuk ke gerbang rumah atau istana atau entahlah di sebut apa. Nara, Angga, dan Pamannya Pia berjalan di belakangku. Juga dua pengawal yang katanya membantu kami masuk nanti. Aku menganga. Ini benar-benar besar. Dari jauh terlihat besar, tapi saat dekat, lebih besar lagi. "Wow. Keren." Angga menepukkan tan
Read more
Rencana Membasmi Kejahatan
"Kita pulang dulu, Ayah, Bunda."Aku menyalami kedua orang tua yang baru saja bertemu denganku tadi. Rasanya, singkat sekali. Namun, aku juga harus pergi sekarang. Kami tidak bisa terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus diurus. "Hati-hati, Sayang. Banyak sekali yang mengincar putri Bunda ini." Bunda mengusap rambutku. "Nara tolong jagain Nay, ya. Dimana pun, kamu akan ikut dengannya, kan?" "Iya, Ratu. Nara ikut dengan Nay nanti. Membantunya."Bunda tersenyum padaku. Dia mengusap kepalaku. "Kamu tenang aja. Nanti bakalan ada pengawal yang tidak kelihatan membantu kamu. Akan selalu ada pertolongan untuk anak Bunda.""Makasih, Bunda." Aku tersenyum, memeluk Bunda sekali lagi. Setelah Bunda, aku beralih ke Ayah. Dia tersenyum, terlihat bangga melihatku. "Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun berpisah, kita ketemu juga, Nak. Tapi harus kembali berpisah hanya dalam pertemuan singkat."Aku menundukkan kepala. Fakta itu memang benar. Ah, aku jadi merasa bersalah sekarang. "Ini
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status