All Chapters of Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam: Chapter 31 - Chapter 40
44 Chapters
Sandiwara di Depan Putri
"Akhirnya, pulang lagi. Kemana aja kamu? Aku mau hubungi Fahri tapi gak ada ponsel di rumah ini."Aku menoleh ke paman Pia. Ternyata di sini tidak ada telepon atau ponsel genggam yang ditinggalkan. Kami masuk lewat pintu belakang. Aku juga baru tahu kalau rumah ini ternyata dikunci rapat-rapat. Tidak bisa dibuka sembarangan. Pandanganku terus menatap Putri, dia tidak melakukan apa-apa, 'kan? Atau ada yang dilakukannya di rumah ini?"Mau buat teh sama kopi dulu, gak? Ini masih malam, kalian gak mungkin pergi sekarang. Paling cepat besok pagi.""Boleh. Ada bahan makanan apa di sini?" tanyaku sambil berjalan ke dapur. "Dia ngeliatin aku terus. Kayaknya, sahabat kamu mulai curiga sama aku, Nay.""Gak papa. Kalau pun dia tahu, dia gak bakalan ngelakuin apa pun, kan?" tanyaku sambil tersenyum tipis. "Iya, sih."Terdengar langkah kaki mendekat. Bukan Paman nya Pia, karena pria itu sedang memasak air di sebelahku. Wajah Putri tampak ketika aku menoleh. Dia tersenyum, sesekali melirik Nara
Read more
Kalian Akan Mendapatkan Balasan
"Serius?" tanya Mama dengan nada terkejut. Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Orang tua kandungku orang hebat. Begitu juga dengan orang tua angkatku yang mendidik sejak kecil. Sekarang, aku tahu kenapa orang tua kandungku menitipkan pada Mama. Namun, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sebenarnya, ada apa, Ma?" tanyaku pelan. "Orang tua kandungmu gak bilang yang sebenarnya, Sayang?" Bukan tidak. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulut Mama. Tetap saja aku menggelengkan kepala. Nara memegang pundakku. Wajahnya tampak tidak setuju. Ia tahu, kalau aku mengetahui semuanya dari Ayah dan Bunda. Terdengar tawa pelan. Kami menoleh. Aku menatap Mama, mengernyit. "Mama tahu, kamu sudah mengetahui semua kisah itu, Nak. Tapi biarlah. Biar kamu tahu yang sebenarnya dari Mama."Aku memperbaiki posisi duduk. Siap mendengarkan cerita Mama. "Dulu, Mama cuma rakyat biasa di sana. Di tempat orang tua kandung kamu. Kamu tahu siapa suami kamu sebenarnya?" Mama berhenti sejenak. Ia me
Read more
Drama di Depan Mas Fahri
Ponselku berdering. Padahal, kami sebentar lagi sampai di rumah. Aku menatap layar. Melihat nama Mas Fahri tertera di sana. "Kamu di mana lagi? Si Putri juga gak bisa dihubungi. Aku kesal lama-lama kalau kamu bantah aku terus, Nay.""Keluar sebentar, Mas. Kamu ngapain marah-marah terus, sih?" tanyaku pelan. "Aku kesel sama kamu, Nay. Dibilangin jangan pergi, kamu gak bisa nurut sama aku sedikit aja gitu?" Suara Mas Fahri terdengar ketus sekali di seberang sana. "Kapan aku gak nurut sama kamu? Udahlah, sebentar lagi aku sampai. Kamu bilang nanti saja di rumah."Aku mematikan telepon. Menoleh keluar jendela mobil, kemudian melipat kedua tangan di depan dada. "Siapa?" Kepalaku menoleh, menatap Mama yang baru saja bertanya. Sedangkan Putri menatapku penasaran. "Mas Fahri. Biasalah, Ma." Aku berusaha tersenyum. Ingin sekali rasanya menjelaskan pada Mama, tapi biarlah. Susah menjelaskannya. Mobil berhenti di depan rumah kami. Aku meregangkan tangan, beranjak keluar dari mobil. "Maka
Read more
Petunjuk di Depan Mobil Mas Fahri
Mas Fahri sudah selesai makan. Dia langsung tidur. Sedangkan Mama sedang menonton televisi di ruang keluarga. Putri bermain ponsel di teras rumah. Sedangkan Nara bersamaku. Kami masih di ruang makan. "Kapan kita berangkat, Nay?" tanya Nara pelan. "Pake Bibi kalau ada Mas Fahri atau Putri. Kamu ingat, Nara?"Gadis itu memutar bola mata, kemudian mengangguk. "Tenang aja. Pasti pake.""Oke." Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian menganggukkan kepala. "Kita berangkat sekarang.""Eh? Kukira masih agak nantian.""Sekarang, dong. Dokternya udah aku hubungi tadi. Udah buat janji juga."Nara mengangguk, meskipun wajahnya terlihat sedikit keberatan. Dokter kandungan yang aku kenal, sedang piket sekarang. Kebetulan sekali. Maka nya aku ingin mengecek sekarang. Setelah mengambil tas, aku berdiri di samping Mas Fahri sebentar. Kalau tidak izin, dia pasti marah-marah lagi. "Mas."Mas Fahri hanya berdeham, kemudian memperbaiki posisi tiduran. "Aku izin pergi se
Read more
Isi Flash Disk Misterius
Mobil berhenti di depan rumah. Aku menatap Nara sebentar, pandanganku kembali beralih ke flash disk di tangan. "Besok aku coba cari tahu isinya di laptop," kataku sambil mengusap kening. "Harus secepatnya. Jangan sampai terlambat.""Iya. Tenang aja. Besok Mas Fahri belum kerja juga."Nara mengangguk. Dia keluar mobil, disusul aku. Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Mama ternyata sudah tidur. Tidak ada lagi di ruang keluarga. Aku mengecek Putri. Dia ada di kamar. Juga Mama. "Aku mau langsung tidur." Setelah bilang begitu, Nara pergi. Dia menguap terus. Aku menghela napas pelan. Mengunci pintu rumah. Baru setelah itu masuk ke dalam kamar. Terdengar dering ponsel. Aku mengernyit, bukan dari ponselku. Lalu dari mana?Ah, ternyata dari ponsel Mas Fahri. Dengan cepat, aku mengambil ponsel itu. Tidak diberikan kata sandi. Padahal, Mas Fahri rajin sekali mengunci ponselnya. Tanpa berpikir panjang, aku mulai menjelajahi ponsel Mas Fahri. Ada banyak pesan di sana. Semoga dia tidak terba
Read more
Barang Misterius
"Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny
Read more
Tindakan
"Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan
Read more
Menumpas Kejahatan
"Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku
Read more
Berubah Arah
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
Read more
Didatangi Tamu Tak Diundang
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status