All Chapters of Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam: Chapter 11 - Chapter 20
44 Chapters
Orang yang Terlibat
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid
Read more
Si Pemegang Rahasia
"Sesuatu apa, Ngga?" Angga menoleh ke sekitar. Mungkin memastikan tidak ada orang di sekitar kami. "Lihat ini, Bi."Aku menatap kalung yang ditunjukkan Angga. Apanya yang berbeda? "Mana sesuatunya?" "Yang ini, Bi." Tertulis nama seseorang di sana. Aku mengernyit, nama siapa itu? Tulisannya juga berwarna merah, berbau amis. "Maksudnya apa, Ngga?""Ini nama pembantu di sini, Bi. Kalau Angga hubungin sama maaalah ini, dia pelaku utamanya."Astaga. Aku menatap Angga tidak percaya. Benarkah itu semua? "Serius, Ngga? Tapi bukannya Papa tiri kamu pelaku utamanya? Kenapa jadi—""Ini serius banget, Bi Nay. Aku pokoknya bakalan hukum seberat-beratnya."Entah kenapa, aku masih belum yakin dengan pembantu itu. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar lain. Bukti kami belum banyak. Seperti robot, pasti ada sesuatu besar yang menggerakkannya. Pasti masalah ini sama seperti itu. "Ada yang tahu selain kita gak?"Angga diam sejenak. Dia menatapku aneh. "Tahu apa, Bi?" "Gak mungkin
Read more
Rahasia Nenek Tua
"Apaan, sih, Put? Biasa aja kali. Gak usah panik, cuma mau ke rumah anak itu.""Coba aku lihat alamatnya."Meskipun agak bingung, aku tetap memberikan ponsel itu ke Putri. Dia ingin melihat alamatnya. "Astaga!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Angga menghentikan mobil. Kami fokus ke Putri yang terlihat aneh. "Kenapa, Put?" Aku melirik Angga yang ikut menoleh ke belakang. "Pesannya gak sengaja ke hapus, Nay. Nomornya juga. Gimana jadinya?"Kami bertatapan sejenak. Angga mengangkat bahu, itu bukan masalah besar sebenarnya. Aku menoleh kembali ke Putri. Sebenarnya, pesan itu sulit dihapus. Tidak mungkin gak sengaja kehapusnya. Kecuali, Putri memang ada niatan untuk menghapus pesan itu. "Gak papa. Sini ponselnya."Brak!Bagus. Aku menatap ponsel yang sudah tergeletak di lantai mobil. Ada apa, sih, dengan Putri hari ini? Dia terlihat aneh sekali. Putri buru-buru mengambil ponsel milik Angga. "Gak bisa dinyalain lagi. Maaf, ya."Aku menoleh ke Angga. Wajahnya biasa saja. "Gak papa, Bi.
Read more
Kejutan Paling Menegangkan
"Nenek tadi bilang—""Kita sudah sampai, Nak."Eh? Aku melongo mendengarnya. Belum juga Angga berbicara sesuatu. Rumah di sini seperti rumah panggung, tapi terlihat lebih tua, sepertinya rapuh juga. Aku menatap sekeliling, tidak ada yang menarik. "Kalian betul mau ke rumah Pia?"Aku mengangguk. Jelas saja. "Ayo."Nenek ini tahu di mana rumah Pia? Berarti itu berita bagus sekali. Kami tidak perlu mencari tahu sendiri. Kami kembali berjalan. Sejak tadi, Angga terus melirikku. Dia ingin mengatakan sesuatu. "Nah, ini, Nak.""Ini rumah Pia, Nek?" tanyaku sambil menatap rumah itu. Terlihat sudah rapuh sekali rumahnya. Aku menatap dari sisi samping juga. Seperti mau ambruk. "Bukan. Ini rumah Nenek, Nak. Mari, masuk."Eh? Kenapa kami malah ke rumah Nenek ini? Bukankah kami mau ke rumah Pia?Aku menoleh ke Angga. Dia menggelengkan kepala, tanda tidak membolehkanku untuk protes. "Kalian ingin menanyakan soal Zifa, bukan?"Astaga. Aku mengerjapkan mata mendengar pertanyaan nenek itu. Dia
Read more
Pia Sebenarnya ....
"Ja—jadi Pia sudah meninggal, Nek?""Sebulan setelah kepindahannya kesini, Nak."Mendadak kakiku lemas mendengarnya. Masih jelas sekali di pikiranku, ketika Pia menelepon kemarin. "Kalian sempat mendengar suara Pia?"Aku mengangguk. "Kemarin kami sempat teleponan, Nek.""Serius, Nak?" Nenek itu ikut berjongkok di sebelahku. Kami sudah ada di dekat kuburan Pia. Aku menatap gundukan tanah itu, mengembuskan napas pelan. "Iya, Nek. Serius sekali, saya berbicara dengan Pia kemarin, juga Angga.""Ah, ada dua kemungkinannya, Nak." "Apa itu, Nek?""Nanti saja. Kamu sejak tadi mau berbicara dengan Pia, kan? Silakan. Kamu juga Angga?"Angga mengangguk, dia mengambil posisi jongkok di sebelahku. Sungguh, aku mengira kalau Pia masih hidup. Ternyata, dia sudah—Ah, lalu kemana lagi kami harus mencari semua informasi ini? Awalnya, aku hanya ingin mengandalkan Pia. "Ayolah, Nak. Fokus sekarang. Pikirkan nanti. Nenek sudah punya sesuatu untuk kamu."Aku menoleh ke Nenek itu, mengernyit. Dia men
Read more
Petunjuk dari Pia
"Pia cucu Nenek?" tanya Angga terkejut. "Iya. Pia, sahabat Zifa. Dia yang memegang rahasia Zifa."Ini benar-benar kabar gembira. Aku mengambil foto yang ada di tangan Angga. Berusaha mengingat wajah remaja yang mengobrol denganku tadi. "Jadi, Nak. Serius kamu bertemu dengan Pia tadi? Di sana?""Iya, Nek." Aku mengalihkan pandangan. "Tadi Pia bilang—""Nay, kamu udah hubungi Fahri belum? Dia nelponin aku, nanyain kamu terus."Kami menoleh ke pintu. Ada Putri di sana. Dia menatap kami. Buru-buru aku mendekati Putri, mengambil ponsel yang diberikannya. Padahal, aku sudah mematikan ponsel, agar Mas Fahri tidak bertanya yang aneh-aneh. Kalau menurutku, menghubungi Mas Fahri hanya ketika waktu luang saja. Aduh, jangan sampai Putri bilang yang tidak-tidak. "Masih terhubung itu."Aku berdeham, keluar dari kamar sebentar. "Halo, Mas. Tumben nelepon lewat Putri.""Iyalah. Aku telepon kamu gak aktif nomornya. Siapa lagi yang mau aku telepon selain Putri?" tanyanya ketus. Aduh, dari nadany
Read more
Ketakutan Mereka
"Isi kotaknya apa, Bi?" tanya Angga. Dia mendekat ke arahku. "Kayaknya, lumayan berharga, Ngga."Aku membuka tutup kotak itu hati-hati. Kami menatap sebentar isi di dalamnya. "Coba keluarin, Bi." Hanya sebuah buku. Aku mengangguk, mengeluarkan buku itu dari dalam kotak. Ah, buku ini seperti buku harian, tapi terkunci juga."Yah, kok pakai dikunci segala, sih? Pakai kunci kotak itu bisa gak, Bi?" tanya Angga sambil melirik kotak tadi. Tidak usah dicoba juga tidak akan pas. Lubang kunci ini lebih kecil, tidak cocok untuk kunci yang masih menggelantung di kotak. "Nay, udah belum?""Astaga." Aku menoleh ke pintu. "Sabar, Putri. Sebentar lagi aku pasti keluar, jangan kayak gitu terus bisa gak, sih?" tanyaku kesal. "Biasa aja, Nay. Suami kamu ganggu aku terus. Memangnya enak ditelepon beberapa menit sekali?"Aku menghela napas pelan, memasukkan buku itu kembali ke kotak, menguncinya. Kemudian beranjak. Aku akan membawa kotak ini pulang. Bagaimana pun caranya. "Eh? Memangnya Nenek itu
Read more
Foto di Buku Harian
"Gimana mau bilang, kamu aja gak bisa dihubungi terus. Berulang-ulang kayak gitu. Salah sendiri.""Kok jadi nyalahin aku? Awas aja kalau sampai terjadi sesuatu sama hidup kita.""Aku gak mungkin gak ngikutin kemauan Nay. Kalau dia curiga gimana?"Aku semakin penasaran. Apa yang Mas Fahri dan Putri sembunyikan dariku? Apakah sesuatu itu fatal?"Jangan sampai kamu kayak gitu lagi." Mas Fahri beranjak. Buru-buru aku bersembunyi. Suamiku itu masuk ke dalam. Entah kemana sekarang. "Pasti sesuatu ini besar. Mas Fahri mengincar apa, ya?"***"Pokoknya, sekali lagi kamu pergi, apalagi menyelidiki soal anak itu, aku bakalan marah. Kamu gak patuh banget sama perkataanku.""Iya, Mas." Aku menghela napas pelan. "Ingat, Nay. Aku suami kamu. Kamu gak boleh pergi tanpa persetujuan dari aku. Apa pun itu, kalau gak penting dan menyangkut anak itu, aku gak izinin kamu."Aku berdeham. Malas menjawab perkataan Mas Fahri. Mas Fahri akan kembali ke rumah Mamanya. Dia hanya kembali sebentar dan mengecek
Read more
Isi Buku Harian Pia
"Eh? Mana ada mirip sama aku.""Serius, Put. Coba, deh." Aku berusaha menyamakan foto itu dengan wajah Putri, tapi dia terus-terusan mengelak. Memang benar, foto itu terlihat lebih kusam, agak buram juga. Kurang terlihat wajahnya. Tapi aku yakin. Itu Mas Fahri dan Putri. Saat aku membalik foto itu, ada tanggal di sana. Beberapa tahun yang lalu. Hm. Aku yakin sekali, ini pasti ada hubungannya dengan Putri dan Mas Fahri. "Kamu pegang ini, Ngga. Biar Bibi yang baca duluan.""Oke, Bi."Angga memberikan buku harian itu padaku. Sedangkan aku memberikan fotonya pada Angga. "Coba aku lihat fotonya." Putri membuka suara.Aku dan Angga saling bertatapan. Akhirnya, Angga menggelengkan kepala. Dia sejak awal sudah merasa curiga dengan Putri. Baiklah. Aku mendukung keputusan Angga. Bagaimana pun juga, kami sedang membongkar misteri kematian Zifa, adiknya Angga. "Nanti aja, Put.""Tapi, Nay—""Bi, coba buka, deh, buku hariannya." Angga mengalihkan pembicaraan. Dia masih memegang buku harian
Read more
Sesuatu di Kamar Zifa
"Kita masuk sekarang, Bi?" tanya Angga sambil menoleh ke aku. Ragu-ragu, aku mengangguk. Membuka pintu kamar Zifa lebih lebar. Kami masuk ke dalam kamar Zifa. Kamarnya terlihat gelap. Aku menelan ludah, berusaha mencari saklar. "Di sini saklarnya, Bi." Lampu akhirnya menyala. Aku menatap ke sekeliling. "Astaga!"Aku berteriak. Ada sekelebat bayangan lewat barusan. Ya ampun, itu cukup mengerikan. "Kenapa, Bi Nay?" tanya Angga pelan. Dia baru saja memeriksa meja belajar Zifa. "Enggak. Gak papa." Sebenarnya, itu bayangan apa? Kenapa mengerikan sekali? Ah, aku mengusap kening, jangan sampai itu bayangan mengganggu kami. Angga menatapku aneh, tapi dia akhirnya mengangguk. "Bi Nay lihat sesuatu, ya, di sini?" tanya Angga pelan. Aku diam sejenak. Beberapa detik, aku menganggukkan kepala. Memang benar, yang aku lihat tadi bukan sembarang sesuatu yabg lewat. Ah, itu menyeramkan. "Lihat apa, Bi?""Ada bayangan hitam lewat, Ngga."Angga menatapku tidak percaya. "Serius, Bi? Di sini
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status