Lahat ng Kabanata ng Pungguk Merindukan Bulan: Kabanata 51 - Kabanata 60
115 Kabanata
Be Calm, Seika!
"Syukurlah kau lekas pulang Kama, ada pakcikmu di dalam." cakap Mamak ketika menyambut kepulangan si Anak Bujang kesayangan. "Ada adikmu juga, sejak pagi mereka ke mari." Bertolak belakang dengan Mamak, Kama terlihat muram. Tak senang hatinya mendengar kabar kalau ternyata Pakcik dan Siti Hapsari ada di sini. Jika tak ada kaitan dengan perjodohan sih, tidak masalah sama sekali. "Oh Kama, janganlah merengut macam ini!" Mamak mengingatkan, menggamit lengannya. Benar-benar pagi yang buram bagi Kama, meskipun sinar matahari begitu cerah. "Tak patut bermuka masam di hadapan calon mertua Kama, terutama calon istri kau." Bah! Kama benar-benar meledak di dalam. "Siapa pula yang sudi dijodohkan?" "Siti, kemarilah Nak!" panggil Mamak begitu mereka sampai di ruang tengah. "Kasih salam sama calon suami kau. Di mana ama kau, tak tengok rupanya calon menantunya sudah sampai?" Siti tersenyum kikuk. "Ama di belakang, Mak Uwo." "Abang?" masih kikuk juga ketika dia menyalami Kama. "Lelah Ab
Magbasa pa
Sajadah Merah Maroon
"Terima kasih banyak, Bang Derya." ungkap Hiranur penuh perasaan haru dan bahagia. "Kalai begitu, saya permisi pulang." Memasang wajah penuh wibawa namun sangat peduli, Derya mengangguk. Memejamkan mata, mengulas senyum tipis yang sedikit miring. Gaya tersenyum paling kece baginya. "Hati-hati di jalan Hiranur. Jangan lupa, waktu cuti kamu hanya satu minggu." Santun, Hiranur mengangguk. Membalas senyum Derya yang tadi dengan senyum tipis tapi manis. "Baik, Bang Derya." Ditarik oleh bayang-bayang Kama yang begitu didambakannya, Hiranur menyusun langkah lebar-lebar menuju pintu. Sayang sekali, sang Pujaan Hati kian keras menarik dirinya hingga nyaris menabrak William yang baru saja tiba di kantor. "Oh, emh, maaf Pak William … Sa---saya tidak sengaja." William tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Hiranur. Lain kali, lebih hati-hati lagi, ya?" Gelagapan, Hiranur menjawab segan. "Ba---baik, Pak William. Oh, emh, mari Pak William. Saya tergesa-gesa." William hanya diam, memberikan s
Magbasa pa
Kasih Yang Terberai
Seika mendesah berat. Menekan tangis kembali ke pelupuknya, mencoba untuk tersenyum. Hasilnya? Senyum sedih tapi Welas memuji ya setinggi langit. "Cutest smile, Miss Seika Eline!" Seika menutup mulut dengan telapak tangan. Mengerjap-ngerjapkan mata, berjuang untuk merelakan kepulangan Kama ke rumah orangtuanya. Untuk meningkatkan kepercayaan pada sang Kekasih Hati. Meyakinkan diri sendiri bahwa seorang Kama Nismara tidak mungkin berkhianat, dia tipikal tulus mencinta dan setia. "Jadi Welas, ke mana kita sore ini?" tanya Seika sambil merapikan bagian samping rambut pirang panjangnya. "Jalan-jalan ke mall yuk Welas, sekalian makan malam? Kayaknya sudah lama banget ya kita nggak hangout?" Welas tersenyum lebar. Gembira sekali hatinya, karena secepat ini Seika membaik. Bukan berarti menginginkan sahabat dekatnya itu terpuruk atau bagaimana, sih. "Oke, aku setuju. Kayaknya aku juga harus belanja kebutuhan pribadi deh, Sei?" Seika mengangguk, senyumnya sudah lebih cerah sekarang. "Oke,
Magbasa pa
Welas Jatuh Cinta
"Sei, menurut kamu William tuh orangnya asyik nggak?" malu-malu Welas bertanya sambil menghempaskan tubuh di atas car seat. "Emh, maksudku … Waktu baru ketemu pertama kali dulu tuh, kesannya tuh dingin banget. Kayak yang cuek bebek gitu, nggak pedulian." Dalam hati Seika tersenyum gembira---bersyukur, karena akhirnya sang Sahabat dekat ini tertarik pada lawan jenis---tetapi di wajah terkesan datar. "Ya, asyik juga sih. Tergantung gimana situasinya. Emang kenapa Welas, kamu naksir ya sama dia? Ehem, cieeeh …!" Welas semakin tersipu malu. Wajahnya sampai berubah menjadi merah. Keringat mengembun di kening. "Ah, nggak kok Sei. Cuman nanya aja, kok." Akhirnya Seika tertawa juga, tak tahan menyembunyikan kegembiraan. "Ha, ciyus? Masa sih, nggak naksir? Emh, jadi kalau misalnya nggak naksir nih ya Welas, buat apa coba kamu ingin tahu tentang William? Asyik nggak, dingin apa hangat? Hahahaha Welas, Welas! Memangnya aku anak TK, apa?" Welas terdiam, memalingkan wajah ke kiri. Memandang jau
Magbasa pa
Don't Be Sad!
Tak mau kehilangan banyak waktu dan kesempatan, Derya langsung pergi ke ruang kerja Hiranur. Tak lain dan tak bukan tujuannya adalah mengambil CCTVyang beberapa waktu lalu dirusaknya. Bukan, bukan untuk diperbaiki, tentu saja. Derya hanya ingin memastikan, bahwa ia dalam keadaan rusak. Itu saja. Sayang, lagi-lagi ada seseorang yang sepertinya memang berniat mengacaukan segala obsesinya di Real Publishing ini. Dengan santainya, William pun berjalan ke arah yang sama, ruang kerja Hiranur. Meskipun dalam hati mengamuk, meledak-ledak tetapi demi kebaikan plus keamanan dirinya sendiri, Derya membelokkan langkah ke pantry. "Bagus juga, sekalian memesan kopi susu dan makanan ringan." gumamnya dalam hati. "Siapa tahu, ternyata aku hanya butuh kopi susu panas, hahahaha …!" lanjutnya menghibur diri. "Ugh, kenapa sih si Sialan itu selalu menghantui aku? Sok banget, sih? Mentang-mentang keponakan Menir Hank!" "Eh, Bang Derya?" Tessa menyempatkan menyapa di antara pekerjaan yang menumpuk di p
Magbasa pa
Surprise Untuk William
"Kau kemasi barang-barang dan pakaian sekarang!" titah Kama tanpa sedikit pun memandang Siti Hapsari. "Besok pagi-pagi kita berangkat ke Yogyakarta. Aku sudah pesan kendaraan yang akan mengantarkan kita ke bandara Kualanamu." Siti Hapsari baru saja membuka mulut, hendak memberikan tanggapan tetapi ternyata Kama belum selesai berbicara. Masih menghadap di dinding Mushalla sama seperti tadi, dia mengatakan, "Selama di Yogyakarta nanti, kau tinggal di rumah saja dan ini perintah dariku. Jangan sampai melanggar, jika benar kau ingin menjadi istri shalihah untukku. Paham?" "Paham, Bang." "Ikhlas kau kan, kuberi aturan macam itu?" Kama membalikkan separuh badan, menghadap Siti Hapsari supaya bisa memindai dusta dalam bola matanya. "Kalau tak ikhlas, kau cakap saja samaku sekarang?" Siti Hapsari mengangguk, menunduk. "Ikhlas, Bang." Kama beranjak dari tepi tempat tidur, berjalan mendekati jendela, memandang jauh ke depan. "Bagus. Aku pegang cakap dan Tuhan menyaksikan." "Tapi, Bang …
Magbasa pa
Selalu Ada Cerita Baru
"Apa nggak sebaiknya kau pulang ke mari saja, Kama?" Abang meletakkan cangkir beling sewarna bunga waru yang sudah kosong itu di atas meja. "Maksud Abang, kau harus sampai hati menyampaikan kenyataan ini pada Seika, Kama. Tak patut menyembunyikan sesuatu yang baik lagi suci macam pernikahan kalian. Toh, cepat atau lambat Seika pasti tahu juga, kan?" Kama tak berkutik, laiknya pemain tinju yang terhantam keras-keras tepat di ulu hati. Sakit, sesak. "Kau kan bisa buka usaha sendiri di sini?" Abang menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas panjang. "Bukan maksud hati Abang mencampuri urusan hidup kau, Kama. Tapi menurut Abang, sebaiknya jangan kau bawa Siti ke Yogyakarta! Kecuali kau bisa menjaga dan melindungi dia kejahatan apa pun itu yang mungkin dilakukan Seika." Emosional, Kama menyahut, "Lalu, jika tidak kubawa ke Yogyakarta, ke mana lagi harus kubawa dia, Bang? Rumahku ada di sana. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi Siti harus ikut serta. Mustahil aku tinggalkan dia bersam
Magbasa pa
Kelahiran, Hidup dan Perjalanan
"Kama, ke marilah sebentar!" Mamak memanggil dari dalam kamar. Mau tak mau, siap tak siap meskipun lutut bergetar, Kama memenuhi panggilan Mamak. Sepertinya genting sekali. "Saya, Mak?" Mamak beringsut turun dari tempat tidur. "Ha, tolong kau ambilkan pucuk pisang yang masih tergulung di belakang ya? Kau ambilkan dua. Nah, kalau abangmu sudah siap sembahyang, kau suruh kemari dia, ya. Kurang sikit lagi, bukaannya lengkap." "Baik, Mak." Kama membalikkan badan menghadap ke pintu, berjalan gontai. Lututnya semakin bergetar sekarang. Sempat dilihatnya tadi si kakak Ipar meringis kesakitan, menjerit tertahan setengah mengedan. Keringat bercucuran di wajah pucatnya. "Abang, suruh masuk ke kamar sama Mamak." cakapnya saat berpapasan dengan Abang. Dia susah selesai sembahyang. "Ya, Kama." Abang membenarkan letak sarungnya. "Kau mau ke mana?" "Di suruh Mamak ambik pucuk pisang di belakang." Abang mengangguk. "Wah, terima kasih ya, Kama?" Giliran Kama yang mengangguk, mencoba men
Magbasa pa
Kama Menjadi Bimbang
Benar-benar peristiwa yang takkan mudah dia lupakan sepanjang hidupnya. Ini pertama kalinya Kama menyaksikan sebuah proses persalinan. Menguras emosi, sungguh. "Mamak ke mana?" Abang yang baru masuk ke kamar bertanya dengan kepanikan yang tak bisa dikatakan biasa. "Sembahyang, Bang." Siti Hapsari yang menjawab. Kama sudah terlalu bisu sekarang. "Oh, iya." Abang menyahut singkat lalu mendekati istrinya yang terlihat semakin lemas, gemetar. "Dek, bagaimana Dek? Kuat ya, sayangku?" bisiknya sambil mengusap-usap punggungnya. "Sebentar lagi anak kita lahir, lho." "Hemmm, hemmm … Aaahhh!" "Iya, Sebentar lagi. Terus berjuang ya, Dek?" Ajaib! Usai Abang berbisik seperti itu, si Kakak Ipar seperti ponsel yang lowbat terhubung dengan charger. Berangsur-bangsur kekuatannya pulih kembali. Proses persalinan pun kembali berjalan. Sabar dan tenang, Abang terus mengusap-usap punggung istrinya. "Ya Dek, ngeden semampumu. Sekuatmu. Pasrah sama Allah, Dek. Ingat Allah terus ya, sayangku. Nah
Magbasa pa
Remuk Bersama-sama
"Emh, oh, jadi Abang sudah menikah?" Hiranur bertanya lirih, sekian detik setelah siuman. Kama dan Siti Hapsari saling memandang. Memberikan senyuman yang walaupun tipis tapi terasa manis. Kama bahkan merangkulnya dari samping. Rangkulan pertama untuk yang bergelar isteri. Demikian lembut dan hangatnya rangkulan itu sehingga berdiri seluruh bulu roma Siti Hapsari. Degup jantung meningkat pesat, rongga dada bergemuruh dan aliran darah terhenti selama beberapa saat. Wajah ayu Siti Hapsari bersemu merah muda. "Ya, kami sudah menikah, Hiranur." Kama memberikan penjelasan singkat. Hiranur bangkit dari posisi berbaring, merapikan jilbab. Memastikan tak sedikit pun pakaiannya tersingkap. "Oh, kalau begitu selamat ya, Bang? Semoga kalian jadi keluarga bahagia, sakinah mawaddah warrahmah barakah. Diberikan keturunan yang shalih dan shalihah." "Aamiin." hampir bersamaan Siti dan Kama memberikan tanggapan singkat padat berisi. "Makasih ya, Hiranur?" "Sama-sama, Bang." lemah, Hiranur
Magbasa pa
PREV
1
...
45678
...
12
DMCA.com Protection Status