"Sei, menurut kamu William tuh orangnya asyik nggak?" malu-malu Welas bertanya sambil menghempaskan tubuh di atas car seat. "Emh, maksudku … Waktu baru ketemu pertama kali dulu tuh, kesannya tuh dingin banget. Kayak yang cuek bebek gitu, nggak pedulian." Dalam hati Seika tersenyum gembira---bersyukur, karena akhirnya sang Sahabat dekat ini tertarik pada lawan jenis---tetapi di wajah terkesan datar. "Ya, asyik juga sih. Tergantung gimana situasinya. Emang kenapa Welas, kamu naksir ya sama dia? Ehem, cieeeh …!" Welas semakin tersipu malu. Wajahnya sampai berubah menjadi merah. Keringat mengembun di kening. "Ah, nggak kok Sei. Cuman nanya aja, kok." Akhirnya Seika tertawa juga, tak tahan menyembunyikan kegembiraan. "Ha, ciyus? Masa sih, nggak naksir? Emh, jadi kalau misalnya nggak naksir nih ya Welas, buat apa coba kamu ingin tahu tentang William? Asyik nggak, dingin apa hangat? Hahahaha Welas, Welas! Memangnya aku anak TK, apa?" Welas terdiam, memalingkan wajah ke kiri. Memandang jau
Tak mau kehilangan banyak waktu dan kesempatan, Derya langsung pergi ke ruang kerja Hiranur. Tak lain dan tak bukan tujuannya adalah mengambil CCTVyang beberapa waktu lalu dirusaknya. Bukan, bukan untuk diperbaiki, tentu saja. Derya hanya ingin memastikan, bahwa ia dalam keadaan rusak. Itu saja. Sayang, lagi-lagi ada seseorang yang sepertinya memang berniat mengacaukan segala obsesinya di Real Publishing ini. Dengan santainya, William pun berjalan ke arah yang sama, ruang kerja Hiranur. Meskipun dalam hati mengamuk, meledak-ledak tetapi demi kebaikan plus keamanan dirinya sendiri, Derya membelokkan langkah ke pantry. "Bagus juga, sekalian memesan kopi susu dan makanan ringan." gumamnya dalam hati. "Siapa tahu, ternyata aku hanya butuh kopi susu panas, hahahaha …!" lanjutnya menghibur diri. "Ugh, kenapa sih si Sialan itu selalu menghantui aku? Sok banget, sih? Mentang-mentang keponakan Menir Hank!" "Eh, Bang Derya?" Tessa menyempatkan menyapa di antara pekerjaan yang menumpuk di p
"Kau kemasi barang-barang dan pakaian sekarang!" titah Kama tanpa sedikit pun memandang Siti Hapsari. "Besok pagi-pagi kita berangkat ke Yogyakarta. Aku sudah pesan kendaraan yang akan mengantarkan kita ke bandara Kualanamu." Siti Hapsari baru saja membuka mulut, hendak memberikan tanggapan tetapi ternyata Kama belum selesai berbicara. Masih menghadap di dinding Mushalla sama seperti tadi, dia mengatakan, "Selama di Yogyakarta nanti, kau tinggal di rumah saja dan ini perintah dariku. Jangan sampai melanggar, jika benar kau ingin menjadi istri shalihah untukku. Paham?" "Paham, Bang." "Ikhlas kau kan, kuberi aturan macam itu?" Kama membalikkan separuh badan, menghadap Siti Hapsari supaya bisa memindai dusta dalam bola matanya. "Kalau tak ikhlas, kau cakap saja samaku sekarang?" Siti Hapsari mengangguk, menunduk. "Ikhlas, Bang." Kama beranjak dari tepi tempat tidur, berjalan mendekati jendela, memandang jauh ke depan. "Bagus. Aku pegang cakap dan Tuhan menyaksikan." "Tapi, Bang …
"Apa nggak sebaiknya kau pulang ke mari saja, Kama?" Abang meletakkan cangkir beling sewarna bunga waru yang sudah kosong itu di atas meja. "Maksud Abang, kau harus sampai hati menyampaikan kenyataan ini pada Seika, Kama. Tak patut menyembunyikan sesuatu yang baik lagi suci macam pernikahan kalian. Toh, cepat atau lambat Seika pasti tahu juga, kan?" Kama tak berkutik, laiknya pemain tinju yang terhantam keras-keras tepat di ulu hati. Sakit, sesak. "Kau kan bisa buka usaha sendiri di sini?" Abang menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas panjang. "Bukan maksud hati Abang mencampuri urusan hidup kau, Kama. Tapi menurut Abang, sebaiknya jangan kau bawa Siti ke Yogyakarta! Kecuali kau bisa menjaga dan melindungi dia kejahatan apa pun itu yang mungkin dilakukan Seika." Emosional, Kama menyahut, "Lalu, jika tidak kubawa ke Yogyakarta, ke mana lagi harus kubawa dia, Bang? Rumahku ada di sana. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi Siti harus ikut serta. Mustahil aku tinggalkan dia bersam
"Kama, ke marilah sebentar!" Mamak memanggil dari dalam kamar. Mau tak mau, siap tak siap meskipun lutut bergetar, Kama memenuhi panggilan Mamak. Sepertinya genting sekali. "Saya, Mak?" Mamak beringsut turun dari tempat tidur. "Ha, tolong kau ambilkan pucuk pisang yang masih tergulung di belakang ya? Kau ambilkan dua. Nah, kalau abangmu sudah siap sembahyang, kau suruh kemari dia, ya. Kurang sikit lagi, bukaannya lengkap." "Baik, Mak." Kama membalikkan badan menghadap ke pintu, berjalan gontai. Lututnya semakin bergetar sekarang. Sempat dilihatnya tadi si kakak Ipar meringis kesakitan, menjerit tertahan setengah mengedan. Keringat bercucuran di wajah pucatnya. "Abang, suruh masuk ke kamar sama Mamak." cakapnya saat berpapasan dengan Abang. Dia susah selesai sembahyang. "Ya, Kama." Abang membenarkan letak sarungnya. "Kau mau ke mana?" "Di suruh Mamak ambik pucuk pisang di belakang." Abang mengangguk. "Wah, terima kasih ya, Kama?" Giliran Kama yang mengangguk, mencoba men
Benar-benar peristiwa yang takkan mudah dia lupakan sepanjang hidupnya. Ini pertama kalinya Kama menyaksikan sebuah proses persalinan. Menguras emosi, sungguh. "Mamak ke mana?" Abang yang baru masuk ke kamar bertanya dengan kepanikan yang tak bisa dikatakan biasa. "Sembahyang, Bang." Siti Hapsari yang menjawab. Kama sudah terlalu bisu sekarang. "Oh, iya." Abang menyahut singkat lalu mendekati istrinya yang terlihat semakin lemas, gemetar. "Dek, bagaimana Dek? Kuat ya, sayangku?" bisiknya sambil mengusap-usap punggungnya. "Sebentar lagi anak kita lahir, lho." "Hemmm, hemmm … Aaahhh!" "Iya, Sebentar lagi. Terus berjuang ya, Dek?" Ajaib! Usai Abang berbisik seperti itu, si Kakak Ipar seperti ponsel yang lowbat terhubung dengan charger. Berangsur-bangsur kekuatannya pulih kembali. Proses persalinan pun kembali berjalan. Sabar dan tenang, Abang terus mengusap-usap punggung istrinya. "Ya Dek, ngeden semampumu. Sekuatmu. Pasrah sama Allah, Dek. Ingat Allah terus ya, sayangku. Nah
"Emh, oh, jadi Abang sudah menikah?" Hiranur bertanya lirih, sekian detik setelah siuman. Kama dan Siti Hapsari saling memandang. Memberikan senyuman yang walaupun tipis tapi terasa manis. Kama bahkan merangkulnya dari samping. Rangkulan pertama untuk yang bergelar isteri. Demikian lembut dan hangatnya rangkulan itu sehingga berdiri seluruh bulu roma Siti Hapsari. Degup jantung meningkat pesat, rongga dada bergemuruh dan aliran darah terhenti selama beberapa saat. Wajah ayu Siti Hapsari bersemu merah muda. "Ya, kami sudah menikah, Hiranur." Kama memberikan penjelasan singkat. Hiranur bangkit dari posisi berbaring, merapikan jilbab. Memastikan tak sedikit pun pakaiannya tersingkap. "Oh, kalau begitu selamat ya, Bang? Semoga kalian jadi keluarga bahagia, sakinah mawaddah warrahmah barakah. Diberikan keturunan yang shalih dan shalihah." "Aamiin." hampir bersamaan Siti dan Kama memberikan tanggapan singkat padat berisi. "Makasih ya, Hiranur?" "Sama-sama, Bang." lemah, Hiranur
Sungguh, demi mendengar semua yang disampaikan Seika, Hiranur semakin mengkerut. Menyusut. Tak sampai hati rasanya untuk melanjutkan tekad yang tadi. Namun jika tidak, Seika pasti akan bertambah tersiksa. Dia pasti akan terus bertanya, berpikir dan semakin bingung. "Ya, Seika." Hiranur kembali menguatkan diri. "Sorry to ask Seika, apa Bang Kama juga sudah memberitahu kalau ternyata mereka sudah menikah?" Dug jlep, plaaasss! Hampir saja Seika terjatuh tak sadarkan diri dari ayunan. "Apa Hiranur, Kama sudah menikah?" "Ya Seika, aku melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri." ungkap Hiranur terisak-isak. Tak kuasa lagi membendung arus deras air mata. "Waktu aku datang, Siti Hapsari yang membukakan pintu lalu dia mengenakan diir sebagai istri Bang Kama. Tak lama sesudah itu, Bang Kama pun menjumpai kami di ruang tamu. Begitu juga dengan Makcik, Mamak Bang Kama. Oh, mereka benar-benar sudah menikah Seika, sungguh. Untuk apa aku berdusta?" Di kamarnya yang lux, Seika tak mampu berbuat