All Chapters of Love of My Life: Chapter 31 - Chapter 40
48 Chapters
Chapter 31
"Harus banget kita ke sini ya, Bang?" Pandan ragu-ragu saat Denver membawanya masuk ke kantor polisi. Bukannya apa-apa, seumur hidupnya ia tidak pernah menginjak yang namanya kantor polisi. Jadi ada perasaan tidak nyaman saat harus masuk ke sarang pria-pria berseragam ini. Rasanya seperti akan di penjara saja. Tapi sepertinya Denver sudah membulatkan tekad untuk melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib. Ia ingin menuntaskan kasus ini melalui prosedur yang benar katanya. Ia tidak mau lagi bermain detektif-detektifan yang akhirnya malah akan berakhir dengan penghianatan. Makanya ia dengan sengaja menemui Kompol Galih Kurniawan Jati terlebih dulu untuk bertukar pikiran, sebelum benar-benar akan melaporkan kasus ini secara resmi. Dan di sinilah mereka sekarang. Dalam ruangan kerja asri Kompol Galih Kurniawan Jati. "Bukannya saya bermaksud untuk mencampuri urusan pernikahan kalian ya, Pandan, Denver. Hanya saja situasinya saya rasa kurang tepat untuk membuat sebua
Read more
Chapter 32
"Lo jadi nikah lusa ya, Ndan?" Ziva bertanya sambil lalu. Tangannya dengan cekatan membantu Pandan memilih-milih kebaya yang akan dikenakan pada saat akad. Pertanyaan Ziva sontak membuat Pandan menghentikan gerakannya yang sedang menyortir antara satu kebaya dengan kebaya lainnya. Karena pernikahannya mendadak, ia memutuskan untuk mengenakan kebaya jadi siap pakai saja. Ia tidak ingin merepotkan Tante Nisa, bundanya Ziva untuk membuat kebaya baru karena waktunya sudah terlalu mepet.Tante Annisa memang mempunyai beberapa butik yang khusus menyediakan gaun-gaun dan kebaya pernikahan. Ziva juga bekerja paruh waktu di sini. Ia suka mendesign kebaya-kebaya pernikahan muslimah. Hitung-hitung latihan membuat kebaya untuk akad sendiri nanti katanya. "Jadi, Va. Soalnya Denver nggak suka ini debay keburu gede and nggak punya status yang jelas," sahut Pandan dengan dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah pada Ziva. Karena biar bagaimanapun Denv
Read more
Chapter 33
Saat kata-kata sah terdengar, perasaan Pandan menjadi begitu plong. Bebannya selama hampir dua bulan ini seakan-akan terangkat semua dari pundaknya. Ingatannya melayang pada saat ia membayangkan akan menjadi seorang ibu tunggal bagi bayinya dua bulan lalu. Belum lagi bayangan akan dibuangnya dirinya ke Siam sana. Hujatan dari kanan kiri akibat hamil di luar nikah, semua menyerbu bagai air bah di benaknya. Namun ternyata semua ketakutannya itu tidak beralasan. Ia kini telah sah menyandang status sebagai istri dari Denver Delacroix Bimantara. Anaknya akan mempunyai orang tua yang lengkap, sekaligus ia juga memiliki suami yang insya allah akan menemaninya sampai maut memisahkan nanti. Mengenang semua itu membuat mata Pandan kembali berair.  Ingatannya melayang lebih jauh lagi. Kembali pada saat kanak-kanak dan remajanya bersama pria berangasan yang kini telah resmi menjadi suaminya. Jujur setitik debu pun ia tidak pernah mengira bahwa Denverlah kelak laki-laki
Read more
Chapter 34
"Sial!!" Pandan menghentikan suapan es krimnya saat mendengar suara rutukan kakaknya. "Sial kenapa, Bang?" Tanya Pandan penasaran. Kakaknya terlihat sedikit kaget saat mendengar pertanyaannya. Ia kemudian buru-buru menutup ponselnya. Ada kemarahan yang bercampur dengan kegelisahan dalam raut wajahnya. Hari ini kakaknya menjemputnya ke rumah karena ia ribut ingin makan es krim. Sementara suaminya sedang ke luar kota. Ada beberapa masalah teknis yang memerlukan kehadiran suaminya di sana. Satu hal yang baru ia ketahui adalah ternyata suaminya itu sangat bertanggung jawab dalam masalah pekerjaan. Padahal kondisi tubuhnya masih kurang baik. Walaupun ia sudah tidak menggunakan kruk lagi. Tetapi kondisi tubuhnya belum seratus persen pulih. Sekarang ia baru benar-benar memahami peribahasa, jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Contohnya ya suaminya ini. Casingnya gahar tetapi hatinya rupanya lembut dan sabar. Gayanya slengean, tapi ternyata tanggung jawabnya
Read more
Chapter 35
Pandan dulu adalah type orang yang sangat tidak percaya dengan yang namanya mitos. Khususnya mitos mengenai ibu hamil yang mengidam. Menurutnya aneh saja kalau kita menyalahkan anak dalam kandungan kita, jikalau kita menginginkan sesuatu. Ini bawaan bayi. Ini permintaan orok dan lain sebagainya. Apalagi jika seseorang tiba-tiba mengalami perubahan selera yang signifikan. Misalnya seseorang yang dulunya tidak menyukai durian, tetapi saat hamil orang tersebut jadi menyukainya. Menurutnya itu adalah hal yang tidak masuk akal. Alias aneh.  Tetapi semua hal itu kini berbalik menyerangnya. Ia yang seumur hidup sangat geli melihat alpukat yang sudah dihaluskan, kini mendadak ingin mencicipi rasanya. Dulu setiap kali ia melihat alpukat yang dihaluskan, ia merasa geli sekali. Karena mirip dengan, maaf pupnya bayi. Melihatnya saja sudah membuatnya eneg. Apalagi jikalau harus memakannya. Perutnya langsung berontak hebat hanya dengan membayangkannya. Tetapi kali ini, s
Read more
Chapter 36
"Lo harus hati-hati bergerak mulai hari ini. Lo nggak tau 'kan kalau tadi Pak Arsene berduaan sama Pandan? Lo inget ya, kalo lo berani menghianati gue, akan gue bongkar semua rahasia lo sama Panji. Satu hal lagi, usahakan agar Bu Intan juga tutup mulut. Inget, kalo Bu Intan goal, kita berdua juga bakalan ikut menyusul. Langsung hapus paanggilan telepon gue dari ponsel lo sekarang!" "Iya... iya... gue akan lebih hati-hati lagi. Mana gue tahu kalo Pak Arsene malah ikutan nimbrung di sini. Bu Intan tadi ngancem-ngancem gue. Dia bilang kalo dia nggak mau kalau namanya ikut terseret-seret dalam masalah ini. Dia kan udah cuci tangan katanya." "Enak aja dia mau cuci tangan gitu aja? Gua dulu capek-capek jadi spionase bantuin dia. Eh giliran udah dapet tubangnya, dia mau main cuci tangan gitu aja? Enak bener! Satu hal lagi, gue nggak mau kalau sampai Bu Intan dan Pak Arsene tau kalo sumber informasi lo itu, gue. Inget itu!" "Gue
Read more
Chapter 37
"Coba lo perhatiin yang bener deh, Ndan. Ini Mbak Puput kan? Walaupun giginya maju tak gentar semua, tapi kan struktur wajahnya masih sama," Ziva dengan semangat memperlihatkan beberapa buah photo padanya. Ia sepertinya benar-benar ingin membuktikan kata-katanya kemarin. "Nih liat, bentuk matanya juga sama. Beda di kaca mata doang." Lanjut Ziva seraya menunjuk-nunjuk gambar seorang gadis berseragam putih abu-abu yang berdiri malu-malu di samping Denver. Photo ini sepertinya diambil saat Denver dan teman-temannya baru selesai berolah raga. Tampak keringat bermanik-manik di dahi Denver dan tiga orang temannya.  Karena bosan di rumah, ia sekarang mengunjungi Ziva di butik Tante Nisa. Ia suka menghabiskan waktunya di sini karena mempunyai kesamaan bakat dan minat dengan Ziva. Yaitu mendesain pakaian. Denver memang tidak setuju kalau ia bekerja. Apalagi dalam keadaan hamil begini. Ia sekarang sudah sah menyandang predikat sebagai seorang pengacara alias dari pen
Read more
Chapter 38
"Sudah cukup, Nak. Ibu sudah kenyang," Bu Darwis menjauhkan wajahnya saat Pandan ingin menyuapinya. "Oh, sudah kenyang ya? Ya sudah, tidak apa-apa. Ibu mau langsung minum obat atau menunggu sebentar lagi?" tanya Pandan seraya menyeka mulut Bu Darwis yang sedikit kotor dengan tissue basah. Bu Darwis memandangi Pandan dengan raut wajah penuh rasa syukur. Tidak salah kalau anak semata wayangnya menyukai gadis ini. Sudah sangat langka di zaman sekarang ini mendapati seorang gadis yang begitu sabar dalam menghadapi orang tua. Khususnya orang tua yang tidak mempunyai ikatan apa-apa padanya.  "Nanti saja ya, Nak? Perut Ibu rasanya masih begah karena kekenyangan. Ibu takut kalau nanti Ibu muntah kalau memaksa menelan obat," ucap Bu Darwis pelan. Pandan yang tadinya ingin mengambilkan beberapa butir obat untuk Bu Darwis, mengurungkan niatnya. "Begitu ya, Bu? Ya sudah. Ini obatnya saya letaknya di sini saja ya, Bu?" sahut Pandan. Ia kini meraih s
Read more
Chapter 39
Di sepanjang perjalanan pulang, Denver terus saja membisu. Pandan berkali-kali membuka mulut, bermaksud ingin membuka pembicaraan. Tetapi berkali-kali juga ia menutupnya kembali. Ia tidak tahu harus mulai bercerita dari bagian yang mana. Selain itu, ia juga ngeri melihat air muka yang ditampilkan oleh Denver. Asem banget seperti cuka apel basi. Setelah berkali-kali menarik napas panjang, Pandan memberanikan diri untuk lebih dulu membuka pembicaraan. Bagaimanapun memang ia yang salah. Bismillairrahmanirrahim! "Bang, saya minta maaf karena sudah membohongi Abang. Tetapi saya melakukan semua itu karena saya--" Denver mengangkat tangan kirinya. Pandan seketika menghentikan kata-katanya. Ia tahu itu adalah isyarat dari Denver agar ia tidak melanjutkan lagi kata-katanya. Sepertinya Denver masih marah padanya. "Nanti di rumah saja kamu menceritakan semuanya. Abang sedang menyetir. Abang tidak ingin konsentrasi Abang terganggu s
Read more
Chapter 40
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih.  "Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.  Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya.  "Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status