Lahat ng Kabanata ng Bimantara Pendekar Kaki Satu: Kabanata 71 - Kabanata 80
582 Kabanata
71. Penjemputan Paksa
Pangeran Sakai duduk di dalam kereka kencana sambil memandangi hutan di kiri dan kanan jalanan. Panglima Cakara memacukan kudannya paling depan, diiringi beberapa kuda yang ditungganggi prajurit. Di belakang kereta kencana ada puluhan prajurit mengiringi dengan kuda masing-masing. Panglima Cakara memacukan kudanya, mencari tempat yang jauh dari penduduk untuk melancarkan aksinya membunuh Pangeran Sakai. Namun saat mereka memasuki kawasan hutan yang jauh dari kediaman penduduk, di hadapan tiba-tiba datang pasukan baru dari kerajaan Nusantara timur. Pasukan itu terdiri dari pejabat istana dan para prajuritnya.Dua pasukan itu berhenti saling menghadap. Panglima Cakara heran, kenapa mereka datang? Padahal dia telah menemukan tempat terbaik untuk membunuh Pangeran Sakai. Panglima Cakara pun turun dari kudanya lalu mendekati pejabat istana yang masih berada di atas kudanya.“Hendak kemana kalian?” tanya Panglima Cakara dengan heran.“Kami diperintah
Magbasa pa
72. Siasat Sang Raja
Bimantara bertarung menghadapi keenam pendekar yang tersisa itu. Berkali-kali Bimantara terkena serangan mereka. Namun Bimantara masih kuat menghadapi mereka. Dia tidak menyerah. Ki Walang pun turun tangan membantu Bimantara. Satu persatu dari pendekar itu terkena serangan Ki Walang dan Bimantara. Karena merasa sudah tidak bisa mengalahkan mereka, keenam pendekar itu langsung kabur dari sana.Bimantara hendak mengejar mereka, Ki Walang menarik tangannya.“Biarkan mereka pergi,” pinta Ki Walang.“Kenapa Tuan Guru? Kita harus membasmi mereka semua!” tanya Bimantara heran.“Tak perlu!” jawab Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara.Kini, Ki Walang dan Bimantara mengatur napas untuk mengembalikan tenaga yang sudah terkuras. Bimantara menoleh pada Ki Walang dengan lega melihatnya selamat dari serangan para pendekar itu.“Bagaimana jurus-jurus yang aku keluarkan tadi, Tuan Guru?&rdq
Magbasa pa
73. Peri Penjaga Mata Air Abadi
Ki Walang dan Bimantara pun melompat melewati permukaan air lalu mendarat di sisi tebing tepat di dekat dasar air terjun yang menerbangkan embun. Mereka pun berjalan dengan hati-hati memasuki balik air terjun. Ketika mereka sudah tiba di dalam mulut gua yang menganga, Bimantara tercengang ternyata di balik air terjun itu terdapat gua.“Apakah ini pintu masuk kerajaan Peri itu, Tuan Guru?” tanya Bimantara penasaran.“Jangan dulu banyak bicara jika tidak ingin diganggu makhluk-makhluk penunggu gua ini,” pinta Ki Walang.“Maaf, Tuan Guru,” ucap Bimantara merasa bersalam.Ki Walang pun melangkah masuk ke dalam sana. Bimantara mengikutinya.  Saat mereka menelusuri lubang gua yang gelap dan basah. Di atas mereka muncul kepala ular yang besar. Bimantara terkejut melihatnya. Ki Walang berhenti melangkah lalu menatap mata ular di hadapannya yang siap menerkamnya.“Pergilah! Kami ke sini untuk mengembalikan peda
Magbasa pa
74. Nyai Sengkuni
Pasukan berkuda pejabat istana yang membawa Pangeran Sakai masih dalam perjalanan. Pasukan Panglima Cakara mengiringi mereka bersama para prajuritnya di belakang. Hari hampir petang. Panglima Cakara tampak bingung karena tidak bisa mengikuti perintah Pangeran Kantata untuk membunuh Pangeran Sakai gara-gara pasukan Pejabat Istana menjemputnya.Tak lama kemudian sebuah anak panah melesat ke arah Panglima Cakara. Dengan sigap anak panah itu berhasil ditangkapnya. Tak ada satupun yang menyadari hal itu kecuali Panglima Cakara sendiri. Rupanya di anak panah itu terlilit sebuah kain. Panglima Cakara membuka kain itu. Dia terbelalak ketika mendapati sebuah surat di dalamnya.“Jangan ke istana. Raja telah memerintahkan untuk mengepung dan menangkapmu.”Panglima heran siapa yang melesatkan anak panah itu. Dia pun membuang anak panah itu sambil berpikir.“Jika memang begitu, mungkin ini saatnya aku membunuh Pangeran Sakai dan melawan pasukan pejab
Magbasa pa
75. Syarat Terakhir
Pangeran Kantata bersujud pada Raja Dwilaga yang duduk di atas ranjangnya dengan tangisnya.“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu kalau Panglima Cakara tidak menyampaikan pesan dari Yang Mulia kepada Pangeran Sakai,” isak Pangeran Kantata. “Hamba menitipkan hadiah pada Adji Darma sebagai ucapan terima kasih telah mendidik Panglima di Perguruan.”“Jangan berbohong!” tegas Raja Dwilaga padanya.“Hambat tidak berbohong, Yang Mulia!”Raja Dwilaga memegangi dadanya karena menahan amarah. Tak lama kemudian seorang prajurit datang dan melaporkan kalau Pangeran Sakai sudah tiba di depan kamarnya. Pangeran Kantata terkejut mendengarnya. Sementara Raja Dwilaga terharu.“Oh Pangeran Sakai! Suruh dia masuk dengan segera!” pinta Raja Dwilaga dengan harunya.Pangeran Kantata tampak ketakutan. Jika Pangeran Sakai tiba dengan selamat ke istana, itu artinya dia berhasil mengalahkan Panglima Cakara. S
Magbasa pa
76. Tempat Persembunyian Sada
Pangeran Sakai berdiri di teras kamarnya sambil memandangi aktivitas istana di pagi itu. Embun memenuhi halaman kediamannya. Bebungaan tak begitu jelas terlihat karena kabut menutupinya. Telah lama dia meninggalkan istananya. Namun dipikirannya saat ini tak lain selain Dahayu. Wajah itu sejak semalam telah membayangi pikirannya. Rasa rindunya kian membuncah. Dia sudah tidak sabar lagi untuk kembali ke perguruan. Namun satu tugas harus dia selesaikan.Pejabat istana datang menghampirinya.“Pangeran,” panggilnya.Pangeran Sakai menoleh padanya. “Ada apa?” tanyanya.“Mata-mata istana telah menemukan kediaman mantan Panglima Sada,” jawabnya.Pangeran Sakai senang mendengarnya. Itu artinya dia memiliki harapan untuk kembali ke perguruan secepatnya.“Di mana dia bersembunyi?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Di perkampungan dekat dermaga menuju Perguruan Matahari, Pangeran,” jawab
Magbasa pa
77. Alasan di Balik Dendam
Sada pun bergegas keluar kamar lalu mengintip keluar sana. Dia melihat ada Tuan Kepala Kampung bersama pejabat istana dan para prajuritnya. Sukma mendekat padanya.“Darimana pejabat istana tahu keberadaan kakang di sini?” bisik Sukma dengan heran.“Aku tidak tahu istriku. Apa aku harus kabur melalui pintu belakang?” tanya Sada dengan bingung.“Aku rasa kedatangan mereka tidak membawa kabar buruk untukmu. Aku rasa ini bukan tentang masalahmu dengan Panglima Cakara. Mereka datang baik-baik. Mereka memintaku memanggilmu karena ada pesan dari Yang Mulia Raja, suamiku. Sebaiknya kau temui mereka dengan baik-baik,” pinta Sukma.Sada pun mengangguk. Kedua orang tua Dahayu itu pun membuka pintu rumah sederhana mereka. Sada dan Sukma pun mendatangi mereka dengan penuh hormat.“Ada apa gerangan pejabat istana sampai datang ke sini menemui hamba. Bukan kah hamba sudah tidak ada urusan lagi dengan istana?” tanya
Magbasa pa
78. Pengakuan Kakek Sangkala
“Bimantara memiliki dendam dengan Adji Darma,” ucap Ki Walang pada Kakek Sangkala.  “Sementara syarat kelulusan Perguruan Matahari adalah tak ada dendam dalam hati. Leluhur akan memilih siapa yang pantas menjadi pendekar sejati. Jika di hati Bimantara masih ada dendam itu, maka lelulur tak akan membiarkannya keluar dari Perguruan hingga dendamnya menghilang. Benarkah yang diceritakan Bimantara itu tentang Adji Darma yang sekarang bukan Adji Darma yang asli?”Kakek Sangkala mengajak Ki Walang dan Bimantara untuk duduk di bale depan gubuknya. Kakek Sangkala menceritakan semuanya tentang mendiang ayah Bimantara, seperti yang dia ceritakan dulu kepada Bimantara. Ki Walang terkejut mendengarnya.“Aku kira, pedang perak cahaya merah itu memang datang sendiri ke mendiang ayah Bimantara. Dan aku kira pedang itu memilih Bimantara untuk mengurusnya. Jika benar seperti itu, penduduk perguruan haru tahu bahwa pemimpin perguruan yang sekarang buka
Magbasa pa
79. Pesan Terakhir
“Guruuu!” isak Bimantara sambil memeluk Ki Walang dalam keadaan lemah. Ki Walang tampak lemas tak berdaya. Darah masih keluar dari mulutnya. Ajian pembelah bulan yang diserang oleh Adji Darma telah melumpuhkan setengah tubuhnya.Bimantara melepas pelukannya lalu berdiri menghadap Adji Darma dengan geram dan penuh amarah.“Kenapa Tuan Guru Besar tega menyakiti Tuan Guruku?! Dia tidak bersalah! Di tak seharusnya kalian sakiti!!!” teriak Bimantara geram pada Adji Darma.“Kau tidak tahu apa-apa, Bimantara! Memang kami keliru atas kematianmu! Tapi dia telah membunuh banyak prajurit untuk kekuatannya!” jawab Adji Darma geram.“Ini fitnah! Ini pasti ada sengaja mau menghancurkan perguruan kitaaa!!!” teriak Bimantara.Pendekar Pedang Emas tampak geram melihat Bimantara. Sementara Kancil dan Dahayu mulai ragu dengan keyakinan mereka kalau Ki Walang adalah pelaku pembunuh para Prajurit itu. Sementara Pendekar T
Magbasa pa
80. Serangan Tak Terduga
“Baik, Tuan Guru. Tapi Tuan Guru harus percaya, bahwa Tuan Guru akan baik-baik saja. Meskipun tak ada ramuan untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhmu, aku akan mencarinya meskipun itu berada di ujung dunia! Bertahanlah Tuan Guru, aku tak akan membalaskan dendamku pada Adji Darma,” isak Bimantara.Ki Walang mencoba tertawa di tengah lemahnya. “Kau memang ceroboh. Bertindak tanpa memikirkan akibat kedepannya. Tapi aku suka kau begitu.”“Bertahanlah, Tuan Guru! Jangan pergi dariku!” isak Bimantara.“Peganglah tanganku,” pinta Ki Walang padanya.Bimantara pun meraih tangan Ki Walang lalu menggengamnya dengan erat sambil terisak.“Mulai sekarang aku memberimu gelar ; Pendekar Kaki Satu,” ucap Ki Walang.Bimantara terisak dengan haru. Tak lama kemudian sebuah cahaya keluar dari tubuh Ki Walang, cahaya itu mengalir dari genggaman tangan Bimantara hingga mengaliri tubuh Bimantara. Bimantara
Magbasa pa
PREV
1
...
678910
...
59
DMCA.com Protection Status