Semua Bab Terima Kasih Telah Merebut Suamiku: Bab 11 - Bab 20
88 Bab
11
Bagian 11            Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Baca selengkapnya
12
Bagian 12            Kuputuskan untuk mengabari Pak Ramadhan, polisi bertubuh atletis dengan rambut belah pinggir, bahwa aku akan menunggu temanku terlebih dahulu alih-alih diantar oleh mereka ke Rumah Sahabat.            “Pak, saya baru ditelepon rekan. Katanya dia akan menjemput ke sini. Saya izin menunggu di sini sama anak saya, ya, Pak. Tidak usah repot-repot diantar bapak-bapak,” kataku dengan sangat sopan.            Pak Ramadhan yang memiliki tinggi di atas rekannya, Pak Ari, mengangguk. Pria berkulit sawo dengan hidung mancung dan mata cokelat tersebut tersenyum manis. “Baik, Bu, kalau begitu. Tapi, Ibu pasti aman kan, bersama teman tersebut?”            Aku mengangguk ragu. Antara aku dan Mas Sofyan mem
Baca selengkapnya
13
Bagian 13            “Seperti apa kronologinya, Mil? Kenapa jadi tiba-tiba begini?” Mas Sofyan bertanya dengan suara gemetar. Lagi-lagi, sedikit pun tak pernah terbesit di benak bahwa kaprodi teknik sipil yang ketika aku masih berkuliah dan bekerja di kampus tak banyak berbicara itu, jadi tiba-tiba sangat menaruh perhatian. Dari suara … tatapan mata, semua seakan menunjukkan bahwa kami adalah lebih dari sahabat lama.            “Anisa sudah menceritakannya kan, Mas?” tanyaku lirih.            Dia menggelengkan kepala, “Tidak terlalu detail. Makanya aku langsung telepon kamu saja. Itu pun setelah aku berpikir berulang kali, apakah kamu mau menerima bantuanku atau tidak. Maafkan kelancanganku, Mil.” Pria berperawakan tinggi dan agak sedikit berperut buncit
Baca selengkapnya
14
Bagian 14            “Ah, lupakan. Masalah jodoh itu rahasia Tuhan. Apa yang diambil dariku, mungkin kelak akan dikembalikan atau malah diganti dengan yang lebih baik.” Ukir senyum di bibir Mas Sofyan tampak getir. Kupandang itu sebagai wujud usaha untuk menutupi kesedihannya. Aku menyesal, sebab telah mengungkit hal yang mungkin sangat melukai perasaannya.            “Maaf,” ucapku tak enak hati.            “Tidak apa-apa, Mila. Santai saja. Mungkin, kamu orang yang ke lima hari ini yang menanyakan kapan aku nikah. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan keramat itu.” Mas Sofyan tertawa. Namun, tawanya seperti tertahan. Tak lepas. Aku makin tak enak hati saja. Sangat-sangat menyesal mengapa aku jadi orang yang bodoh seperti ini.    &nbs
Baca selengkapnya
15
Bagian 15            Aku mundur, balik arah, lalu mendatangi kasir. Bertanya dengan cepat di mana letak toilet.            “Mbak, toilet di mana?” tanyaku pada kasir yang kini tengah melayani pelanggan lain.            “Oh, di situ, Kak.” Kasir cantik itu menunjuk ke arah kiri dirinya. “Lurus terus, nanti Kakak belok ke kiri, ya.”            Aku mengangguk. Cepat-cepat berlari ke arah toilet tanpa menoleh lagi ke belakang. Sesampainya di lorong dengan dua ruangan yang bersebelahan, aku memilih belok lagi ke kiri, masuk ke toilet perempuan, kemudian memilih bilik nomor pertama. Kukunci diri dari dalam.            Napasku bahkan sampai tere
Baca selengkapnya
16
Bagian 16            Aku pun lekas bangkit dari toilet. Memasukan ponsel ke ransel, kemudian menaikan ujung jilbab instan yang kukenakan demi menutupi wajah. Kubuat seolah menjadi masker, supaya mukaku tak mudah buat dikenali oleh Mas Faisal, gundik, dan keluarganya.            Melesat aku keluar dari bilik buang air. Jantungku kian berdegup kencang saat tangan ini menyentuh kenop pintu keluar ruang cuci tangan. Kukuatkan batin. Meyakinkan diri bahwa aku tak akan kenapa-kenapa.            Saat pintu berhasil kubuka, tahukah kalian apa yang kudengarkan? Suara jeritan, ribut-ribut, sorak sorai, dan ragam kecentang-perenangan lainnya. Buru-buru aku keluar dari celah penghubung antara ruangan dalam restoran menuju toilet.            Kutole
Baca selengkapnya
17
Bagian 17            Saat kuputar video terbaru yang diunggah oleh akun user178816255, tampak jelas di sana sosok Adelia yang tengah dijambak sambil diseret di resto Kebanggan Nusantara, tempat aku makan sekaligus bersembunyi tadi. Bagaimana aku tidak syok, lokasi penjambakan tak jauh dari lorong toilet. Terlihat di sana, seorang gadis cantik berambut panjang dengan outfit sporty serba hitam, tengah menarik rambut pirang Adelia. Pelakor itu menjerit kesakitan. Namun, tak ada yang bisa menghentikan cewek berambut panjang hitam yang terlihat bringas sekaligus kesetanan tersebut.            Tak hanya cewek berbaju hitam, muncul lagi seorang perempuan muda dengan outfit yang lebih feminim. Cewek yang mengenakan mini dress selutut warna pink itu tiba-tiba maju dan ikut menarik paksa Adelia. Terdengar suara jeritan Ummi. Namun, perempuan tua bangka mata duitan itu
Baca selengkapnya
18
Bagian 18            Mas Sofyan masih melanjutkan menyetirnya. Sementara itu, aku kini tengah menekuni ponsel. Mengirimi tim kreatif Trens TV yang menghubungiku pesan balasan, kemudian membuka pesan-pesan WhatsApp siapa saja yang telah masuk ke nomorku.            Kebanyakan pesan itu berasal dari teman-temanku. Baik teman sekolah, teman satu kampung, teman kuliah, hingga rekan kerja di kampus menanggapi status WA yang kuunggah Subuh tadi. Bahasa mereka rata-rata sama. Mengucapkan turut bersedih atas musibah yang tengah memintaku. Semua pesan itu pun tak hanya kubaca. Sebisa mungkin juga kubalas dengan ucapan terima kasih dan emotikon tangan yang ditangkupkan atau lebih dikenal dengan namaste.            Ada pesan yang membuatku agak kaget. Dua pesan yang berasal dari nomor tak dikenal. Ketika kub
Baca selengkapnya
19
Bagian 19            “T-tidak apa-apa,” gumamku terbata. Ada yang bertalu-talu dalam dada. Perasaan yang tak biasa. Lebih mirip dengan sesak akibat asam lambung naik. Ah, aku dilanda nervous rupa-rupanya.            “Foto itu, sudah lama sekali di dalam dompetku. Sebelum kamu menikah jelasnya. Aku yang terlalu pengecut waktu itu. Aku juga yang kurang ajar sebab telah mempertahankan potret istri pria lain di dalam dompetku. Aku minta maaf. Aku akan membuangnya—”            Kupotong cepat ucapan Mas Sofyan, “Tidak perlu. Terserah saja kalau mau disimpan.” Tak kuduga, aku bisa menukas dengan kata-kata barusan. Setelah seperempat detik barulah kusadari bahwa kalimat tadi sepertinya menggelikan. Ya, ampun!        
Baca selengkapnya
20
Bagian 20            Kabar baik itu membuatku benar-benar bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Aku dan Syifa yang telah kubangunkan pukul 20.30 untuk sikat gigi serta minum susu, kini berada di dalam kamar tamu milik Mas Faisal yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamar si empunya rumah. Tanpa kusadari, aku bahkan telah memejamkan mata sejak pukul 22.00 malam hingga pukul 05.30 pagi. Aku sedikit menyesal, sebab bangunku kesiangan dan akhirnya salat Subuhku terlambat.            Usai salat Subuh di kamar dengan mukena yang dipinjamkan oleh Bi Dilah tadi malam sebelum aku tidur, buru-buru aku keluar kamar. Syifa masih tidur di kasur. Anak itu terlihat sangat keletihan dan aku tak tega buat membangunkannya.            Alangkah malunya diriku ketika melihat Mas Sofyan sudah duduk di meja makan. Lel
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status