Hasrat Seorang Ipar의 모든 챕터: 챕터 11 - 챕터 20
66 챕터
11
11            Dengan nekat, aku berdiri mendekati Bulek yang duduk di sofa seberang, lalu berlutut di hadapannya. Kusentuh kedua lutut perempuan itu, berharap dia mau memecah segala bisu dan rahasia yang ditutup dengan rapat.            “Katakan, Bulek. Ceritakan semuanya. Aku sudah tahu jika aku ini adalah anak haram dari perempuan yang antah berantah.” Hatiku terasa patah berkeping-keping saat mengatakan kalimat tadi. Hancur perasaan ini. Tak tega nian aku menyebut ibu yang telah mengandung dan melahirkan sebagai perempuan antah berantah. Maafkan anakmu ini, bu. Meski tak kutahu siapa dirimu sebenarnya, tetapi sungguh di lubuk hati terdalam, tersimpan rindu akan sosok yang disembunyikan orang-orang selama ini.            “Mengapa tak kamu tanyakan pada Mulyani saja?” Bule
더 보기
12
12            Siang hari itu, aku dan Bulek Sarminah menumpang ojek untuk diantarkan ke kampung yang konon menjadi tempat tinggal sekaligus kuburan dari ibu Jayanti. Kampung itu hanya berjarak lima kilometer dari kampung kami. Tak jauh dan aku ternyata sedari kecil dulu kerap lewat daerah ini. Namun, tak ada satu pun yang memberitahu jika di sinilah ibuku pernah lahir, besar, lalu kemudian dikuburkan.            Sesampainya di sebuah pemakaman umum yangtak jauh dari bangunan masjid, kami singgah dan bermaksud untuk ziarah. Ini adalah atas permintaanku. Awalnya, Bulek Sarminah enggan untuk menunjukkan di mana ibu Jayanti dikebumikan. Namun, dengan bujuk dan tangisan pilu, akhirnya Bulek mau juga diajak ke sini.            Kami berjalan tanpa alas kaki, menyusuri gundukan tanah bernisan yang membuat
더 보기
13
13            “Saya terima nikahnya Rahayu dengan mas kawin sebuah cincin emas seberat tiga gram dibayar tunai.” Suara Mas Wisnu terdengar lantang saat berjabat tangan dengan seeorang penghulu nikah.            “Sah!” Dua orang saksi yakni Pak Bambang, ketua RT komplek rumah baru kami, dan Pak Aziz, pengurus masjid setempat, mengucapkan sebuah kata yang begitu kunanti.            “Alhamdulillah.” Aku dan Mas Wisnu saling mengucap syukur, menadahkan tangan dan ikut mengaminkan doa-doa yang dilantunkan oleh penghulu.            Meski pernikahan ini belum resmi dicatatkan secara hukum, digelar sederhana di dalam rumah yang Mas Wisnu hadiahi tempo lalu, serta hanya dihadiri oleh penghulu dan dua saksi, t
더 보기
14
14            Mas Wisnu hanya dapat membisu. Pandangannya nanar. Cukup lama dia melamun, seolah memikirkan beban yang begitu berat. Jujur saja, hancur hati membayangkan jika Mbak Mel sungguhan hamil. Akan banyak pertimbangan Mas Wisnu untuk meninggalkan perempuan itu. Aku hanya tak sanggup dengan kenyataan, jika suami siriku itu malah berubah pikiran dan tak jadi menceraikan Mbak Mel. Bisa saja anak menjadi perekat di antara mereka, membuat keduanya saling semakin mencintai lagi, lalu Mas Wisnu meninggalkanku untuk selamanya.            “Mas, jika Mbak Mel hamil, akankah kau meninggalkanku?” Kupeluk Mas Wisnu dengan erat, tidak... aku tak mau kehilangan dirinya. Dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Lelaki itu akan menjadi milikku seutuhnya, selama-lamanya.            “Aku tid
더 보기
15
15            Kulalui malam dengan sepi dan tak bersemangat. Seharusnya, kami berdua saat ini tengah memadu cinta meneruskan ronde kedua. Namun, apa daya. Berbagi suami ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Ternyata rasanya lebih sakit ketimbang sebelum aku pernah mengenal cinta.            Layar ponsel yang penuh dengan pesan teks berkaitan dengan bisnis yang kugeluti, kini terlihat begitu membosankan. Puluhan chat terbengkalai tak kusentuh sama sekali. Rasanya aku Cuma ingin berbaring di atas bahu Mas Wisnu yang kokoh. Hanya itu saja, titik. Tuhan, sampai kapan harus kutelan nestapa merindu ini?            Saking tak tahannya lagi, aku nekat untuk menelepon nomor rahasia milik Mas Wisnu yang digunakannya khusus hanya untuk menghubungiku. Sialnya, ternyata sedang tak aktif. Tentu saja
더 보기
16
16            “Jadi, bagaimana, Mas? Apa kamu akan selamanya bertahan dengan Melani? Kamu nggak bakal menceraikan dia?” Mataku berkaca, membayangkan hal buruk yang akan terjadi di depan mata. Baru saja merengkuh bahagia, masa nasibku akan malang kembali seperti dulu kala?            Mas Wisnu memegang kedua pipiku seraya berujar, “Dek Ayu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita akan menjalani semua komitmen yang sudah Mas dan Dek Ayu buat sebelum pernikahan ini terjadi.”            Tetap saja hati ini dipenuhi oleh rasa was-was. Berulang kali kecewa, aku menjadi mudah cemas dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk.            “Baiklah kalau begitu, aku akan memercayai kata-kata Mas Wisnu.” Aku lalu
더 보기
17
17            Pukul empat pagi, alarm ponsel Mas Wisnu berbunyi dengan nyaring, membuat tidur pulas kami terganggu seketika. Setengah sebal, aku meraih benda tersebut dan mematikan bunyinya yang memekakkan telinga.            “Mas, bangun,” kataku sembari menggoyangkan pundaknya. Lelaki yang sedang bertelanjang dada itu menggeliat di atas tempat tidur.            “Udah jam empat, katamu mau pulang subuh.” Sembari menahan kantuk, aku berusaha membangunkan Mas Wisnu. Lelaki itu gelagapan saat aku menyebutkan pukul berapa saat ini.            “Aduh, udah jam segini aja. Mas pulang ya, Dek.” Mas Wisnu langsung bergegas mengenakan pakaiannya. Tanpa mandi dan gosok gigi, lelaki itu langsung menciumku, kemu
더 보기
18
BAGIAN 18              “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat.              “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point!              “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?”              “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?        &nbs
더 보기
19
BAGIAN 19              “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan.              “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan.              “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
더 보기
20
BAGIAN 20              Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati?              Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
더 보기
이전
1234567
DMCA.com Protection Status