15
Kulalui malam dengan sepi dan tak bersemangat. Seharusnya, kami berdua saat ini tengah memadu cinta meneruskan ronde kedua. Namun, apa daya. Berbagi suami ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Ternyata rasanya lebih sakit ketimbang sebelum aku pernah mengenal cinta.
Layar ponsel yang penuh dengan pesan teks berkaitan dengan bisnis yang kugeluti, kini terlihat begitu membosankan. Puluhan chat terbengkalai tak kusentuh sama sekali. Rasanya aku Cuma ingin berbaring di atas bahu Mas Wisnu yang kokoh. Hanya itu saja, titik. Tuhan, sampai kapan harus kutelan nestapa merindu ini?
Saking tak tahannya lagi, aku nekat untuk menelepon nomor rahasia milik Mas Wisnu yang digunakannya khusus hanya untuk menghubungiku. Sialnya, ternyata sedang tak aktif. Tentu saja
16 “Jadi, bagaimana, Mas? Apa kamu akan selamanya bertahan dengan Melani? Kamu nggak bakal menceraikan dia?” Mataku berkaca, membayangkan hal buruk yang akan terjadi di depan mata. Baru saja merengkuh bahagia, masa nasibku akan malang kembali seperti dulu kala? Mas Wisnu memegang kedua pipiku seraya berujar, “Dek Ayu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita akan menjalani semua komitmen yang sudah Mas dan Dek Ayu buat sebelum pernikahan ini terjadi.” Tetap saja hati ini dipenuhi oleh rasa was-was. Berulang kali kecewa, aku menjadi mudah cemas dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. “Baiklah kalau begitu, aku akan memercayai kata-kata Mas Wisnu.” Aku lalu
17 Pukul empat pagi, alarm ponsel Mas Wisnu berbunyi dengan nyaring, membuat tidur pulas kami terganggu seketika. Setengah sebal, aku meraih benda tersebut dan mematikan bunyinya yang memekakkan telinga. “Mas, bangun,” kataku sembari menggoyangkan pundaknya. Lelaki yang sedang bertelanjang dada itu menggeliat di atas tempat tidur. “Udah jam empat, katamu mau pulang subuh.” Sembari menahan kantuk, aku berusaha membangunkan Mas Wisnu. Lelaki itu gelagapan saat aku menyebutkan pukul berapa saat ini. “Aduh, udah jam segini aja. Mas pulang ya, Dek.” Mas Wisnu langsung bergegas mengenakan pakaiannya. Tanpa mandi dan gosok gigi, lelaki itu langsung menciumku, kemu
BAGIAN 18 “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat. “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point! “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?” “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?&nbs
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
22 Malam menjelang dan aku memutuskan untuk pulang. Arifin sempat menelepon karena ingin pamit pulang, sementara aku tak ada di rumah. Lelaki itu kusuruh untuk menunggu sebentar sampai bosnya ini tiba. Ada sesuatu yang ingin kukatakan pula padanya. “Jadi, kamu mau pulang, Dek?” tanya Mbak Mel yang sedang disuapi bubur oleh Ibu. “Biarkan adikmu istirahat dulu, Mel. Kasihan Ayu.” Ibu menimpali. Kini dia sempurna bertransformasi menjadi malaikat baik hati. “Karyawanku di rumah mau pulang. Kasihan dia jaga studio sendirian.” Tak sengaja kulihat wajah Mbak Mel berubah. Tatapannya seperti t
23 Baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba saja bunyi bel membuyarkan kantuk. Cepat aku bangkit dari tempat tidur, berharap itu adalah kehadiran dari Mas Wisnu. Saat membuka pintu, betul saja ternyata dialah sosok yang kutunggu. Lelaki itu masih mengenakan pakaian kerja, sementara wajahnya terlihat sangat lelah dengan rambut yang sudah berantakan. “Mas, kenapa nggak kasih tahu kalau mau pulang ke sini?” Aku tersenyum bahagia sembari meraih tas kerjanya untuk dibawakan. Namun, bukannya membalas tersenyum, Mas Wisnu malah cemberut dengan langkah gontai. “Bikin malas aja si Melani. Mas baru pulang, capek-capek datangin dia ke rumah sakit, eh malah diomelin. Panjang lebar. Dibilang nggak perhatian, hanya memanfaatkan kebaikannya, habis manis sep