All Chapters of Sembilan Tahun Lagi: Chapter 111 - Chapter 120
122 Chapters
111, Dia yang Kembali
PLUP. Ponsel yang kupegang sebagai tempatku mengetik daftar barang jatuh ke pangkuan. Jantungku berdetak sangat keras dan rindu yang sejak kepergiannya kutekan mendadak mencuat, membuncah, dan meluap. Aku terhipnotis. Total terdiam melihatnya yang berdiri terengah mengatur napas di ambang pintu. “Savannah…” Lirih lembut dan masih sama seperti dulu dia menyebut namaku. Tapi kelembutan itu justru menyakitiku saat aku tiba-tiba tertarik ke masa pertemuan terakhir kami. Saat dia menatapku dengan tatapan sadis dan sinis yang sejak remaja sudah membuatku bergidik. Saat dengan tatapannya itu dia menatapku begitu dingin dan menuduhku hanya perempuan kesepian mencari kehangatan lelaki. Saat itu aku tidak sempat malu, tapi saat ini, rasa itu mendadak hadir. Membuat aku spontan menarik kakiku mendekat dan berakhir aku meringkuk mengecilkan diri memeluk tubuhku. “Savannah…” ucapnya lagi yang membuatku makin kacau. Dalam beberapa langkah lebar dia sudah menjulang di atasku lalu meluruh bersimpu
Read more
112, Move On is B*llsh*t
LIBUR seminggu dan pengawasan intensif dari keluarga tidak serta merta membuat semua baik-baik saja bagi Vlad. Dunianya masih terjungkir balik diserang tiga badai sekaligus. Namun kehadiran keluarga menjadi buhul yang mengikat dia tetap ada di porosnya. Ke mana pun dunianya terpental, tali itu akan menariknya lagi mendekat dan membuatnya tetap waras meski masih limbung.Vlad menolak ajakan Val pulang. Dia akan memulai semua dari awal lagi. Studi dan pekerjaannya. Bagas berhasil melacak Ed. Tentu saja. Di zaman semua terkoneksi seperti sekarang, tentu mudah melacak keberadaan orang apalagi jika nilai yang diambil tidak fantastis. Tidak cukup untuk dibagi-bagi ke sesama maling untuk saling menutupi kebejatan akhlak. Korupsi hanya bisa terjadi jika berjamaah.Vlad tidak mau bertemu Ed. Dia menyerahkan semua urusan pada Bagas apalagi saat dia disibukkan oleh urusan kuliah. Sementara dananya tertahan, dia memulai lagi dari nol dengan modal kepercayaan rekan bisnisnya. Tanpa dia ketahui, Bag
Read more
113, In A Rush [2]
KESADARANKU datang perlahan. Aku berusaha mengenali di mana aku berada. Mataku belum terbiasa dengan situasi di cahaya temaram ini. Sakit di kepala sudah jauh berkurang, mataku bisa terbuka normal meski masih sulit melihat cahaya terang. “Kamu sudah bangun, Anna?” Aku terlonjak mendengar suara itu. Meski pelan, tapi terdengar sangat dekat. Lalu aku sadar, suara itu dari ponselku yang tersambung dalam mode video call. Bersandar di sudut yang hanya bisa menangkap bayangan samar saja. Menyadari kamera itu tersambung dengan Vlad, aku segera memperbaiki pakaianku. Kututupi tungkai dengan kain yang ada. Lalu kusadari, itu sebuah jas. Aku hanya bisa mendesah. Tak lama dia masuk. Lengan kemeja hitam tergulung asal dan tanpa dasi dengan rambut berantakan. Seberantakan wajahnya. “Kapan terakhir kamu makan? Muntah kamu tadi air aja.” Dia sudah bersila di sampingku lalu mengambil ponselku dan menangkupnya dengan kedua belah telapak tangan. Mungkin merasai panas ponsel itu. Entah berapa jam pons
Read more
114, Strategi
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika
Read more
115, (Closure?) Rendezvous
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
Read more
116, Di Tahun Ke Sembilan
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
Read more
117, Do You Love Him?
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
Read more
118, Wake Up, Vlad. It’s Me.
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
Read more
119, I’ll Take The Risk.
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
Read more
120, In A Hurry
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
Read more
PREV
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status