Semua Bab Suami di Atas Kertas: Bab 41 - Bab 50
80 Bab
Bab 41
"Bu, saya tidak ada niat untuk mencari masalah. Ini salah paham. Tidak perlu seperti itu!" "Maaf, Pak. Tapi sikap Bapak tadi sudah membuat kericuhan, ini rumah sakit, Pak. Harap tenang dan jaga emosi," balas seorang wanita yang lain. Terdengar derap langkah cepat seirama. Dua orang satpam datang ke bagian administrasi. Salah seorang satpam yang bertubuh kekar, bertanya ke salah satu pekerja. "Apa yang terjadi di sini?" Sebagai seorang satpam, mereka wajib menjaga keamanan di rumah sakit. "Usir Bapak ini. Beliau sudah membuat keributaan yang bisa mengganggu kenyamanan yang lain!" Bicara salah seorang sambil menunjuk Bagus. Bagus menggeleng cepat dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya. "Tidak, Pak. Saya bisa jelaskan. Ini bukan seperti yang kalian kira," kata Bagus. Namun, kedua satpam itu tidak mau menerima bantahan apa pun. "Sekarang Bapak keluar dari sini!"
Baca selengkapnya
Bab 42
"Lebih baik aku panggilkan dokter untuk memastikannya." Tyas pun bertolak dari sana dan segera menemui dokter yang biasa menangani sang ayah. Cukup kesusahan dia mencari sebab sejak tadi batang hidung dokter tersebut belum menampakkan dirinya. Di rumah sakit yang begitu luas, Tyas sampai harus keliling mencari dokter itu. Tyas merasa kelelahan. Langkah Tyas terhenti ketika dia berhasil menemukan dokter yang dia cari. Namun, dokter tersebut tampak sedang berbicara dengan seorang wanita di depan pintu. Merasa tidak sopan jika langsung menghampiri atau menguping pembicaraan mereka, Tyas memilih menunggu dan duduk di salah satu kursi panjang. Sambil sesekali melirik ke arah dokter tersebut. Begitu dokter lelaki tersebut sudah selesai dari urusannya, Tyas pun bangkit sebelum dokter tersebut pergi. "Permisi, Dok," sapa Tyas. Dokter itu menoleh ke arah Tyas. Dia juga mengenal Tyas dan p
Baca selengkapnya
Bab 43
Mendengar ancaman dari Asep, Tyas tak boleh hanya meratapi ketakutan. Dia harus berpikir segala macam cara untuk membuat Asep kesulitan masuk. Tyas pun bergerak mendorong kursi sebanyak dua buah dan menumpuknya di belakang pintu. Sekuat tenaga dia juga mendorong buffet. Tyas lantas bergerak ke dapur, mencari sesuatu. Netranya tertuju kepada dua buah benda, yaitu palu dan pisau. Dengan penuh keberanian meski ada rasa gemetar, Tyas menggenggam erat dua benda tersebut. Dia pun berjalan kembali ke tempat semula. Siap siaga menghadapi Asep dengan dua senjata di tangannya. "Oke kalau kamu nggak ada respons. Aku dobrak ini, ya. Satu … dua … tiga …." Asep mengambil aba-aba untuk mendobrak pintu. Saat Asep mencoba mendobrak pintu itu, tiba-tiba dia meringis karena kakinya yang terasa sakit. "Ahh, kenapa kaki aku ini? Pintu dari papan lapuk begini, kok, susah didobrak," gerutu Asep. Dia pu
Baca selengkapnya
Bab 44
Langit sepertinya mengerti suasana hati Bagus saat ini. Rintik hujan jatuh satu per satu lalu turun begitu banyak. Tanah pemakaman yang semula lembab, menjadi basah dan agak berlumpur. Namun, Bagus enggan beranjak dari sana. Dia masih tetap setia meski hujan sudah membuatnya basah. Namun, Bagus merasa beruntung sebab tidak ada yang bisa melihatnya menangis sebab air hujan telah menyamarkannya. "Yang tenang di sana, ya, Bu. I love you." Bagus mencium batu nisan ibunya cukup lama. Setelahnya, dia bangkit dan beranjak pergi dari tempat itu. Bongkahan batu yang menimpa dadanya, perlahan satu per satu mulai pecah. Bongkahan batu itu hanya sebuah ibarat menumpuknya beban hidup Bagus. Perlahan mulai terasa ringan sebab dia sudah menceritakannya kepada mendiang sang ibu. Bercerita kepada ibunya sudah membuat Bagus senang. Seperti energinya ter-charger kembali. Penuh. Bagus sadar kalau dia tidak boleh terlalu la
Baca selengkapnya
Bab 45
"Kakak dilarang masuk, mau mencoba bertemu kamu. Mengajak pulang. Akhirnya kakak bertemu dengan Pak Brata, kakak minta tolong untuk temui kamu dan segera pulang ke rumah." "Ya, Kak. Terus setelah dari rumah sakit itu, kenapa Kakak lama sekali sampai ke rumah?" tanya Tyas. "Kakak pergi ke kuburan ibu." Mendengar kata ibu disebut, Tyas diselimuti pilu. "Kakak sedang apa di sana?" tanya Tyas. "Mengobati rindu." Jawaban Bagus, membuat Tyas meneteskan air mata. Tyas juga sama, merindukan sosok ibu. Dia masih kecil, sudah ditinggal malaikat tanpa sayap. "Kak, aku mau ketemu sama ibu," rengek gadis itu. Satu bulir air mata, jatuh membasahi pipi. Bagus sigap mengusap dengan jari jempolnya. "Kita nanti pergi sama-sama ke sana, ya. Ini sedang hujan. Lebih baik kita istirahat saja," ujarnya menenangkan. Tyas mengangguk. Dia perg
Baca selengkapnya
Bab 46
Dia adalah Matthew Elliot. Papa dari Hanna. Pemilik dari perusahaan YG Union. Matthew menunjukkan ekspresi sangat senang ketika bertemu dengan sang anak. Hanna sendiri, bahkan tidak sanggup untuk bicara. "Sayang, kamu kenapa? Terjadi sesuatu, kah," tanya Matthew. Diam membisu, tersadar karena elusan lembut dari tangan sang papa. "Pa-pa, sedang apa di sini?" tanya Hanna. Pertanyaan konyol. "Papa pemilik perusahaan ini, sudah tentu papa akan sering berkunjung ke sini, kan?" Matthew melemparkan pertanyaan balik. Itu benar. Hanna saja yang sudah kehabisan kosa kata. Mau bicara apa. Sekarang pun bungkam kembali. "Bisa kita bicara sebentar? Di kafe tempat kita biasa makan dulunya. Apakah kamu sudah lupa?" Matthew bertanya sangat serius. Nada bicaranya sudah berbeda dengan yang tadi. Kali ini tegas dan menegangkan.&n
Baca selengkapnya
Bab 47
Obrolan mereka disela oleh seorang waitress yang datang menghampiri mereka. Pesanan mereka sudah datang. Terhidangkan di atas meja. Keduanya pun menyantap pesanan mereka dalam suasana hening. Hanna tidak memesan makanan, hanya jus jambu merah saja. Dia sedang tidak selera makan. Sudah lama Hanna tidak memperhatikan papanya yang sedang makan. Melihat Matthew menyantap makanannya dengan elegan. Hanna terus memerhatikan. Matthew hanya sesekali menatap Hanna. Hanna sendiri antara menikmati dan tidak, minuman yang dia pesan. Hanya sedikit yang baru masuk ke tenggorokan. Dirinya kebanyakan melamun. Tiba-tiba saja, Hanna menggeser agak jauh minumannya. Perut terasa diputar-putar, dililit-lilit, terasa sangat sakit. Hanna merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Mendengar suara ringisan itu, Matthew menatap Hanna penuh kebingungan. "Kenapa kamu?" tanya Matthew. Hanna tidak
Baca selengkapnya
Bab 48
"Saya sudah menyuruhnya untuk datang hari ini, mulai bekerja. Tapi kamu tahu sendiri sekarang sudah jam sepuluh. Dia belum datang juga," jawab Sean. Menyandar punggungnya ke kursi. "Nanti saya coba tanya kepada satpam, Pak. Mungkin saja mereka melihat Pak Bagus," ujar Khalif. Sean mengangguk. "Boleh. Jika melihat Bagus, sampaikan saja untuk datang langsung ke ruangan saya," balasnya. "Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap Khalif. Berbalik badan lalu keluar dari ruangan atasannya. Khalif bergerak menuju pos satpam. Ketika sampai di pintu utama, dia berpapasan dengan Julio. Khalif memicing heran saat melihat penampilan Julio yang berantakan. Seragam kusut, sama seperti mukanya. Rambut acak-acakan. Menenteng tasnya, ketebak kalau Julio baru saja tiba di kantor. "Jam segini baru datang, memang wajar kalau Pak Sean menurunkan jabatannya menjadi seorang office boy,
Baca selengkapnya
Bab 49
"Julio, kerja yang bener! Nanti kamu dimarahi Pak Sean." Salah seorang rekan kerja sesama office boy, menegur Julio. Lelaki itu tidak terima. "Heh, kau lancang sekali memanggil aku dengan nama. Kau tidak tahu aku siapa?" bentak Julio. "Loh, kan, kita sama-sama seorang office boy. Lagian, umur kita juga sama, sih. Wajar kalau aku panggil nama," balas lelaki itu. Julio merasa geram. Dibantingkannya pengepel ke lantai. Menimbulkan bunyi yang keras. Julio saat ini menjadi pusat perhatian, sebenarnya dia suka itu. Namun, bukan di posisi turun jabatan seperti itu. Tatapan mereka adalah penghinaan. Dia merasa dipermalukan. Untuk pertama kalinya, Julio bekerja sebagai office boy. "Ini balasan untuk kamu karena terlalu bersikap sombong. Sekarang kamu rasakan bagaimana ada di posisi terendah. Aku harap kamu bisa mengambil pelajaran," ujar rekan kerja Julio yang l
Baca selengkapnya
Bab 50
Keesokan harinya. Sudah sejak kemarin Hanna belum makan nasi. Yang dia makan hanya bubur, roti, itu pun sedikit. Dia tidak selera makan, selalu saja apa yang dia konsumsi, berujung keluar semua karena muntah. Imunitas tubuh Hanna melemah. Sering merasa pusing, jam tidurnya berantakan karena tidak bisa tidur. Kebanyakan terbagun. Efek kehamilan memang begitu dahsyat ke tubuhnya. Kembali bekerja sesuai permintaan papanya. Tidak mau mengecewakan Matthew lagi. Hanna sekarang stay di ruangan. Tidak ada pertemuan dengan klien hari ini, dia hanya sibuk menandatangani beberapa berkas. Hanna menyusun kembali berkas-berkas tersebut. Dia membutuhkan penjepit kertas. Membuka laci, mencari benda kecil itu di dalam. Setelah mendapat apa yang dia cari, diambilnya. Kedua mata terfokus pada selembar kertas. Dia juga mengambil itu. Ketika dia sudah menjepit berkas tersebut, disingkirkannya dulu. Dia meraih kertas yang tadi diambi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status