Semua Bab MELEPAS BENALU: Bab 41 - Bab 50
80 Bab
Bab 41 - Kacau
Aku menautkan alis, mana ada pengacara yang mau dibayar murah. Tapi jika tidak bertindak, enak di Astrid. Biar bagaimana pun, aku sudah lama menikahinya, sudah seharusnya rumah itu dibagi dua. Jika memang dia menginginkan perpisahan. Mobil beserta aset yang lain harus aku tuntut juga, setidaknya jika harus bercerai dengannya aku tidak akan kebingungan mencari uang. "Ingat. Jangan terlalu mengalah dengan Astrid, kamu berhak atas semua aset yang dia punya." Tuding Ibu sambil menujuk tepat diwajahku. "Tidak perlu takut bercerai dengan Astrid, dia fikir hidup kita akan berantakan tanpa uang anaknya? Cih.. sombong sekali perempuan itu. Jika tak ingat ada dikantor Polisi, sudah habis Ibu bejek-bejek," ucap Ibu dengan geram, sambil meremas-remas kedua tangannya. Aku hanya diam, bicarapun percuma. Aku rasa akan menambah kekesalan Ibu. "Ibu
Baca selengkapnya
Bab 42 - Ketahuan Belangnya.
Kulihat nafas Sekar memburu saat melihat kedatanganku, dan melempar tatapan dengan tajam kearahku. "Penipu!!" Sembur Sekar, sambil melangkah lebar kearahku. "Ada apa ini?" Tanya Ibu. "Siapa yang penipu?" Ibu dan aku saling berpandangan. "Mas Ronald. Dia sudah menipu Sekar Bu, dia membuat Sekar sangat malu," teriaknya sambil menudingkan jari telunjuk diwajahku. Wajah itu memerah, antara kesal dan malu bercampur diwajahnya. "Ada apa?" Tanyaku. Bukan menjawab Sekar malah mendengkus sinis. "Kenapa kamu bicara sekasar itu pada Ronald. Dia menipu apa?" Sengit Ibu, tak terima anaknya diteriaki. Nafas Sekar tersenggal, tatapan benci dilayangkan kearahku. Ada apa dengannya? "Dimana sopan santunmu! Sama suami kok seperti itu. Kamu fi
Baca selengkapnya
Bab 43 - Akal Bulus.
"Mas ..." suara pintu dibuka terdengar, siiring dengan suara panggilan dari Sekar.Aku hanya bergeming, duduk disofa panjang yang ada didalam kamar.Kuraba sofa dengan hati berkecamuk. Dulu, kami bahkan sering bercinta ditempat ini. Entahlah, rasanya aku benar-benar merindukan Astrid saat ini.Benar orang bilang, bila sudah tiada baru terasa. Dan itu sangat menyakitkan. Bisakah aku kembali merebut hatinya? Aku rasa itu akan sulit."Kamu marah sama aku Mas?" Sekar duduk diatas ranjang, dengan tatapan sedih."Aku hanya pengangguran, kau pergi saja. Jika masih menganggapku kacung," desahku sambil menyenderkan tubuh.Kehilangannya tak masalah bagiku, ada pun hanya menambah pusing kepala. Uang terus yang ada diotaknya. Salahku memang yang sering memanjakannya, dan sekarang malah menjadi racun dalam hidupku."Jangan begitu, bagaimana pun keadaanmu. Aku terima kok," Sekar tersenyum manis lalu berjalan mendekat, da
Baca selengkapnya
Bab 44 - Benalu Sesungguhnya.
Pov Astrid"Halo, Mah?" Sapaku saat suara panggilan sudah terangkat."Kenapa, As?" Tanya Mamah disebrang telepon."Mas Ronald ... dia bawa Naura Mah," lirihku sambil menahan air mata."Kok bisa?" jawab Mamah sedikit terkejut."Tadi Bik Irah telpon ada Mas Ronald, dia bawa Naura pulang kerumah Ibunya. Gimana ini, Mah." tanyaku panik."Sabar ... tenang, tarik nafas dulu," ucap Mamah."Tarik nafas," ulangnya. Aku menarik nafas lalu menghembusnya dengan gusar."Kamu dimana sekarang?""Astrid ada dikantor, Mah." sahutku. "Gimana Naura Mah?" tanyaku saat tak mendengar suara Mamah."Apa aku harus menelpon polisi? Aku takut Naura diperlakukan tidak baik oleh Omanya," cecarku benar-benar takut.Terdengar helaan nafas berat dari sebrang. "Ya sudah biarkan Naura sama Ayahnya. Biar bagaimana pun Naura itu anaknya, Ronald tidak akan menyakiti, Naura." terang Mamah.
Baca selengkapnya
Bab 45 - Kerja dong!
"Oh ya?" aku tersenyum manis mendengar keluhannya.Mas Ronald mengangguk lemas, binarnya begitu lesu tak bersemangat.Haruskah aku bersorak bahagia untukmu Mas? Tapi sepertinya belum. Penderitaan panjang masih menantimu, calon mantan suamiku."Nikmati saja, itu pilihanmu, Mas ... lagi pun, bukankah Ibu menyayanginya? Aku rasa hidupmu akan sempurna setelah Sekar melahirkan bayi laki-laki." sengaja aku tekan kalimat bayi laki-laki, agar dia ingat tentang keluhannya selama ini."Bisakah kita jangan bercerai?" lirihnya."Kita sudah pernah membahasnya, dan jawabanku tetap sama," ucapku dengan senyum kecut. Sungguh sulit menyangkal hati masih menyimpan namanya, namun logika merutuk keras jika aku kembali padanya.Kebodohan, takakan terulang kembali. Bagiku berpisah dengannya adalah suatu kesedihan sekaligus ketenangan. Sakit dan perih diawal itu sudah biasa, waktu akan memperbaiki semuanya.Pengkhianatan bukan ma
Baca selengkapnya
Bab 46 - Aktingmu Jelek.
Senyumnya semakin berkembang seiring langkah kaki ini, tatapannya sangat bersahabat menyambut kedatanganku.Apa dia tak punya malu? Kemana perginya tatapan sinis dan benci yang biasa dia hunuskan untukku."Ada apa?" Tanyaku. Sekar yang biasa sinis, mendadak kikuk. Dia bangkit dari duduknya dan menegakkan badan."Ada yang ingin aku sampaikan," jawabnya dengan senyum kaku."Katakanlah.. aku tak punya banyak waktu," sahutku."Mbak.." alisku menaut, Sekar memanggilku dengan sebutan Mbak?Mm.. sepertinya aku mencium aroma kebusukan, yang akan terlontar dari bibirnya."Tolong jangan bercerai," lirihnya dengan senyum tipis.Aku melipat tangan dibawah dada, mataku mengamatinya dengan serius. Sekar mendadak salah tingkah."Apa hakmu meminta aku jangan bercerai?" Tanyaku.Sekar menarik nafas dalam, memegangi perut dan kembali menjatuhkan bokong dipos keamanan. "Saya s
Baca selengkapnya
Bab 47 - Sidang Pertama.
"A-strid.." ucapnya seraya mengeja namaku.Aku tersenyum tipis, bayangan masalalu berseliwiran diingatan."Kamu Astrid kan?" Tanyanya memastikan, langkahnya melebar tatapannya tak lepas dari wajahku."Iya ini aku," jawabku sambil mengulas senyum tipis. Papah dan Mamah saling pandang, dengan expresi kebingungan."Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Mamah."Edwin.. dia temanku saat SMA mah," jawabku. Edwin tersenyum cerah, lalu bersalaman dengan kedua orangtuaku."Sehat?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan padaku."Sehat.. Alhamdulillah," jawabku seraya mengulas senyum dan meyambut uluran tangannya. Edwin tersenyum hangat, lalu melepaskan tangan.Edwin..Tidak ada perubahan yang berarti dari dirinya. Tetap hangat dan enak dipandang mata, seperti dulu."Silahkan duduk, Pak Edwin," ucapku. Edwin seperti gelagapan lalu mengangguk cepat."Berhubung kalian sudah saling
Baca selengkapnya
Bagian 48 - HARTA.
Kini keduanya saling beradu tatap, kulihat tangan Mas Ronald sudah terkepal dengan kuat."Sudah, Pak ..." aku berusaha menengahi dengan menarik lengan Edwin. Edwin tersenyum sinis, sementara Mas Ronald terus menatapnya dengan geram."Ada apa ini?" Ibu mertua menatap sinis kearahku. Aku membuang muka, malas menyahutinya.Lagi ... apa yang dirasa, tahu-tahu sinis padaku. Sudah mau ceraipun sikapnya tidak berubah. Kalau ingat aku pernah dibodoh olehnya, aku jadi kesal sendiri."Ada apa, Ronald?" tanya Ibu pada anaknya.Tanpa menjawab, Mas Ronald berlalu dari hadapanku, tatapan garang ditinggalkan untuk Edwin. Ibu menyusul dibelakangnya."Sombong sekali suamimu ..." desis Edwin."Mantan ..." ralatku."Ya calon mantan," sahut Edwin. Aku hanya mendengkus menanggapinya."Mau aku antar pulang?" Tanyanya."Tidak perlu, aku bawa mobil sendiri," jawabku."Baiklah ... hati-ha
Baca selengkapnya
Bagian 49 - Kesal.
Argh. Sial!Menarik nafas dalam-dalam, menepuk pipi kiri dan kanan berulang kali. Jantungku berdebar kencang, laki-laki sok ganteng itu memang selalu membuatku berseri disekolah.Aish ... mengapa aku harus bertemu dengan dia disaat seperti ini. Aku berharap Wiwin tidak mengingat masalalu. Memalukan!Kembali aku memasukan surat berharga itu didalam brangkas. Lalu mengganti kode pada pengamannya. Mengingat keluarga Mas Ronald yang begitu licik, bukan tidak mungkin dia memasuki rumah ini saat aku tidak ada didalamnya.Kembali menarik nafas, lalu menghempasnya melalui mulut. Berjalan menuju toilet, melepas satu demi satu pakaian yang menempel ditubuh lalu berdiri dibawah shower. Mataku terpejam, menikmati hujaman air yang menikam rambut kepalaku.Terasa menyegarkan. Buliran air yang mengalir membasahi rambut kepala hingga pori-pori kulit, membuat fikiran sedikit relax.Melilitkan handuk kimono pada tubuh, lalu menggulung
Baca selengkapnya
Bab 50 - Perhitungan.
"Bukan hanya uang jajan, As ... kamu jangan salah paham. Disitu juga tertera uang bayaran sekolah Naura," jawab Mas Ronald tanpa rasa bersalah. Benar-benar menyulut emosiku.Aku mendengkus kesal, lalu menaruh kedua tangan dipinggang. Aku amati laki-laki didepanku dengan tatapan jengah, Mas Ronald terlihat tenang. Tak bergeming sedikitpun. Tak punya malu!Benarkah dia adalah Ayah dari anakku?"Kau tak ingin membayarnya?" tanyaku dengan otak yang mulai panas."Bukan begitu ....""Cih ... jadi kau tidak ingin menanggung apapun dari Naura, uang jajan ataupun sekolahnya?" tanyaku dengan mata melotot tajam."Ya ... kamu tahu sendiri aku tidak kerja, itu juga Ibu harus mengorek tabungannya untuk memenuhi keingan Naura. Dari pada Naura ngambek, tidak mau makan," jawabnya bagai orang bodoh."Itu uang Ibu ... gantikan saja As, nanti kalau aku sudah kerja. Pasti aku ganti," sambungnya.Kembali aku melihat rincian pengeluaran dikertas yang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status