All Chapters of Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel): Chapter 31 - Chapter 40
156 Chapters
Part 30. Teleport
 “Aku tidak takut! Aku ini Elena, sang penyihir dari bangsa manusia yang tidak membutuhkan siapa pun! Tak akan menjadi masalah untukku jika hidup sendiri tanpa pasangan. Tidak seperti kalian para werewolf, yang ditinggal pasangan saja seolah dunia sudah berakhir!” Aku memang pernah mendengar hal ini, tetapi begitu mendengar langsung dari mulut wanita itu, entah mengapa terasa menyakitkan. “Tutup mulutmu! Kamu mungkin keturunan manusia, tetapi aku tidak bisa menjamin kau keturunan murni. Aku bisa menghidu aroma werewolf dari tubuhmu meski samar, dan kupastikan bahwa kau mate-ku adalah bukan seuatu kesalahan. Kumohon, jangan mencari masalah. Kita tak bisa menghadapi semua ini dengan emosi. Jika kau mau, aku bisa menunjukkan jika kita memang pasangan.” Suara paman melirih di akhir. Aku merasa miris dengan kondisi yang beliau hadapi. Di lain hari ketika nanti aku bertemu mate-ku, aku ingi
Read more
Part 31. Pertengkaran
“Bangunlah, Dav! Katakan pada Paman bahwa kau sudah tak apa-apa.” Sambil menggenggam tanganku, paman mengucap hal itu. Beliau terdengar cemas. Apakah di sini aku sudah baik-baik saja? Ketika di hutan, aku berpikir bahwa hidup ini sudah berakhir. Terlepas dengan keadaan saat ini, aku bersyukur. Merasakan tangan orang yang membesarkanku menggenggam tanganku, hatiku menghangat. Kekhawatiran beliau padaku tak pernah berubah sedikit pun. “Berhenti mengkhawatirkannya secara berlebihan seperti itu, Sean! Dia bukan orang yang pantas!” Ah! Aku lupa dengan kehadiran wanita penyihir itu. Jika tadi dia selalu memusuhi paman, apakah saat ini keadaan sudah berbalik? Karena dari apa yang dibicarakannya, dia terdengar mengekang beliau. Seolah wanita itu sudah memiliki hubungan dengannya, sampai-sampai mengkhawatirkanku saja dia seperti itu. “Dia sangat pantas kukhawatirkan, Lena. Dia ad
Read more
Part 32. Permintaan Paman
 “Maafkan pertengkaran kami, Dav. Aku tak bermaksud seperti ini di hadapanmu.” Paman berbalik dan menatapku langsung. Sepertinya, sejak awal beliau mengetahui jika aku sudah bangun. Namun, masih tetap saja melanjutkan pertengkarannya. “Tak ... pa,” ucapku dengan lirih. Napasku terasa berat hanya untuk berkata seperti itu. “Jangan memaksakan dirimu, ya? Tubuhmu masih belum membaik. Setelah menghirup bubuk wolfsbane dan melakukan teleportasi, kau yang tak sadarkan diri membuat Paman khawatir, Dav. Maafkan Paman.” Paman menunduk. Apakah beliau ingin menunjukkan sebuah penyesalan, atau kelalaian dalam menjagaku dan mengkhianati janji pada mereka? Aku tak tahu. Bertemu dengan penyihir wanita itu membuatku banyak berpikir. Dengan keadaanku yang tidak sempurna ini, bukan tak mungkin Paman hanya menjalankan tugasnya. Di luar sana—yang entah di mana berad
Read more
Part 33. Pengusiran
Mataku memindai ke seluruh ruangan. Ruang yang terbuat dari kayu ini terlihat bagitu tertata rapi. Jika pemiliknya adalah penyihir wanita tadi, wajar saja. Sejak dulu, wanita terkenal memiliki kerapian lebih baik ketimbang laki-laki. Aku yang hanya hidup berdua dengan Paman, tentu tak akan menemui tempat tinggal kami serapi ini. Aku sama sekali tidak ahli dalam beberes, begitupun dengan beliau. Pria yang mengasuhku itu hanya merapikan seadaanya. Jadi, pemandangan ruang kotor dan tak sedap dipandang itu biasa. Dan hal luar biasanya adalah yang ada saat ini. Melihat semua ini, aku semakin menguatkan diri untuk pergi. Setidaknya di sini paman memiliki pasangan. Beliau akan hidup dengan lebih baik, dan sang mate akan mengurus semua kebutuhannya. Aku rela beliau hidup bahagia tanpaku, karena sudah cukup bertahun-tahun menanggung hidupku. Paman, aku mendoakan kebahagianmu. “Dav, maaf lama. Paman masi
Read more
Part 34. Teleportasi Lagi
“Dav, apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan Paman, ya?” ucap paman tadi siang. Kini sudah malan, itu artinya sudah waktunya aku pergi seperti perjanjian. Hanya saja, aku masih menunggu penyihir itu memenuhi janjinya. Enak saja, apa aku harus pergi tanpa membawa apa pun?Aku memang berbiat untuk pergi, tetapi begitu wanita penyihir itu mendatangiku, aku bertekad untuk pergi dengan persiapan. Amu bagaimana lagi, wanita itu yang menawarkan semua itu padaku. Jadi, tak ada salahnya untuk menyambut baik dan menerimanya, kan?Paman, maafkan aku yang tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku yakin, kau tak akan kesepian karena kepergianku. Ada pasanganmu yang akan menemanimu menggantikanku. Kalau saja nanti kau merindukanku, pasti ia tak akan tinggal diam. Selamanya, aku akan memanggilnya wanita penyihir. Aku tak mau memanggil dengan namanya. Bagiku, terdengar memuakkan.Namanya memang bagus, tetapi wanita itu gagal mengambil hatiku. Dia menjengkelkan, hingga aku enggan m
Read more
Part 35. Ke Mana?
Begitu cahaya ini semakin menyilaukan, mataku kembali kututup. Peduli setan pada penyihir ini! Aku sama sekali tak masalah akan dibawa ke mana. Jika ke tempat yang tidak bagus, akan kubuat perhitungan padanya nanti. Tak lama—dengan jeda waktu yang hampir sama pada saat itu, kami sampai. Rasanya lebih baik ketimbang yang pertama, dan aku bersyukur kali ini tidak pingsan. Bisa kurasakan itu, karena tubuhku terasa lebih ringan tanpa merasa sakit. Andai dulu juga begini, tentu aku akan merasa lebih baik. “Bukalah matamu, Bodoh!” Meski terasa jengkel, aku tetap menuruti perintahnya. Enak saja memanggilku bodoh, memangnya dia siapa? “Ja ... ngan ... pang ... gil ... bodoh!” Aku menjawabnya dengan ketus. Yah, meski ucapan ini harus susah payah kukeluarkan. Setidaknya sudah bisa membuatnya mengerti bahwa aku tak suka. “Jika bukan bodoh, lalu apa? Kau s
Read more
Part 36. Bertemu Wanita Lagi
Hal yang pertama kali kucari adalah sumber air. Penyihir itu memang membawakanku air dalam botol, tetapi tidak banyak. Aku sebagai makhluk hidup menyadari air adalah kebutuhan pokok. Mungkin saja nanti saat aku mencari sumber air, akan menemukan tempat sebagai bernaung juga.   Mengandalkan indera pendengar, aku mencoba mencari. Begitu lama berjalan hingga tak tahu tujuan. Apalagi, aku sama sekali tidak mengenal tempat ini. Mana tahu aku ini wilayah werewolf, atau vampire. Bagus jika penghuninya tidak memusuhi werewolf sepertiku. Jika tidak, bisa habis usiaku di tangan mereka.   “Diam di tempatmu!”   Tubuhku reflek membeku kala mendengar suara itu. Suara wanita, tetapi terdengar lebih berat. Di leherku, terasa ada logam yang didekatkan tepat di urat nadi. Kuduga ini adalah pisau yang sekejap bisa membunuhku. Ah, lagi-lagi aku kena sial. Belum melihat matahari terbit saja sudah bertemu dengan makhluk yang memburu hidupku.
Read more
Part 37. Kami Saudara?
“Ha?” Di keremangan malam, wanita itu menunjuk wajahnya sendiri dengan heran. Memang, apa yang salah dari ucapanku?“Kau ... mesum!” pekiknya sambil menutupi dada dengan kedua tangannya.Aku, mesum? Bagian mana dariku yang bisa dikatakan seperti itu? Lama kupandangi wajahnya dengan kebingungan.“Kau aninjing gagap yang mesum! Apa yang kau tunjuk di dadaku, hah!?”Ya ampun! Aku berpikir, apa wanita itu mengira aku menunjuk dadanya? Padahal, maksudku adalah kalung yang melingkar di lehernya. Sekarang, siapa yang berpikir kotor?“Ka ... lung,” ucapku.Seperti tersadar, wanita itu langsung membolakan matanya. Tangan yang tadinya menutupi dada sudah tak ada. Kini, tangan kanannya malah meraba kalungnya. Kalung itu adalah kalung yang kukenal. Meski tak bisa kulihat secara langsung, tetapi setiap aku berkaca selalu melihatnya. Han
Read more
Part 38. Vampire Aneh
 “Kau tidak memiliki banyak pengetahuan tentang wilayah ini, kan? Jadi, akan lebih baik untukmu ikut denganku. Selain mendapatkan tempat tinggal, kau juga mendapatkan perlindungan. Juga, kau tak perlu memikirkan banyak hal tentang kebutuhan hidup,” tambahnya lagi. Apakah semua wanita memang seperti ini? Baru dua kali dalam kurun waktu yang berdekatan, aku dekat dengan dua wanita. Dekat dalam arti bukan yang sebenarnya. Maksudku, dekat dan berbinang seperti ini saja, bukan dekat dalam artian menjalin hubungan. Meski dingin, penyihir yang mengusirku itu juga banya bicara. Kurasa hanya kedoknya saja dia galak pada kami. Pun dengan vampire ini. Awalnya saja dia menggertak dan menakutiku. Begitu tahu satu hal, dia berubah cerewet dan banyak bicara. Hidup lama dengan paman membuatku tidak terbiasa bicara banyak. Sebaliknya, aku lebih banyak berpikir tentang semua hal. Jadi. Aku merasa nyaman saja saat
Read more
Part 39. Kembar
“Sayang sekali kau tak memiliki kemampuan itu, ya! Lalu, kemampuan apa yang kau punya?” tanya Daphne, lagi. Awalnya aku kagum akan paras wanita ini. Akan tetapi, semakin lama aku semakin tidak suka. Dia terlalu banyak bertanya dan terkesan cerewet. Kalau saja aku bisa, ingin sekali membungkam mulutnya yang tidak berhenti berbicara itu. Namun, aku masih menyadari, bahwa kehadirannya masih kubutuhkan. “Tidak ... tahu,” balasku. Sengaja kuketuskan nada bicaraku agar dia mengerti, jika aku tidak begitu suka kecerewetannya. “Andai tak ada kalung itu bersamamu, sudah pasti aku akan meragukan kau itu saudaraku, Dav. Kau begitu menjengkelkan! Entah dari siapa kau mengambil sifat ini!” Masa bodo aku mengambil sikap ini dari siapa. Aku tak mau peduli. Akan lebih baik jika dia memang bukan saudaraku, karena aku mulai muak dengan ocehannya. Kalau saja bisa, aku sudah pergi sen
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status