Semua Bab Oh...Jandaku tersayang.: Bab 91 - Bab 100

"Makanlah dulu, kau pasti lapar." Angel bukan tidak memahami maksud dari sikap Bagas. Bagaimanapun mereka sudah menikah beberapa tahun, tampak jelas di sana adalah sosok yang pengertian dalam situasi tertentu, khususnya untuk sekarang ini. Tanpa sadar wajah itu menyembulkan senyum kecil, benar saja jika Bagas ingin mengabaikan topik yang di sampai nya, maka dengan senang hati ia akan mengikuti alur. "Baiklah, sebenarnya aku juga sudah lapar." Jawab Angel mengimbangi saran Bagas. Wanita itu melangkah perlahan menuju pintu ruang, dan menarik gagang kunci. "Cekleeek." Akan tetapi, gerakan tangannya berhenti, menoleh sejenak kearah sosok di atas ranjang, dan berkata. "Benar tidak apa-apa di tinggal sebentar." Mendengar perkataan itu, hati Bagas menghangat secara signifikan. Bibir yang semula hanya mencetak senyum kecil, kini semakin melengkung lebar serta indah. "Sebenarnya aku takut mati karena kangen, tapi demi kepuasan istri tercinta aku rela menunggu...hehe." Bagas ingin se

"Malunya.....". Wajah itu semakin tertunduk, jika bisa ingin rasanya menggali lubang di bawah meja dan masuk untuk mengubur diri sendiri. Ia tak bisa mengatakan apapun sama sekali. Piring dengan nasi yang masih tersisa di sana seolah tak lagi bisa di makan. Bahkan karena rasa malu yang besar, suhu tubuh Angel seolah meningkat tajam. Jika saja dapat di gambarkan, tangan Angel mungkin tengah menempel serta berkarat sehingga sulit di gerakkan. 'Rupanya dia tahu, malunya!.'Pekiknya dalam hati. "Ya Tuhan...bukankah niatku baik, mengapa hasilnya jadi memalukan seperti ini, apa tidak ada bonus sedikitpun?." Sambungnya lagi, masih dalam hati. Angel merasa bahwa akhir-akhir ini peruntungan nasibnya sungguh buruk, dari biduk rumah tangga, pekerjaan, pertemanan, bahkan upaya dengan niat kebaikan (kebohongan putih beberapa saat lalu) selalu bermasalah. Perlahan Angel mengintip tipis kearah meja tepat di depannya, sebelum menoleh kearah lain di sekitaran tempat yang dia duduki. Melihat ta

"Kau sudah kembali?. Darimana saja barusan?." Ucap Heni penuh kelegaan yang nyata. "Kau ini, baru datang tapi langsung ke sungai. Bukankah itu masih disana, dan tidak akan pergi meskipun nanti atau besok kau melihatnya." Sambung Heni lagi sembari menyentuh pundak Angel, yang tampak rapuh. Bahasa itu mungkin terdengar agak keras bagi siapapun yang mendengar, namun itulah sosok Heni tak bisa berkata baik ketika sedang merasa cemas. Bagaimana wanita itu tidak kwatir, ketika mengetahui perihal kejadian buruk rumah tangga Angel dan Bagas kemarin, ia kesal, marah untuk Bagas, baginya rasa sakit Angel Sama dengan luka ulu hati sendiri. Dan ketika melihat secara langsung pada Angel saat tiba di sana, rasa sedih dan sakit semakin menghimpit hati Heni. Bagaimanapun ia mencoba bersikap tenang, namun kesedihan serta kehancuran pada sorot mata sang keponakan membuatnya runtuh. Heni sangat Cemas, takut dan gusar, ketika berbalik tidak menemukan Angel setelah selesai membantu meletakan barang

Dan disaat keduanya menyadari kehadirannya di sana, Dirga mulai membuka suara. "Apa kakak juga habis memancing?.'' ................................. Setelah kejadian di hari itu, Angel menetap di keluarga tersebut untuk beberapa hari. Mengetahui apa yang terjadi di balik kedatangan Angel, baik sang paman, bibi dan kedua sepupu tidak banyak mengganggu wanita tersebut. Meskipun, Angel menyendiri di dalam kamar untuk sehari penuh, atau menghabiskan waktu berkeliling di sekitar lingkungan rumah mereka, tak ada yang memberikan komentar, mereka hanya memastikan bahwa sang kakak, keponakan tidak melakukan hal nekat atau mencoba untuk bersembunyi ke tempat lain. Bagi semua anggota keluarga di sana, ketenangan dan waktu adalah jalan pemulihan terbaik untuk saat sekarang. Sesekali Angel memang di panggil, ketika jam sarapan, jam makan siang, ataupun saat makan malam, selebihnya semua keluarga akan membiarkan Angel melakukan apapun semaunya, meski hanya bengong menyendiri di dalam kamar.

"Baik non, silahkan." keduanya berjalan berurutan dengan Angel yang berjalan mendahului, menuju gazebo yang terletak tak jauh dari ruang rawat inap Bagas. Menyadari bahwa di sana bukan sebuah tempat pribadi memang penting namun dari yang terlihat, pak Radjiman sepertinya harus mengutarakan apa yang tengah di pikirkan. Jika harus pergi keluar, atau menjauh dari lingkup rumah sakit hal ini justru lebih tidak mungkin, mengingat hanya mereka berdua saja yang bergantian untuk menjaga Bagas saat ini. Oleh karena hal tersebut bangunan kecil di depan sana, dengan sedikit jarak yang membentang antara ruang rawat inap Bagas adalah pilihan terbaik. Angel mendudukkan tubuh setelah dengan sopan mempersilahkan pria yang hampir berusia setengah abad tersebut untuk duduk. Meski dalam hal kesenioran nya jauh lebih tinggi, namun entah mengapa pak Radjiman seolah meletakkan diri sendiri sebagai sosok di bawah tekanan wanita itu, yang terbilang masih jauh lebih muda darinya. Di awal Angel m