Lahat ng Kabanata ng Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan: Kabanata 21 - Kabanata 30
70 Kabanata
Maafkan Saya Ibu!
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 21  Maafkan Saya Ibu. "Bu, pesan nasi bungkusnya dua ya?" ucapku pada ibu penjual yang sedang sibuk di dalam ruangan. Mendengar ucapanku ibu penjual segera datang menghampiriku.  "Iya, Bu." Ibu penjual segera membungkuskan nasi pesananku.  Setelahnya aku kembali menemani dua anak gadis ini minum es di teras warung. Sebenarnya aku sendiri sedang haus makanya mengajak mereka berdua untuk sejenak beristirahat di warung ini sambil bercerita banyak tentang kehidupan mereka berdua hingga menjadi pemulung seperti itu.  "Rumahmu di mana?" tanyaku penasaran.  "Di daerah situ, Bu. Kami tinggal di rumah peninggalan ayah," jelas gadis yang lebih tinggi sambil menunjuk sebuah perkampungan di seberang sungai, Dina namanya.  "Hanya tinggal bertiga dengan ibumu saja?" &nb
Magbasa pa
Ada Apa Itu?
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 22  Ada Apa Itu?  Entah harus bagaimana aku menebus kesalahan yang kulakukan pada ibu ini. Bukan inginku mendapat musibah seperti ini, tetapi apa daya jika musibah datang menghampiri.  Seketika aku teringat soal kartu nama pemberian Mas Damar kemarin. Lebih baik aku pergi ke kantornya sekarang saja agar lebih cepat aku bekerja untuk mendapat penghasilan. Atau meminta bayaran di muka lebih dulu agar bisa dipakai untuk menggantikan uang Ibu yang hilang. Biarlah kubuang rasa maluku agar kami bisa segera mendapatkan uangnya.  "Maafkan aku Ibu, akan kuganti secepatnya," ucapku sambil berdiri. Mengabaikan kondisi ibu yang masih memejamkan mata di atas sandaran kursi yang didudukinya.  Aku berjalan dengan cepat menuju jalan raya. Menunggu angkutan umum untuk membawaku ke kantor milik Mas Damar. Beruntung kartu nama pember
Magbasa pa
Bimantara Setya
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 23  Bimantara Setya.  "Masih betah ngejomlo?" tanya Farid padaku saat main ke rumah. Ia adalah sahabat yang sudah seperti saudara bagiku.  "Masih belum nemu," jawabku sekenanya. Aku tidak semangat jika dia membahas soal jodoh karena aku sedang tidak ingin menikah.  "Coba lihat deh!" pintanya sambil membuka layar ponselnya. Ia menunjukkan sebuah gambar padaku. Gambar gadis desa yang sedang makan bersama teman-temannya. Terlihat dari cara pakaiannya yang biasa seperti khas gadis desa. Dalam gambar gadis itu memakai rok lebar selutut juga memakai blous lengan tiga per empat. Rambutnya ia biarkan tergerai indah dengan senyumnya yang menawan.  Kurebut paksa ponsel milik Farid. Aku terpana melihat wajah gadis dalam gambar ini. Mataku tak mampu berkedip beberapa saat, tak percaya dengan apa yang kulihat. &nbs
Magbasa pa
Tiga Rangkaian Kembang
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 24 Tiga Rangkaian Kembang Aku berjalan sambil menjinjing paperbag bergambar bunga pemberian Mas Damar di tanganku. Mataku tak henti mengamati sekitar, tumben sekali kondisi kampung ramai di jam segini, apa yang sedang terjadi?  "Eh Mbak Dewi, kemana saja? Nggak kasihan sama suaminya?" ucap Arum. Ia tengah ngerumpi bersama tetangga lain di depan rumahnya.  "Maksud kamu apa,Rum?" tanyaku penuh selidik. Kuhentikan langkahku untuk mendengar penjelasan atas ucapannya.  "Loh kok malah tanya sama kita, situ yang punya suami gimana? Masak keadaan suaminya ngga tahu?" sergah tetangga lainnya. Sedangkan Arum hanya mencebik sambil memandangku.  "Waah sudah pintar melayani tamu sekarang jadi suka pergi-pergi. Habis ini bebas mau kemana aja, Mbak!" sindir Arum. Keningku berkerut mendengarnya.  
Magbasa pa
Wanita Cantik
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 25  Wanita Cantik "Om yang waktu itu?" seru Kirani saat melihat seseorang yang datang paling akhir di pemakaman ayahnya.  "Hai cantik, Om turut berduka cita ya?" jawab Mas Damar sambil mengusap kepala Kirani.  "Terima kasih, Om." Segaris senyuman terbit dari bibir Kirani. Ia yang sedari tadi hanya menunduk, kini sedikit sumringah saat Mas Damar datang menyapa.  "Mas Damar kenapa bisa sampai di sini?" tanyaku kaget. Aku lantas berdiri dari pusara Mas Bima, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan lelaki di depanku ini. Setelah bersalaman denganku, Mas Damar ganti mengarahkan tangannya pada Mbak Sari juga Danisa. Keduanya tersenyum ramah menyambut kedatangan Mas Damar ke sini.  "Sebentar, saya berdoa dulu," ucapnya. Tanpa menunggu jawabanku, Mas Damar segera berjongkok di depan nisan Mas Bima.
Magbasa pa
Kembali Mengubur Rasa
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 26  Kembali Mengubur Rasa "Ibu! Bapak!" teriakku melihat kedua orang tuaku datang setelah mengantar Sindy ke depan. Kondisi rumah kami yang berjauhan membuat mereka berdua tak bisa datang tepat waktu saat Mas Bima belum disemayamkan.  "Sabar ya, Nak!" ucap Ibu saat aku sudah berada dalam pelukannya. Tangisku pecah dalam pelukan wanita yang sudah melahirkanku ini. Betapa hatiku hancur mengalami beberapa musibah yang begitu menyayat hati tanpa beliau yang kukasihi di sisi. Ibu pun demikian, beliau menangis sambil memelukku.  Sedangkan bapak hanya mengusap pundakku pelan sambil menahan air mata saat melihatku terisak dalam pelukan ibu. Aku tahu mata bapak itu mengeluarkan air mata kesedihan, karena ia yang telah menerima pinangan Mas Bima yang sekarang lebih dulu meninggalkan istrinya ini. Rasa bersalah itu tersirat dari matanya yang berair. Namun
Magbasa pa
Sebuah Hadiah
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 27  Sebuah Hadiah.  Selama doa bersama aku menunduk dengan khusyuk. Dengan bibir bergetar kuikuti tiap bacaan yang diucap oleh sang pemimpin tahlil. Bahkan sesekali air mataku menetes mengingat tujuan doa ini adalah untuk Mas Bimaku. Mas Bima yang sudah berjanji untuk sehidup semati denganku.  Saat nama Bimantara Setya dibaca sebelum doa dibacakan, air mataku jebol dari pertahanan. Sesak kian terasa mengingat kini gelarnya sudah berganti menjadi "Almarhum". Suara riuh "Aamin" dalam ruangan ini membuat kepalaku semakin pusing seiring sesak yang kian menghimpit dada. Namun aku terus memaksa diri untuk kuat bertahan hingga acara selesai.  Meskipun sudah sekian bulan aku merawat Mas Bima, tapi tetap saja ada rasa kehilangan yang menyeruak dalam dada. Kebiasaan yang sudah rutin kulakukan tiap pagi hari, jelas esok akan berubah. Suasana kamar yan
Magbasa pa
Sebuah Keputusan
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 28  Sebuah Keputusan Sebesar apapun cinta yang pernah kumiliki untuknya, sekuat apapun hati untuk meraih kembali apa yang menjadi penghuninya, tetap salah jika kehadirannya menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Kutata kembali hati ini agar tak serakah mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Semoga bisa melalui ini semua, dan ini menjadi awal langkahku ke depannya.  Belum juga aku kembali masuk ke dalam setelah kurir itu pergi, Danisa melewatiku hendak pergi ke sekolah. Tanpa pamit dan tanpa salam, ia pergi begitu saja, mengabaikanku yang berdiri mematung melihat tingkahnya.  Segitunya kah dampak ucapan tetangga kemarin yang membuatnya hilang rasa hormat padaku. Padahal ia hanya mendengar tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tidakkah aku memiliki kesempatan untuk menjelaskan perihal apa yang terjadi padaku selama ini. &n
Magbasa pa
Lelaki Di Pusara Suamiku
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 29  Lelaki Di Pusara Suamiku Ruang tamu besar dengan sofa empuk tertata rapi di dalamnya. Sebuah meja sudut dengan hiasan bunga cantik sudah berdiri dengan indahnya. Terdapat beberapa lukisan menempel di dinding di atas sofa. Beberapa bingkai foto tertata rapi di sebelah lukisan itu.  Ada sedikit rasa khawatir saat melihat wajah dalam bingkai foto itu. Namun jalan sudah terlanjur dipilih, semoga tak akan terjadi hal yang buruk setelah ini. Karena niatku hanya ingin bekerja untuk menghidupi kedua putriku saja.  Setelah beberapa saat menunggu, seorang lelaki paruh baya yang kukenal datang menghampiri. Ia duduk di sofa single di depan sofa yang kutempati ini.  "Cepat sekali kamu datang? Kukira menunggu hingga tujuh hari suamimu lebih dulu." Wajahnya tersenyum ramah. Tampak wajah berwibawa dalam raut tua itu, tapi aku tak t
Magbasa pa
Damar Ar Rasyid
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 30  Damar Ar Rasyid  "Mau kemana kamu? Nggak lihat bisnis Papa lagi kena masalah?" hardik papa saat aku hendak keluar kota. Aku telah membuat janji dengan kekasihku yang kusanggupi akan kunikahi di sebuah desa kecil. Dewi Saraswati namanya. Ia gadis yang baik, setia juga penuh cinta. Aku jatuh hati saat pertama kali melihatnya di taman kota. Ia sedang bercengkrama dengan beberapa temannya. Saat itu aku sedang berkunjung ke rumah saudara karena sebuah acara.  "Damar mau keluar, Pa!" sergahku. Aku tak ingin begitu saja mengabaikannya. Setidaknya aku akan memberi kabar bahwa aku harus membantu bisnis papa lebih dulu.  "Usiamu masih muda, bukan berarti kamu bisa senang-senang sesuka hati kamu! Kalau tidak belajar mulai sekarang, bagaimana kamu akan menjadi penerusnya kelak?" sahut papa. Aku sebagai anak tunggal tak mungkin bertindak ses
Magbasa pa
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status