Semua Bab Dendam Permaisuri yang Terbuang: Bab 51 - Bab 60
134 Bab
51. Menyelamatkan Diri
"Terima kasih Guru Besar," ujar salah seorang kesatria. "Jaga diri kalian baik-baik," jawab lelaki bertopeng tersebut. Lelaki itu melompat ke udara, gerakan secepat kilat dan kemudian menghilang. "Siapa kisanak tadi?" tanyanya. "Beliau Guru Besar pemilik Padepokan Elang Putih tempatku menimba ilmu," jawab kesatria itu berbinar. "Ah, kita telah berhutang budi," jawab salah seorang lagi. "Baiklah, mari kita cari Permaisuri Rengganis dan yang lain!" ajak salah seorang lagi. Mereka bergegas pergi menyusuri hutan. *** Di tempat berbeda, Rengganis masih berlari menghindari penyamun tersebut. Dia kabur entah ke mana tujuannya. Dia ketakutan, tubuh bergetar hebat, beberapa kulit terluka lantaran terkena semak belukar berduri. Kesatria yang membantunya sedang bertarung dengan para penyamun yang mengejarnya. Tinggal dia seorang diri, bersembunyi di balik akar sebuah pohon besar. 'Duh Gusti, lindungi aku,' kata Rengganis memeluk lututnya s
Baca selengkapnya
52. Penyatuan Rengganis dan Nyi Gendeng Sukmo
Melihat wajah kusam dengan bekas tanah kering masih tercetak jelas. Sudah dipastikan wanita itu berkutat tanah dan lumpur juga saat melarikan diri. Rengganis yang malang. Suara gamelan berbunyi nyaring, Rengganis menoleh ke kanan-kiri tidak ada siapa pun. Dia menghela napas kencang, penuh kesadaran pada rasa frustrasi menggelayut. Dia menginginkan kekuatan luar biasa demi mewujudkan dendamnya. Tatapan Rengganis menajam penuh keyakinan. "Aku mau, apa pun itu asal aku bisa memiliki kekuatan besar untuk merebut kembali Kerajaan Baskara," tekad Rengganis. Nyi Gendeng Sukmo melihat kesungguhan Rengganis lalu tersenyum lebar. "Mari kita lakukan penyatuan sekarang juga." Wanita lelembut itu berbinar. Nyi Gendeng Sukmo menutup mata komat-kamit merapalkan mantra. Angin berembus kencang sekali. Suara gending jawa semakin terdengar nyaring dengan alunan musik makin kencang. Ketika membuka mata, netra Nyi Gendeng Sukmo berubah menjadi merah menyala. Tubuh Rengganis bergetar d
Baca selengkapnya
53. Makan Kembang
Rengganis membuka mata, melihat sekeliling, ruangan berbentuk gua. Di mana lampu minyak menyinari. Kepala Rengganis berdenyut, dia langsung melonjak bangkit berdiri, meraba tubuh bagian depan. Serpihan ingatan kembali membayang, rasa sakit luar biasa dia rasa sungguh menyakitkan. Rengganis menengok ke sekeliling. Dia melotot ke arah gua yang temaram itu, pada ujung ruangan Rengganis melihat Nyi Gendeng Sukmo melangkah mendekati membawa sebuah bakul kecil berisi buah. “Makanlah Cah Ayu, kau lapar kan,” ujar Nyi Gendeng Sukmo lalu duduk di bebatuan yang digunakan Rengganis untuk berbaring. “Bagaimana tubuhmu?” tanyanya. “Aku tadi merasa ingin mati, tetapi sekarang baik-baik saja,” aku Rengganis, dia melihat ke arah langit-langit gua yang nampak temaram, ruangan tersebut cukup luas, dengan beratap dan dinding batu, pahatan dari alam. Rengganis lalu bertanya, “Ini di mana?” “Ah, kau ada di gua yang berada di tengah air terjun,” jawab Nyi Gendeng Sukmo menyerahkan buah apel
Baca selengkapnya
54. Gua Persembunyian Rengganis
Belum sempat Rengganis meminta penjelasan, Nyi Gendeng Sukmo sudah menghilang tanpa jejak. Rengganis bangkit berdiri, dia hendak berteriak. Namun, sebuah bayangan hitam dari arah luar mengarah semakin mendekat. "Argh!" Rengganis berteriak lantang, jantung berdegup kencang. Wanita itu ambruk jatuh ke tanah basah. 'Kurang ajar kau Nyi Gendeng, meninggalkan diriku sendiri,' keluh Rengganis dengan tubuh yang semakin gemetaran. Bayangan tersebut nampak semakin mendekat. Dia mengangkat kedua tangan menyilang di depan wajah sebagai pertahanan. "Tidak, jangan mendekat, jangan bunuh saya!" teriaknya. "Permaisuri Rengganis," suara yang tidak asing terdengar. Rengganis menurunkan kedua tangan kemudian melotot melihat sosok tegap memandang dengan binar. "Senapati Khandra," panggil Rengganis tidak percaya. "Saya, Permaisuri," jawab Khandra hendak melangkah, berniat membantu Rengganis bangkit berdiri. "Tidak, tetap di tempatmu!" perintah Rengganis. Dia takut
Baca selengkapnya
55. Penyamaran Kayana
Kayana, Sajani, dan beberapa orang kesatria pilihan Ki Kastara sedang dalam perjalanan pulang dari meninjau tempat pertahanan Kerajaan Baskara di ujung utara. Hari sudah gelap, hujan pun turun. Mereka menunggangi kuda dengan hati-hati melewati jalan setapak. Kayana sendiri sedang menyamar menjadi Khandra, dia mengenakan jubah hitam, dengan mulut ditutup kain. Tidak ada yang curiga lantaran beberapa kali Khandra memang berpenampilan demikian saat bertugas. Sang senapati sendiri tengah menjenguk Permaisuri Rengganis, segalanya harus berjalan aman agar terkendali juga tidak menimbulkan kecurigaan pada Ki Kastara. Sajani mensejajarkan kudanya dengan milik Kayana. "Kayana, kita berhenti di sana. Sepertinya itu kedai makan dan tempat penginapan." Sajani menyarankan. Gadis itu menyipitkan ke arah depan, di mana sebuah bangunan luas ramai pengunjung. "Kau benar, kuda kita juga butuh istirahat." Kayana menepikan kudanya ke bagian samping, di mana sebuah bagunan beratap tanpa tadi
Baca selengkapnya
56. Tendangan Luka Seribu Milik Sajani
Lelaki bertubuh gempal itu tampak mengangkat tangan kanan lalu berencana membelai wajah mulus Sajani. Dengan gesit wanita itu menangkis. Senyum lelaki itu lenyap berubah menjadi tatapan tajam, dadanya nampak kembang kempis. Dia mengintimidasi Sajani melalui tatapan mata merahnya. Sungguh sayang seribu sayang, Sajani bergeming. Dengan santai dia menghela napas kasar sebagai protes rasa keberatan dirinya diusik. "Enyahlah dari hadapanku bandot tua!" cebik Sajani. "Kau." Lelaki itu menunjuk ke arah wajah Sajani. "Dasar jalang sialan, kau menghinaku, huh?" Lelaki tersebut berdiri lalu berkacak pinggang. "Argh! Wanita sialan, pelacur jual mahal!" umpatnya mengibaskan tangan hingga hidangan di atas meja Sajani berhamburan. "Argh!" desis lelaki tersebut. Gedebuk! Prang! Minuman dan makanan bersama perkakas lainnya jatuh ke tanah. Argh! Teriakan wanita dan beberapa pengunjung terkejut ada pula yang ketakutan melihat lelaki tadi murka. Suasana menjadi tidak enak, sang
Baca selengkapnya
57. Kasta Rendah
Khandra masih belum sadar jika dirinya berada di tempat yang sebelumnya pernah disegel. Curug Sidangkrong yang tertutup bukit Alang-alang sama sekali tidak kentara aura negatif dan lainnya. Seolah tempat tersebut memang menyatu dengan tempat yang berdampingan lainnya. Lelaki itu memungut beberapa kayu bakar lalu gegas kembali ke dalam gua. Rengganis menyambut dengan senyuman. Ah, lelaki mana yang tidak meleleh melihat senyuman manis tersebut. Khandra pun sebentar seperti terkena mantra jampi-jampi, tersihir akan kecantikan Rengganis. Deretan gigi putih terpampang menambah kesan ayu nan menggoda. 'Astaga, apa yang aku pikirkan?' Monolong Khandra, dia menggelengkan kepala agar kembali fokus ke alam nyata. Tangan Khandra cekatan menumpuk kayu, lalu satu gerakan menarik pedang, mengayun secara cepat, percikan api keluar dari pedang Sawer Geni. "Aw!" pekik Rengganis terkejut melihat percikan api keluar. Mata gadis itu melebar, jantung berdetak terasa mau loncat ke
Baca selengkapnya
58. Naik Kasta
Hilang sudah imajinasi liar Khandra mendengar kata tersebut. "Saya dan Sajani?" Seperti orang linglung Khandra tersebut. "Iya, kalian berdua sangat serasi. Sajani pendekar bayangan wanita yang hebat, dan kau adalah Senapati terhormat dari Kerajaan Baskara pilihan ayahanda. Kalian pasangan luar biasa jika kelak menikah nanti," ujar Rengganis. Entah harus bernapas lega atau bagaimana, yang pasti sekarang Khandra terkekeh kecil mendengar penuturan Rengganis. Nampaknya sang permaisuri telah salah paham akan kedekatan Khandra dan Sajani. "Semoga saja semua berjalan seperti apa yang kita harapkan Khandra, aku akan merebut tahtaku lalu kalian bisa menikah, akan aku buat pesta megah agar semua orang bahagia dengan pernikahan pahlawan Baskara," lanjut Rengganis penuh antusias. "Kerajaan Baskara pasti akan kembali pada pemiliknya Permaisuri," kata Khandra menepuk-nepuk pundak Rengganis. Wanita itu kembali memeluk Khandra, rasanya lelaki itu benar-benar se
Baca selengkapnya
59. Pengkhianat
Suara ketukan teratur terdengar dari genting di atas kamar tidur Khandra. Lelaki yang baru saja pulang menjelang pagi usai melatih para kesatria itu mendongakkan kepala, dia bangkit dari tidur. Menajamkan pendengaran untuk memperhatikan kode ketukan tersebut. 'Satu, dua, tiga … dua." Khandra melebarkan mata, ketukan pelan sebanyak tiga kali kemudian tempo cepat sekali. Pertanda jika ada yang tidak baik dan mengharapkan kehadiran Khandra secepatnya. Lelaki itu gegas ke arah pintu lalu menguncinya. Tidak lupa dia mengunci jendela. Khandra menyambar jubah mengenakan cepat lalu meraih pedang di atas meja dekat amben. Sekali lompatan lelaki itu berada di atas, sudut ruang. Bergelantungan pada kusen, lalu menarik simpul dinding kayu samping terbuka seukuran jendela. Khandra mengayunkan kaki melompat keluar, dan membalikkan tubuh hingga sampai berpijak di atap. Tempat itu dia gunakan untuk pulang pergi tanpa melewati jendela dan pintu agar tidak ada yang curiga. Kh
Baca selengkapnya
60. Mana Kawan Mana Lawan?
Khandra melangkah ke arah ujung ruangan berdinding kayu tersebut. Dia membuka pengait jendela dan membukanya. Sorot sang surya memancar menyeruak masuk ke dalam. Pemuda itu lantas duduk di bangku samping amben, di mana pada bagian depan ada meja yang berisi tumpukan lontar, juga beberapa buku usang. "Mengingat keributan semakin membesar seperti ini." Petapa Bagaspati mulai berkata. "Aku sungguh khawatir pada Permaisuri Rengganis. Bukan cuma kubu Raja Abra yang menginginkan. Namun, akan ada banyak mengincarnya. Lebih menakutkan jika mereka berbuat hal diluar dugaan," ujarnya lagi cemas. Kayana menatap Khandra lantas menggerakkan kepala sedikit mendongak. Sebagai kode agar sahabat karibnya itu menjawab. Namun, Khandra bergeming tanpa kata, mulut masih tertutup. "Kakek, kita doakan saja semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja," cakap Kayana pada akhirnya. 'Dasar kau.' Kayana melemparkan tatapan tajam pada Khandra sebentar. "Kulak nuwun (permisi)." Suara
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status