Rengganis membuka mata, melihat sekeliling, ruangan berbentuk gua. Di mana lampu minyak menyinari. Kepala Rengganis berdenyut, dia langsung melonjak bangkit berdiri, meraba tubuh bagian depan. Serpihan ingatan kembali membayang, rasa sakit luar biasa dia rasa sungguh menyakitkan. Rengganis menengok ke sekeliling. Dia melotot ke arah gua yang temaram itu, pada ujung ruangan Rengganis melihat Nyi Gendeng Sukmo melangkah mendekati membawa sebuah bakul kecil berisi buah. “Makanlah Cah Ayu, kau lapar kan,” ujar Nyi Gendeng Sukmo lalu duduk di bebatuan yang digunakan Rengganis untuk berbaring. “Bagaimana tubuhmu?” tanyanya. “Aku tadi merasa ingin mati, tetapi sekarang baik-baik saja,” aku Rengganis, dia melihat ke arah langit-langit gua yang nampak temaram, ruangan tersebut cukup luas, dengan beratap dan dinding batu, pahatan dari alam. Rengganis lalu bertanya, “Ini di mana?” “Ah, kau ada di gua yang berada di tengah air terjun,” jawab Nyi Gendeng Sukmo menyerahkan buah apel
Belum sempat Rengganis meminta penjelasan, Nyi Gendeng Sukmo sudah menghilang tanpa jejak. Rengganis bangkit berdiri, dia hendak berteriak. Namun, sebuah bayangan hitam dari arah luar mengarah semakin mendekat. "Argh!" Rengganis berteriak lantang, jantung berdegup kencang. Wanita itu ambruk jatuh ke tanah basah. 'Kurang ajar kau Nyi Gendeng, meninggalkan diriku sendiri,' keluh Rengganis dengan tubuh yang semakin gemetaran. Bayangan tersebut nampak semakin mendekat. Dia mengangkat kedua tangan menyilang di depan wajah sebagai pertahanan. "Tidak, jangan mendekat, jangan bunuh saya!" teriaknya. "Permaisuri Rengganis," suara yang tidak asing terdengar. Rengganis menurunkan kedua tangan kemudian melotot melihat sosok tegap memandang dengan binar. "Senapati Khandra," panggil Rengganis tidak percaya. "Saya, Permaisuri," jawab Khandra hendak melangkah, berniat membantu Rengganis bangkit berdiri. "Tidak, tetap di tempatmu!" perintah Rengganis. Dia takut
Kayana, Sajani, dan beberapa orang kesatria pilihan Ki Kastara sedang dalam perjalanan pulang dari meninjau tempat pertahanan Kerajaan Baskara di ujung utara. Hari sudah gelap, hujan pun turun. Mereka menunggangi kuda dengan hati-hati melewati jalan setapak. Kayana sendiri sedang menyamar menjadi Khandra, dia mengenakan jubah hitam, dengan mulut ditutup kain. Tidak ada yang curiga lantaran beberapa kali Khandra memang berpenampilan demikian saat bertugas. Sang senapati sendiri tengah menjenguk Permaisuri Rengganis, segalanya harus berjalan aman agar terkendali juga tidak menimbulkan kecurigaan pada Ki Kastara. Sajani mensejajarkan kudanya dengan milik Kayana. "Kayana, kita berhenti di sana. Sepertinya itu kedai makan dan tempat penginapan." Sajani menyarankan. Gadis itu menyipitkan ke arah depan, di mana sebuah bangunan luas ramai pengunjung. "Kau benar, kuda kita juga butuh istirahat." Kayana menepikan kudanya ke bagian samping, di mana sebuah bagunan beratap tanpa tadi
Lelaki bertubuh gempal itu tampak mengangkat tangan kanan lalu berencana membelai wajah mulus Sajani. Dengan gesit wanita itu menangkis. Senyum lelaki itu lenyap berubah menjadi tatapan tajam, dadanya nampak kembang kempis. Dia mengintimidasi Sajani melalui tatapan mata merahnya. Sungguh sayang seribu sayang, Sajani bergeming. Dengan santai dia menghela napas kasar sebagai protes rasa keberatan dirinya diusik. "Enyahlah dari hadapanku bandot tua!" cebik Sajani. "Kau." Lelaki itu menunjuk ke arah wajah Sajani. "Dasar jalang sialan, kau menghinaku, huh?" Lelaki tersebut berdiri lalu berkacak pinggang. "Argh! Wanita sialan, pelacur jual mahal!" umpatnya mengibaskan tangan hingga hidangan di atas meja Sajani berhamburan. "Argh!" desis lelaki tersebut. Gedebuk! Prang! Minuman dan makanan bersama perkakas lainnya jatuh ke tanah. Argh! Teriakan wanita dan beberapa pengunjung terkejut ada pula yang ketakutan melihat lelaki tadi murka. Suasana menjadi tidak enak, sang
Khandra masih belum sadar jika dirinya berada di tempat yang sebelumnya pernah disegel. Curug Sidangkrong yang tertutup bukit Alang-alang sama sekali tidak kentara aura negatif dan lainnya. Seolah tempat tersebut memang menyatu dengan tempat yang berdampingan lainnya. Lelaki itu memungut beberapa kayu bakar lalu gegas kembali ke dalam gua. Rengganis menyambut dengan senyuman. Ah, lelaki mana yang tidak meleleh melihat senyuman manis tersebut. Khandra pun sebentar seperti terkena mantra jampi-jampi, tersihir akan kecantikan Rengganis. Deretan gigi putih terpampang menambah kesan ayu nan menggoda. 'Astaga, apa yang aku pikirkan?' Monolong Khandra, dia menggelengkan kepala agar kembali fokus ke alam nyata. Tangan Khandra cekatan menumpuk kayu, lalu satu gerakan menarik pedang, mengayun secara cepat, percikan api keluar dari pedang Sawer Geni. "Aw!" pekik Rengganis terkejut melihat percikan api keluar. Mata gadis itu melebar, jantung berdetak terasa mau loncat ke
Hilang sudah imajinasi liar Khandra mendengar kata tersebut. "Saya dan Sajani?" Seperti orang linglung Khandra tersebut. "Iya, kalian berdua sangat serasi. Sajani pendekar bayangan wanita yang hebat, dan kau adalah Senapati terhormat dari Kerajaan Baskara pilihan ayahanda. Kalian pasangan luar biasa jika kelak menikah nanti," ujar Rengganis. Entah harus bernapas lega atau bagaimana, yang pasti sekarang Khandra terkekeh kecil mendengar penuturan Rengganis. Nampaknya sang permaisuri telah salah paham akan kedekatan Khandra dan Sajani. "Semoga saja semua berjalan seperti apa yang kita harapkan Khandra, aku akan merebut tahtaku lalu kalian bisa menikah, akan aku buat pesta megah agar semua orang bahagia dengan pernikahan pahlawan Baskara," lanjut Rengganis penuh antusias. "Kerajaan Baskara pasti akan kembali pada pemiliknya Permaisuri," kata Khandra menepuk-nepuk pundak Rengganis. Wanita itu kembali memeluk Khandra, rasanya lelaki itu benar-benar se
Suara ketukan teratur terdengar dari genting di atas kamar tidur Khandra. Lelaki yang baru saja pulang menjelang pagi usai melatih para kesatria itu mendongakkan kepala, dia bangkit dari tidur. Menajamkan pendengaran untuk memperhatikan kode ketukan tersebut. 'Satu, dua, tiga … dua." Khandra melebarkan mata, ketukan pelan sebanyak tiga kali kemudian tempo cepat sekali. Pertanda jika ada yang tidak baik dan mengharapkan kehadiran Khandra secepatnya. Lelaki itu gegas ke arah pintu lalu menguncinya. Tidak lupa dia mengunci jendela. Khandra menyambar jubah mengenakan cepat lalu meraih pedang di atas meja dekat amben. Sekali lompatan lelaki itu berada di atas, sudut ruang. Bergelantungan pada kusen, lalu menarik simpul dinding kayu samping terbuka seukuran jendela. Khandra mengayunkan kaki melompat keluar, dan membalikkan tubuh hingga sampai berpijak di atap. Tempat itu dia gunakan untuk pulang pergi tanpa melewati jendela dan pintu agar tidak ada yang curiga. Kh
Khandra melangkah ke arah ujung ruangan berdinding kayu tersebut. Dia membuka pengait jendela dan membukanya. Sorot sang surya memancar menyeruak masuk ke dalam. Pemuda itu lantas duduk di bangku samping amben, di mana pada bagian depan ada meja yang berisi tumpukan lontar, juga beberapa buku usang. "Mengingat keributan semakin membesar seperti ini." Petapa Bagaspati mulai berkata. "Aku sungguh khawatir pada Permaisuri Rengganis. Bukan cuma kubu Raja Abra yang menginginkan. Namun, akan ada banyak mengincarnya. Lebih menakutkan jika mereka berbuat hal diluar dugaan," ujarnya lagi cemas. Kayana menatap Khandra lantas menggerakkan kepala sedikit mendongak. Sebagai kode agar sahabat karibnya itu menjawab. Namun, Khandra bergeming tanpa kata, mulut masih tertutup. "Kakek, kita doakan saja semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja," cakap Kayana pada akhirnya. 'Dasar kau.' Kayana melemparkan tatapan tajam pada Khandra sebentar. "Kulak nuwun (permisi)." Suara