-Jika Pesonaku tidak mampu untuk memikatmu, maka ajianku yang akan menjeratmu- Permaisuri Rengganis difitnah secara keji oleh selir Madhavi. Bahkan sang ibunda tewas mengenaskan di tangan Raja Abra, suaminya. Rengganis atas bantuan panglima perang Khandra melarikan diri ketika hendak dihukum penggal. Dalam pelarian, Rengganis bertemu sosok lelembut bernama Nyi Gendeng Sukmo di sebuah air terjun tersembunyi. Kebencian, juga ambisi balas dendam membuat Rengganis menerima uluran tangan Nyi Gendeng Sukmo. Belajar bertarung juga mempelajari ilmu kanuragan serta beberapa ajian. Termasuk jaran goyang. Mantra ajian jaran goyang, ilmu pelet pengasihan. Ajian yang sering disalahgunakan bagi sebagian orang. Bagaimana Rengganis bisa bertahan dalam pelarian? Dapatkah dia merebut tahta kerajaannya kembali? Siapa sosok Gendeng Sukmo sebenarnya? Cover by Rurouni Cover
View More"Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu.
Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama.
Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.”
Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hadapannya, Rengganis merasa bahwa menyetujui mungkin saja bukan keputusan baik.
“Aku tak percaya padamu,” balas Rengganis dengan pandangan waspada, dia mengepalkan tangan menahan tubuh bergetarnya.
Jari-jari lentik wanita tersebut mengangkat dagu Rengganis, memaksa untuk menatap dalam-dalam manik merah miliknya bak menghipnotis. “Tidakkah kau teringat bagaimana kepala ibumu itu terpisah dari lehernya untuk melindungimu?” ujar sang wanita dengan nada suram seraya mengibaskan selendang merah saat membalikkan tubuh. “Bagaimana suamimu, Gusti Prabu Abra, memenggalnya tanpa belas kasihan setelah semua kebaikan yang kalian curahkan padanya?”
‘Tidak!’ teriak Rengganis dalam hatinya, membayangkan jelas kematian sang ibunda dalam benaknya. Bagaimana Abra mengayunkan pedang, menyayat kulit dan mematahkan tulang. Bau anyir darah menguar di udara masih teringat jelas membuat Rengganis mual dan marah.
Tawa wanita di hadapan Rengganis menggema. “Kau lemah, tapi aku bisa mengubah hal itu,” ujarnya dengan sebuah senyum menggoda terlukis di bibir. “Raih uluran tanganku, akan aku ajarkan ilmu milikku juga ajian Jaran Goyang padamu. Balas rasa sakit hati, berikan hukuman setimpal untuk para pengkhianat," tekan wanita berselendang merah itu.
Rengganis menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya. Ucapan wanita itu membakar tekad yang sudah bulat, "Hukuman yang pantas untuk pengkhianat adalah kematian!" cebik Rengganis seraya meraih uluran tangan wanita tersebut.
*KarRa*
Beberapa waktu yang telah lalu.
Terjadi kegaduhan di kerajaan Baskara, suara teriakan orang-orang terdengar ricuh di depan istana permaisuri. Beberapa orang yang berada di dalam istana ketakutan bukan main. Seorang wanita cantik tengah duduk di ranjang berlapis emas, tubuhnya gemetaran dalam pelukan sang bunda.
“Kanjeng Ibu Leena, Gusti Prabu Abra sudah berada di depan pintu,” seorang wanita bertubuh gempal lari tergopoh masuk kamar.
Wanita yang dipanggil 'Kanjeng Ibu' tersebut menoleh ke arah dayang lalu menatap putrinya. “Aku yakin ini sebuah konspirasi,” geram Leena. “Apa Senapati Khandra belum pulang dari berperang?” tanyanya.
“Belum Kanjeng Ibu,” jawab seorang dayang bertubuh gempal. Leena menggunakan gerakan mata agar wanita tersebut mendekat.
“Mbok Berek," bisiknya. "Aku takut kita tersudut, suruh seseorang menyusup dalam diam keluar dan haturkan ini kepada Senapati Khandra!” titahnya berbisik. Kanjeng Ibu Leena menyelipkan secarik kain yang tergulung.
“Baik Kanjeng Ibu,” jawab Mbok Berek gelagapan. Jantung terpompa lebih cepat, tidak ada hal menakutkan dari hari ini. Wanita itu menyembunyikan kain tersebut di balik jarik yang dikenakan.
“Jangan sampai ketahuan, berhati-hatilah!” Kanjeng Ibu Leena memperingatkan.
Mbok Berek paham benar, dia pun khawatir akan tuduhan tidak berdasar di mana antek-antek selir Madhavi begitu keji memfitnah permaisuri Rengganis membunuh calon penerus dengan menaruh racun di dalam minuman yang disajikan beberapa saat lalu saat acara minum teh di Istana Permaisuri. Wanita gempal tersebut pun menyelinap keluar.
“Bangkit Permaisuri Rengganis! Tidak pantas kau ketakutan seperti ini. Tegakkan tubuhmu, tunjukkan harga diri sebagai calon ratu masa depan kerajaan Baskara!” lontar wanita paruh baya yang mengenakan kebaya warna merah dengan rambut disanggul.
Wanita ayu dipanggil Rengganis tersebut bangkit berdiri, menekan ketakutan pada dirinya, dia menggenggam erat selendang sutra warna putih yang menyelempang di pundak ke lengan yang putih bersih.
“Geledah istana Permaisuri Rengganis!” teriak seorang lelaki.
Brak! Pintu istana permaisuri didobrak, seorang lelaki yang mengenakan mahkota yang melambangkan kekuasaan diiringi gerombolan prajurit masuk ke dalam. Para prajurit tanpa permisi melenggang mengobrak-abrik ruangan. Melaksanakan titah dari penguasa kerajaan Baskara yang baru beberapa bulan lalu diangkat menjadi raja.
“Sungguh sopan sekali Prabu Abra, menyuruh orang mengobrak-abrik Istana Permaisuri!” sindir Kanjeng Ibu Leena.
“Mohon Kanjeng Ibu tidak salah dalam beranggapan, saya sedang menjalankan tugas sebagai raja untuk menangkap penjahat yang sudah melenyapkan calon penerus,” kata lelaki itu lantang.
“Jadi kau menganggap putriku yang berambisi melenyapkan bayi dalam kandungan Selir Madhavi? Sungguh buta sekali matamu!” ejek wanita tersebut.
Raja Abra mengepalkan tangan marah, ingin sekali dia menampar wanita tua tersebut. namun, dia urungkan mengingat banyak mata memandang. Raja Abra menatap nyalang wanita yang berdiri di samping Kanjeng Ibu Leena. Tatapan jijik dan ambisi membunuh sangat kental, siapa melihat pun tahu akan hal tersebut.
‘Wanita iblis, tidak pantas menjadi ratu!’ umpat Raja Abra dalam benak.
“Gusti Prabu kami menemukannya!” teriak salah seorang. Beberapa orang berlari dari dalam ruangan menuju depan, “Kami menemukan ini,” ujar salah seorang prajurit menyerahkan sebuah benda kecil tempat obat, seperti tempat arak namun lebih kecil, terbuat dari bahan terakota, bergelembung pada bagian tengah dan satu ujung berlubang kecil, mengerucut.
“Kami juga membawa perkakas tempat jamuan tadi untuk diamankan Gusti Prabu,” kata seorang prajurit lagi. Permaisuri Rengganis dan sang ibu saling pandang, bingung.
Raja Abra menarik kayu kecil yang menutup benda tersebut, dia mendekatkan tempat obat itu pada hidung. Keningnya berkerut, lelaki tersebut kemudian menyerahkan pada seorang lelaki tua berjubah hitam, dengan tubuh membungkuk.
“Periksa ini, tabib istana!”
Lelaki tua berbungkuk membolak-balik sebentar lalu mencium aroma, menutup mata sejenak, meresapi. Wajahnya pias, memandang Permaisuri Rengganis juga Kanjeng Ibu Leena. “Mohon ampun, ini racun ular, Gusti Prabu.” Suara lelaki tua terdengar serak.
Raja Abra tersenyum, tatapan berubah gahar seketika, “Seret Permaisuri ke Istana Dingin!” perintahnya.
“Abra, kau gila, tidakkah kau selidiki lebih lanjut hal ini?” teriak Kanjeng Ibu Leena.
“Bukti apa lagi Kanjeng Ibu, semua ini sudah berada di tangan kami. Satu hal lagi, semua orang juga tahu jika Permaisuri Rengganis tidak suka dengan Selir Madhavi, banyak yang melihat Permaisuri bertindak tidak baik terhadapnya.” Suara Raja Abra semakin emosi. “Seret Permaisuri sekarang!” teriak Raja Abra memberi perintah sekali lagi.
“Jangan berani menyentuh putriku!” Kanjeng Ibu Leena berteriak.
Para penjaga dan prajurit kebingungan saling pandang, kerajaan Baskara milik keluarga Permaisuri Rengganis, sebagian pengikut masih mendukung Permaisuri, sebagian lagi dimonopoli dan beralih mendukung Raja Abra.
“Sungguh kau anj*ng yang lupa pada asal-usulmu, Abra!” pekik kanjeng Ibu Leena tanpa takut, wajah Raja Abra memerah seketika. “Kau menggigit Tuanmu yang memberi rumah,” lanjutnya lagi.
Bersambung….
@lovely_karraNext Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments