KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri의 모든 챕터: 챕터 51 - 챕터 60
81 챕터
Tentang Dustin
Sembilan tahun lalu. "Anak remaja yang kulihat di rumahmu saat itu ... aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkannya, Rama."Di sebuah bar pusat kota terlihat dua orang pria yang tengah bercengkerama dengan dua gelas penuh berisi vodka di atas meja. Rama menatap sahabatnya yang dua tahun terakhir baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar M.Psi."Ini sudah ketiga kali kau membahasnya saat sedang mabuk, Dustin. Lagipula dia terlalu muda untukmu," cetus Rama. "Kalau mau aku bisa menyediakan yang lain."Dustin menggeleng. "Aku menginginkannya bukan untuk ditiduri. Tertarik tak berarti hanya karena hasrat semata, bukan?" Rama tersenyum sinis. "Cih, omong kosong."Dustin beranjak dari tempatnya, lalu menepuk pundak Rama. "Kau terlalu larut dalam dunia yang kelam, anak muda. Hingga tak membiarkan siapa pun menyelami kehidupanmu lebih dalam. Dengarkan aku! Bukalah sedikit hatimu, lagi pula jatuh cinta bukanlah dosa." Setelahnya Dustin pun berlalu. Rama m
더 보기
Tentang Dusti (2)
Meskipun matanya sudah terbuka tapi Amira tak berani menatap Dustin. Tubuh mungil itu meringkuk di balik selimut masih dengan tangis yang belum mereda. Dustin yang kelabakan antara memulihkan kesadaran dan mengendalikan keterkejutan bergegas bangkit dan mengenakan pakaian untuk mencari Rama. Namun, lelaki itu sudah pergi tanpa jejak.Diliputi kepanikan Dustin turun menuju lobi bahkan tanpa alas kaki. Dia meninggalkan semua barang di kamar nomor 312 kecuali ponselnya dan pergi meninggalkan hotel menggunakan taksi.Di dalam taksi Dustin tak bisa berhenti menjambaki rambut frustrasi. Berbagai kata umpatan dia layangkan untuk Rama. Bisa-bisanya karena pengaruh alkohol dia telah merenggut masa depan seorang gadis yang mulanya ingin dia lindungi. Mereka bahkan belum sempat berkenalan secara resmi, tapi satu kesalahan fatal mungkin bisa membuat Dustin benar-besar kehilangan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Taksi berhenti di pelataran sebuah rumah megah dengan pos penjaga di depan
더 보기
Antara Cinta dan Ambisi
"Dok, dalam agamaku bunuh diri atau mendahului takdir itu adalah dosa besar. Bahkan disebutkan bahwa jasad kita tak akan diterima di alam kubur. Kalau begitu aku akan meminta pada Tuhan agar diwafatkan setelah melahirkan. Selain tak menyalahi aturan agama, mungkin aku juga bisa beristirahat dengan tenang, bukan?"Dustin tertegun menatap remaja yang baru saja beranjak dewasa tengah duduk di sampingnya. Tatapan perempuan itu lurus ke depan menatap air mancur di taman belakang rumah sakit khusus penyakit mental. Tak terasa empat bulan telah berlalu semenjak Dustin menangani pasien istimewanya ini. Tak ada perubahan signifikan. Remaja yang belum genap berusia tujuh belas tahun-- seperti yang tertera dalam kartu identitasnya itu, masih tetap putus asa akan hidupnya. Meskipun begitu, perlahan dia mulai bicara kembali meskipun yang keluar hanya kalimat-kalimat keputusasaan atau pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa. Seolah mempertanyakan kenapa dia dilahirkan kalau tak punya masa depa
더 보기
Tak Lagi Sama
"ARGGHH ...." Teriakan frustrasi itu terdengar menggema di ruang bar. Tubuh Dustin bersimpuh di lantai, bahkan nyaris bersujud. Beberapa kali dia usap wajah kasar, kala sekelebat ingatan tentang masa lampau datang mengusik ketenangan. Sejak kepergian Rama dua jam yang lalu, Dustin masih terjaga dengan perasaan yang sama. Kesal, marah, tak percaya, dan menyesal berkecamuk jadi satu, hingga ingin rasanya dia mengejar lelaki itu dan menghabisinya detik ini juga. Namun, sayangnya dia masih punya cukup kewarasan agar tak bertindak bodoh tanpa perhitungan. Lima belas tahun mengenal lelaki itu sudah cukup bagi Dustin memahami karakter Rama sebenarnya. Selain gesit, manipulatif dan licik. Dia juga bisa dibilang pembohong ulung. Meskipun terkesan dingin dan tak banyak bicara, tapi saat memulai aksinya, begitu mudah dia bersilat lidah dengan mulut manisnya. Sifat ini mengingatkannya pada seseorang. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya sendiri yaitu Dokter Sandi. Ketika ke
더 보기
Sembunyi-Sembunyi
"Terkadang aku masih tak menyangka ternyata keluargamu sekaya ini, Amira! Padahal saat sekolah dulu kau begitu sederhana walaupun tiap hari memang naik turun mobil mewah."Zara mengutarakan unek-uneknya di hadapan Amira yang tengah bersiap dalam ruang pakaian di kamarnya dibantu seorang pelayan.Sebuah setelan kerja berwarna gelap terlihat melekat sempurna di tubuh rampingnya."Kehadiranku memang tak bisa ditampik sebagai aib di keluarga ini, Zara. Jangankan dirimu. Wali kelasku saja hanya tahu bahwa aku adalah kerabat jauh kakek, karena begitulah cara mereka menutupi statusku dari publik selama belasan tahun lamanya. Aku tahu mungkin kakek sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkannya. Namun, sayang azal lebih dulu menjemputnya sebelum hari itu tiba." Zara terbungkam saat melihat ekspresi datar yang ditunjukkan Amira saat menuturkannya. Refleks dia berjalan mendekat dan merengkuh tubuh sahabatnya sejak SMP tersebut."Mira ... inilah alasan kenapa aku bersedia meninggalkan mi
더 보기
Mulai Curiga
"Bang! Bang! Bang!" Ilham mengguncang tubuh Jojo yang baru saja merebahkan diri di sebuah karpet berbulu lembut dalam kamar mereka."Apaan, sih, Ham? Gue baru mau tidur siang habis dijajah si Zara.""Coba dengerin, deh!" Ilham menyerahkan sebuah earphone kepada Jojo."Apa ini?" "Dengerin aja."Jojo berdecak sejenak, lalu mulai mendengar dengan saksama rekaman suara dari laptop milik Ilham.Tak lama mata Jojo membelalak sempurna."Eh, anjrit begimana bisa, Ham?"Kemarin gue sisipin chip di bajunya Mbak Andin. Ternyata bener dia nyamperin Mas Rama.""Bentar, bentar! Jadi ini begimana maksudnya? Sorry otak gue kadang emang lemot banget, Ham.""Jadi, gini ... awalnya gue curiga kenapa CCTV di kamar Mas Rama sama Mbak Andin nggak bisa diakses. Iseng dah gue jalan-jalan ke ruang CCTV setelah sogok bagian penjagaan sama cilok berisi obat tidur. Ternyata kecurigaan gue emang beralasan, Bang. Mereka beberapa kali keluar dari kamar yang sama!""Ohmaygad. Positif thingking aja kali, Ham. Mungki
더 보기
Membuktikan Diri
Ting!Lift pun sampai di tempat yang dituju. Mereka keluar satu per satu, dan masuk ke ruang meeting hampir bersamaan. Menyisakan Al yang menjaga di luar. "Sebentar, Nona!" Langkah Amira terhenti tepat di ambang pintu. Dia menoleh menatap Al. "Ya, Al?" "Saat meeting berlangsung nanti, usahakan jangan duduk, ya. Ini! Siapa tahu Nona membutuhkannya nanti." Al mengeluarkan sebuah flashdisk dari kantong celananya."Meskipun kebingungan akhirnya Amira mengangguk juga. "Oke. Terima kasih, Al."Al hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Tiba di dalam ruang meeting, Amira melihat hampir tiga per empat kursi sudah terisi. Saat hendak duduk tiba-tiba dia mengingat ucapan Al. Dan memilih untuk berdiri lalu memulai presentasi. "Tolong nyalakan in fokus-nya," pinta Amira pada salah satu staf. Namun, bukannya bergegas menyalakannya, staf pria itu malah menghampiri Amira dan berbisik di telinganya. "Maaf, Bu. Tapi filenya tak ada."Amira mengernyit dahi. "Bagaimana bisa? Kemarin, kan aku
더 보기
Melarikan Diri
"Kalau bersedia kapan-kapan, kita dinner di rumahku, bagaimana?" tawar Amira pada Mrs. Margaret setelah meeting selesai."Dengan senang hati tentu saja aku akan datang, Mira. Bersama dengan suami, Dustin, dan Anne."Amira tersenyum lebar, lalu kembali memeluk ibu kandung Dustin itu sebelum berlalu. "Sekali lagi terima kasih, Mrs. Margaret.""Sama-sama. Kau tak perlu sungkan. Lagipula sebentar lagi kau akan jadi anak menantuku, bukan?" Mrs. Margaret tertawa kecil sementara Amira hanya menanggapinya dengan senyum terpaksa. "Oh, ayolah, Mira. Aku hanya bercanda. Walaupun kenyataannya putraku memang begitu tergila-gila padamu."Amira terdiam sejenak, lalu mengangkat kepala. "Dustin berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dariku, Mrs.""Tapi menurutku tak ada yang lebih baik darimu. Cantik, cerdas, masih muda, dan tangguh."Seketika Amira terbungkam. Batinnya mulai menjerit mengkhianati diri sendiri. "Aku hanya merasa tak pantas bersanding dengan putramu yang nyaris sempurna, Mrs."Mere
더 보기
Menghilangkan Bukti
"Kita naek motor, nih, Ham?" tanya Jojo saat melihat Ilham keluar dari garasi dengan sebuah motor gede. "Hooh, nggak ada waktu lagi soalnya Bang. Nunggu Non Amira pulang--entar keburu basi dan lumutan.""Terus laptopnya?""Tenang, masih nyala. Walaupun dah kedip-kedip kek orang cacingan.""Ya udah kalau gitu. Gaskeun, Ham. Lagian suntuk juga dekem di rumah mulu jadi babunya si Zara.""Haha. Kayaknya kalian cocok, deh, Bang. Berantem mulu soalnya.""Hmm ... kalau emang jodoh siapa yang tahu, yepan?"Ilham kembali terbahak. "Anjay, ternyata lu ngarep juga.""Bukan ngarep, Ham. Tapi usaha. Nggak dapet Non Mimi, kan bisa sama temennya, buahaha--asyem." Seketika tawa Jojo terhenti saat melihat Zara tiba-tiba muncul di hadapan mereka. "Anjir sejak kapan dia berdiri di sono?" bisik Jojo pada Ilham. "Nggak tahu, Bang. Perasaan baru ngedip bentar. Terus gimana, dong?""Mau ke mana kalian?" Zara melotot sembari berpangku tangan di atas stang motor yang ditumpangi Jojo dan Ilham. "Ng, itu,
더 보기
Awal Perubahan
Amira melangkah lebar memasuki gedung Rumah Sakit Harapan tak lama setelah dia mendapat kabar dari kepolisian. Segala urusan yang semula sudah dijadwalkan, tanpa pikir panjang langsung dia tinggalkan demi prioritas para pegawal. Degub jantungnya yang berdetak tak keruan seiring mengiringi langkahnya yang terseok memasuki lift bersama Al yang tak kalah paniknya. Meski bibir ranum itu terbungkam, tak henti dia berdoa agar polisi tersebut salah mengidentifikasi korban. Lift berhenti di lantai dua. Bergegas mereka berjalan menuju sebuah ruang mayat yang terletak di ujung koridor."Non." Sedikit ragu, Al menyentuh pundak Amira. Perempuan itu menoleh masih dengan kecemasan yang sama. "Tarik napas dulu. Tenangkan pikiran," pintanya."Mana bisa, Al," sentak Amira setengah geram.Al tetap bersikukuh meyakinkan. "InsyaAllah bisa."Pada akhirnya Amira menurut juga. Di ambang pintu ruang mayat dia berpegangan pada dinding penyangga, lalu menghela napas dalam-dalam."Sekarang, ayo kita masuk." A
더 보기
이전
1
...
456789
DMCA.com Protection Status