Semua Bab Mendadak Kaya Usai Bercerai : Bab 91 - Bab 100
104 Bab
Sembilan Puluh Satu
Merasa bisa sendiri, tapi Anisa kembali merasakan kepalanya pening. Dahulu, saat permasalahan dengan Wisnu dirinya tak mengalami drop seperti ini. Dirinya merasa sangat lemah, mungkin ia terlalu percaya pada Abas hingga rasa kecewa itu begitu dalam.Abas membantu Anisa untuk minum obat. Mau tidak mau, ia harus pasrah semua yang mengurus adalah suaminya. Walau menolak, tetap saja harus meminum obat.“Kamu beristirahat, sepetinya kamu memang harus tidur. Jangan terlalu banyak pikiran.”“Kamu yang membuat aku seperti ini,” oceh Anisa.“Aku tahu, makanya aku meminta maaf. Kita bicara lagi setelah kepalamu dingin.” Abas menyimpan obat kembali di nakas. Lalu, mengelus pucuk rambut Anisa kemudian pria itu pamit karena tak mau membaut Anisa merasa terbebani. Anisa mencoba memejamkan mata, lalu perlahan ia pun mulai mengantuk. Efek obat membuatnya lebih cepat memejamkan mata. Sementara, Abas kembali menemui sang ibu di ruang tamu. “Sudah tidur?” tanya Bu Asih. “Sudah Sepertinya. Ef
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Dua
Sebulan Kemudian Seorang wanita tengah berdebat dengan satpam. Ia memaksa untuk masuk ke kantor dan bermaksud menemui Abas. Satpam tak mau membukakan pintu dan memberi jalan karena memang itu aturan kantor tidak membiarkan semua orang masuk kecuali sudah memiliki janji dan harus menunjukkan bukti tersebut. Atau dirinya akan diberi tahu siapa saja yang akan datang. "Maaf, Bu, ini sudah peraturan kantor. Saya hanya mencari nafkah di sini.""Saya ingin bertemu, Abas," ujar Zani. Meski dilarang ia tetap memaksa menerobos untuk masuk. Mencari kesempatan hingga bisa keluar dari pengawasan satpam. Ia ingin membuat perhitungan dengan Abas. Bisa-bisanya, dia menolak dan membuat putrinya setengah frustasi dalam sebulan ini.Zani, miris melihat keadaan Kinar saat ini. Maka dari itu dirinya datang ke kantor. Setelah satpam lengah, ia masuk. Dirinya langsung mencari keberadaan Abas. "Abas!" seru Zani saat melihat sosok yang dicari ada tak jauh dari tempatnya berada. Dirinya melangkah setenga
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Tiga
Sudah satu bulan Kinar benar-benar menjauhi Wisnu. Menutup semua akses komunikasi dengan lelaki itu, keluar dari perusahaan tiba-tiba. Dirinya berusaha hirap dari kehidupan Wisnu. Takut. Itulah yang ia rasakan. Bayangan saat Wisnu menyentuh tubuhnya. Ia sangat membenci lelaki itu. Keinginan balas dendam pada Abas dan Anisa belum juga tuntas. Mengalami keterpurukan. "Ah, semua ini gara-gara Wisnu!"Kinar setiap hari menghancurkan seisi kamarnya. Tubuh wanita itu semakin hari semakin terlihat kurus. Makan pun sehari hanya sekali itupun harus dipaksa dahulu. "Kinar, cukup!"Zani kesal anaknya benar-benar bak wanita yang depresi. Marah tanpa alasan, setiap dirinya bertanya hanya kata-kata Abaslah yang harus bertanggungjawab. Namun, mengapa lelaki yang dulu mencintai anaknya sekarang berubah? Kinar menggeleng. Ia tak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada sang ibu. Dirinya masih trauma mengingat semua kejadian yang menimpanya. Orang yang dirinya percaya justru telah merenggu
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Empat
Zani memijat pelipisnya. Pikirannya tengah melanglang buana. Memikirkan sang putri yang sejak tadi muntah-muntah. Wajah Kinar pun terlihat begitu pucat, ia khawatir anaknya telah melewati batas dan ini hasilnya. Dirinya takut jika putrinya itu hamil. Apa kata orang nanti? Namanya bisa tercemar seketika. "Kinar ada yang kamu sembunyikan dari mama?" tanya Zani. Anaknya bungkam seribu basa. Tatapannya begitu kosong. Firasatnya seorang ibu tidak pernah salah. Ia tahu ada yang terjadi dengan Kinar hingga dia menjadi seperti itu. "Katakan jangan bilang kau hamil!" seru Zani. Ia sudah tak sabar lagi menghadapi putrinya yang bagai segumpal daging hidup itu. "Tidak, aku hanya sedang tak enak badan saja. Sepertinya maagku kambuh," ujar Kinar. Zani menggeleng tak percaya dengan jawaban putrinya. Ia harus membuktikan terlebih dahulu. "Ayo kita ke dokter," ujar Zani. Kalimat tersebut telah berkali-kali terucap dan Kinar selalu menolaknya mentah-mentah. Namun, kali ini sang ibu bertindak, i
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Lima
“Kinar.”Mendengar namanya disebut padahal bukan dari orang farmasi, membuatnya membuka mata. Sosok yang ia hindari sekarang berada tepat di depannya. Tubuhnya sudah keringat dingin. Dirinya belum siap untuk bertemu Wisnu. Ini juga bukan waktu yang tepat untuk keduanya bertemu. “Kenapa kau memblokir semua akses komunikasi?” tanya Wisnu. Tatapan Wisnu menggambarkan kekesalan yang ada pada dirinya. “Mengapa kau menghindariku, Kinar?” tanya Wisnu kembali. Kinar berdiri, tetapi ia berusaha menjaga jarak dengan lelaki itu. “Aku kesal padamu. Harusnya kau tidak mengikut campurkan urusan pribadi dengan pekerjaan,” papar Wisnu. Kinar memejamkan mata, ia mengumpulkan keberanian untuk melawan lelaki itu. “Bisa-bisanya kau berkata demikian, Wis,” ungkap Kinar.“Apa yang tidak bisa, kamu membuat aku rugi. Tiba-tiba mengundurkan diri, kamu pikir ini semu dirinya a baik-baik saja bagiku. Mereka mencabut kerja sama dengan perusahaan aku hanya karena kamu sudah tak bekerja lagi.” Wi
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Enam
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Tujuh
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
Baca selengkapnya
Sembilan Puluh Delapan
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Baca selengkapnya
sembilan Puluh Sembilan
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Baca selengkapnya
seratus
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status