Semua Bab CUCU YANG DIBEDAKAN: Bab 21 - Bab 30
66 Bab
21. Nasehat Ibu
Bab 21*Aku pulang bersama ibu dengan menaiki ojek. Kami sedikit berjalan kaki hingga sampai di pasar untuk menemukan ojek yang akan mengantar kami ke rumah. Sengatan matahari terlalu menambah rasa lelahku. Aku masih mengenakan seragam sekolah dan sandal jepit, sementara rambut terasa sudah bau matahari.Kira-kira lima menit perjalanan kami sampai di rumah. Dalam perjalanan aku dan ibu sama sekali tidak berbicara. Aku penuh dengan pikiranku sendiri, sementara ibu kurasa juga sama. Entah apa yang ia pikirkan lagi. Ibu hanya berbicara saat tukang ojek menanyakan akan diantar ke mana. Masuk ke mana lagi untuk sampai rumah, itu saja.“Lurus, ada kedai kopi, terus masuk lorong, Pak.” Ibu memberikan jawaban untuk tukang ojek yang umurnya terlihat lebih tua dari ayah.Sampai. Aku dan ibu sudah sampai di rumah. Dari bagian pinggang kain jarik yang ia kenakan, kulihat ia mengambil uang untuk membayar.“Makasih, Bu,” ucap bapak tukang ojek sebelum berbelok kembali ke pasar.Ibu hanya menganggu
Baca selengkapnya
22. Menghindari Kalila
Bab 22*Hari berlalu begitu cepat. Aku semakin tumbuh seiring usia yang bertambah. Sejak banyak kejadian yang membahayakan bagiku, aku tak lagi berteman dengan Kalila dan Karina. Aku ingat saat itu sudah masuk SMP, sekolah yang ada di sebelah Sekolah Dasar kami dulu. Kami masuk di sekolah yang sama, pun saat itu sekolah masih gratis atas dasar wajib belajar sembilan tahun.Aku benar-benar menghindari Kalila juga Karina. Begitu pun dengan mereka, syukurnya aku tak lagi sekelas dengan dua sepupuku itu. Di Sekolah Menengah sudah jauh lebih banyak kelasnya. Kelas tujuh saja ada sekitar empat kelas dengan maksimal dua puluh lima siswa.Kami benar-benar seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Seperti orang lain, dan bukan saudara. Aku tidak marah, aku hanya menjaga diri seperti yang ibu katakan.Hingga kami beranjak SMA, aku sudah benar-benar jarang bertemu dengan dua sepupuku itu. Mereka sekolah di SMA yang berbeda denganku. Sekolah yang tentu lebih unggul dengan biaya yang l
Baca selengkapnya
23. Bukan Tanah Nenek
Bab 23*“Bu, kenapa tanah Bu Halimah, kenapa bukan punya nenek?”Aku terus mengejar ibu dengan pertanyaan. Perasaanku begitu rumit dan kalut, susah kujelaskan saat itu. Seumur hidupku aku mengira tanah yang dibajak oleh ibu dan ayah adalah tanah nenek, karena ia punya banyak tanah dan kebun.“Memang dari awal punya Bu Halimah, Sekar.” Ibu menjawab lesu. Aku tahu perasaannya kini sedang tak baik-baik saja. Terlalu banyak yang ia pikirkan ke depannya.“Tapi, kenapa? Sekar pengen tahu alasannya, Bu.”Aku menangis saat itu, karena rasa kecewa yang mendalam yang dibuat oleh entah siapa. Nenek, atau malah diriku sendiri yang terlalu berharap tinggi.Tanah yang selama ini dibajak oleh ayah dan ibu adalah milik Bu Halimah, yang saat panen akan dibagikan separuh hasilnya. Aku bahkan tak pernah tahu ayah membagi hasilnya, karena aku hanya melihat hasilnya setelah dibawa pulang ke rumah.“Duduk!” ucap ibu yang kini telah duduk di dipan. Aku mengikuti perintahnya, duduk di sebelah ibu dan menat
Baca selengkapnya
24. SPP Menunggak
Bab 24*Aku sudah tahu semua rahasia masa lalu ibu, awalnya aku masih saja menangis ketika mengingat semua itu. Atas dasar apa seseorang melarang untuk saling jatuh cinta dan menikah? Aku rasa itu hak mereka yang memiliki cinta.Tentang nasab ibu, ia juga tak pernah meminta untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan latar belakang apa. Ibu tak salah, sama sekali tak salah, tapi perbuatan ibunya yang salah. Namun, manusia kerap kali menyamaratakan kesalahan. Kesalahan yang akan diungkit sampai anak cucu.Lama-kelamaan aku tak menangis lagi tentang itu. Hanya rasa ikhlas dan penerimaan yang kuusahakan hadir dalam hati. Aku masih terus sekolah, letaknya juga tak jauh dari kampungku. Jika dulu hanya berjalan kaki sejauh beberapa meter dari rumah. Maka sekarang jaraknya sedikit lebih jauh lagi. Sekolah SMA berada di ujung desa tetangga. Satu-satunya sekolah SMA yang ada di kecamatan kami. Sedangkan Kalila dan Karina, mereka sekolah di kecamatan yang berbeda, yang lebih maju dari sekolah k
Baca selengkapnya
25. Memulai Bisnis
Bab 25*Siang itu aku pulang ke rumah. Kulihat dari pintu kamar yang terbuka, ibu sedang salat dhuhur begitu aku masuk dan membuka sepatu. Aku masuk ke dalam kamar dan mengganti baju sekolah dengan baju rumahan. Setelah keluar dari kamar, ibu juga keluar dari kamar sudah selesai salat.“Makan, Nak.” Ibu berjalan ke rak piring untuk makan siang.“Iya,” jawabku.“Ayah pulang siang tadi?” tanyaku.“Iya, tapi udah pergi lagi.” Ibu memberitahu.“Bu, Sekar ada sesuatu nih.” Aku berkata dengan riangnya.“Apa?” tanya ibu sambil mengerutkan keningnya.Aku kembali masuk ke kamar, dan mengambil sesuatu dari dalam tas sekolah. Lalu, keluar kembali menemui di mana ibu duduk dengan piring di tangannya. Ia tak jadi menyendok nasi karena ucapanku seakan menahan aktivitasnya.“Sekar tadi menang lomba nulis puisi,” ucapku dengan mata yang berbinar. Tanganku mengulurkan sertifikat ke arah ibu agar ia melihatnya.Ibu mengambil sertifikat dari tanganku, ia membaca berulang kali nama yang tertera di sana
Baca selengkapnya
26. Memanjakan Nenek
Bab 26*Pagi.Dari dapur, aku mendengar nenek memanggilku dengan suara lirih. Bahkan aku sering tak bisa mendengar dengan jelas suara nenek jika dari jarak jauh. Seperti sekarang ini, nenek masih di ranjang di ruang tengah, mungkin ia baru terbangun.Merasa dipanggil, aku menghentikan aktivitas memasak di dapur. Ingin bertanya apa yang barusan nenek katakan. Aku mendekat, nenek sudah duduk di ranjang dan melihat aku yang mendekat.“Apa tadi, Nek?” tanyaku.Aku mengulurkan tangan untuk menyanggul rambutnya. Rambutnya tipis dan sepenuhnya telah memutih itu, aku sanggul dengan sangat tidak elegan. Ya, aku tidak bisa menyanggul rambut orang lain. Berbeda rasanya dengan menyanggul rambut sendiri, bisa dirasakan sendiri.Tiba-tiba nenek tertawa hingga terdengar di telingaku, aku menatap wajahnya dari depan. Segaris senyuman masih tersisa di wajah keriputnya.Aku jadi mengerutkan kening, lalu sadar apa yang membuat nenek tertawa. “Nenek nggak nyaman ya? Sekar nggak bisa nyanggul rambut oran
Baca selengkapnya
27. Hadiah untuk Sahabat
Bab 27*Setelah melihat nenek tidur kembali, aku keluar dari rumah setelah mendapat izinnya. Aku pergi menemui Farah yang entah kenapa sampai saat ini ia tak datang menemuiku. Padahal rindu sekali aku padanya. Sejak aku menikah, kami tak pernah bertemu. Hanya sesekali aku menghubungi Farah, atau sebaliknya. Aku ingin melihat wajahnya sekarang, selama kami saling berhubungan di telepon, tapi ia tak pernah melakukan video call, karena Farah masih menggunakan ponsel poliponik yang hanya bisa mengirimkan pesan dan telepon.Aku keluar rumah dan menutup pintu, lalu melangkah pelan ke rumah Farah. Rumah yang dulu sering kujadikan tempat bermain, ada banyak kenangan juga di rumah itu. Kenangan menunggu Farah saat akan ke sekolah dan mengaji. Semua kenangan masa kecil kami bermain bersama.Dari jauh kulihat pintu rumah kayu itu terbuka, halamannya bersih seperti baru saja disapu, menandakan ada orang di dalam sana. Rumah yang telah lama tak kulihat itu semakin terlihat lapuk. Kayu-kayunya sud
Baca selengkapnya
28. Kenangan Bersama Ibu dan Ayah
Bab 28*Aku pulang ke rumah nenek setelah membelikan ponsel untuk Farah. Ia banyak menolak merek ponsel ini itu, karena takut kemahalan. Padahal aku tak masalah dengan itu. Nanti juga aku yang perlu jika ingin menghubungi dan ingin melihat wajahnya.“Ini berapa?” tanyaku pada pelayan toko.“Empat juta, Mba. RAM-nya lebih gede.”Aku mengangguk, sementara Farah menatapku tak enak. Ia berbisik agar tak terdengar oleh penjaga toko.“Yang murah aja, yang penting bisa video call,” bisik Farah. Aku tersenyum.“Yaudah yang ini aja, Mas.” Aku memutuskan untuk mengambil android keluaran terbaru yang harganya empat juta.Farah mendelik padaku, ia masih saja sungkan dengan keputusanku. Aku membayarkan uang sesuai harga, lalu keluar dari toko setelah mengambil barang dan mengucapkan terima kasih.“Ngapain sih beli kayak ginian. Yang dua juta tadi kan ada. Buang-buang duit.” Farah mengomeliku di dalam mobil.Aku bukannya ingin pamer uang, tapi hanya memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan itu tid
Baca selengkapnya
29. Kepergian Ayah
Bab 29*Kami pernah berada di posisi hidup tenang karena bisa memiliki satu dua karung kecil beras yang akan tahan untuk beberapa waktu. Kami pernah rutin makan ikan-ikan enak, dan tak perlu memikirkan untuk masak apa hari ini. Bagi orang lain itu biasa, tapi bagi aku dan keluarga itu mewah. Saat itu bisnis kecil-kecilan keripik ibu sudah mulai dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga, dan konsumennya sudah sampai ke orang-orang di kecamatan. Apalagi saat menjelang lebaran, aku dan ibu menerima banyak orderan. Sepertinya Tuhan memang menunjukkan jalan rezeki dari jualan keripik.Ibu menjual keripik singkong original, dan ada juga keripik pedas. Kami sangat menikmati masa-masa berjualan dan menerima orderan. Pun saat itu ayah masih bekerja di pasar, bekerja serabutan, jadi sedikit-sedikit menambah perekonomian keluarga.Meskipun tak bisa membajak sawah, tapi Tuhan memberikan jalan rezeki di bidang lain. Terkadang, aku juga menerima pesanan dari guru yang menyukai keripik ibu yang me
Baca selengkapnya
30. Luka Kehilangan
Bab 30*Setelah kepergian ayah, aku hidup bersama ibu. Sama-sama mengais rezeki dengan cara menjual keripik. Usaha kami masih sama larisnya seperti dulu, meskipun tidak menjadikan kami kaya, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ayah sebagai tulang punggung keluarga.Rasa kehilangan itu tetap ada, tetap menyiksa dan tak hilang sampai kapan pun. Aku dan ibu saling menguatkan, meski seringkali kulihat ibu diam-diam menangis di dalam kamar.Malam itu aku tertidur di dalam kamar, ibu juga sudah tidur di kamarnya. Namun, di kesunyian malam aku terjaga dan mendengar suara isakan dari dalam kamar ibu. Aku bangun dari ranjang, dan mengintip lewat pintu kamar ibu. Kulihat perempuan itu sedang meringkuk dalam isaknya yang terdengar pilu. Tangannya membelai lembut bagian kasur yang kosong, menyiratkan ia begitu kesepian tanpa ayah. Ibu benar-benar kehilangan sebagian dari jiwanya.Aku yang melihatnya merasa begitu sesak, lalu ikut terisak di balik pintu.Perlahan tanganku membu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status