Semua Bab Bercak Darah di Seprai Adikku : Bab 31 - Bab 40
50 Bab
Part 31
"Entah di mana aku akan menyembunyikan rasa malu ini kepada Velly. Dulu dengan sombongnya aku membanggakan Mas Bima yang lebih memilih diriku dibandingkan dengan dirinya. Sekarang, hidup Velly perlahan mulai bangkit juga bahagia, sedangkan aku malah terombang-ambing di tengah lautan luka," ucap Imelda sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan. Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam memasuki parkiran kantor. Bahrudin serta Velly keluar dari dalam mobil tersebut sambil bercengkrama juga bercanda ria, membuat Imelda merasa iri melihat Velly selalu berada di tengah-tengah orang yang tulus menyayangi. Dengan langkah ragu perempuan berbaju biru itu menghampiri sang kakak, menghambur ke dalam pelukannya meluapkan lara yang sedang menghimpit dada. "Kamu kenapa, Imel. Kenapa datang-datang langsung nangis? Ada apa?" tanya Velly dengan nada khawatir. Biarpun Imelda telah mencacah-cacah hatinya, sebagai seorang kakak yang sudah mengasuh perempuan itu dari kecil tetap saja m
Baca selengkapnya
Part 32
"Sampai kapan pun kamu tetap keluarga aku, Mel. Tapi untuk tinggal satu atap lagi aku nggak bisa. Aku sudah merasa nyaman hidup bersama kedua jagoanku." "Vell, sudah waktunya kerja. Saya menggaji kamu itu bukan untuk mengobrol saja tapi untuk memajukan perusahaan ini," timpal Bahrudin yang sejak tadi diam menyimak pembicaraan kedua perempuan di hadapannya. Sang pemilik mata dengan iris coklat itu mengangguk lalu berpamitan kepada Imelda, berjalan bersisian dengan sang bos menuju ruang kerjanya. "Maaf kalau ucapan saya tadi terlalu kasar, Vel. Saya cuma tidak mau kamu berlama-lama dengan perempuan itu dan akhirnya hati kamu luluh oleh bujuk rayunya." Bahrudin berujar setelah mereka berada di dalam ruangan. Bibir Velly melekuk senyum bak lengkungan bulan sabit yang berpendar di langit, membuat hati Bahrudin selalu bergetar jika melihatnya. Pria itu kemudian menundukkan wajah, menghindari tatapan Velly yang bagai magnet yang menarik hatinya
Baca selengkapnya
Part 33
"Maaf, Mas. Saya belum punya uang." "Kalau tidak punya uang jangan bertingkah. Sudah miskin harta, miskin adab pula. Datang ke rumah orang langsung teriak-teriak dan melempari batu." "Sekali lagi saya minta maaf. Saya melakukan itu karena kesal sama penghuni rumah yang lama." "Kenapa merasa kesal? Bukannya kamu yang sudah merebut suami pemilik rumah itu? Harusnya dia yang kesal sama kamu." Imelda menunduk malu mendengar ucapan Roger. "Sudah. Sekarang kamu bayar ganti ruginya. Total tujuh juta. Kalau tidak kamu saya laporkan ke kantor polisi!" ancam pria itu kemudian. "Tapi saya nggak punya uang, Mas. Bagaimana kalau Mas bawa saja saya ke rumah, menemani Mas, dan kita anggap urusan kita selesai. Impas." Pria berambut panjang itu tertawa mendengar penawaran Imelda. "Saya sudah punya kekasih dan tidak berminat sama barang bekas!" ujarnya kemudian begitu menusuk hati lawan bicaranya. "Sini, bayar uang ganti ruginya. Saya nggak mau tahu!"
Baca selengkapnya
Part 34
"Ampun, Bu. Sakit. Jangan perlakukan saya seperti ini. Saya ini manusia bukan binatang!" pekik Imelda sembari mencoba melepaskan diri dari jambakkan perempuan yang ternyata istrinya Petra itu. Kepalanya terasa kebas saking kerasnya si perempuan menjambak, bahkan di sela-sela jari wanita itu banyak sekali rambut yang terbawa."Kamu memang bukan binatang. Tapi kelakuan kamu sudah persis seperti binatang liar!" sungut istri Petra sambil terus membawa perempuan itu keluar dari hotel, mendudukkannya di parkiran kemudian dengan emosi yang sudah meninggi dan tidak bisa terkendali dia mencukur rambut gundik suaminya hingga menyisakan sedikit saja."Berani kamu mengganggu suami saya lagi, saya tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih kejam daripada ini!" ancam istri Petra kemudian.Wanita dengan jambul katulistiwa itu kemudian kembali masuk, kali ini menarik suaminya lalu memasukkannya ke dalam mobil sambil menampar wajah Petra berkali-kali.
Baca selengkapnya
Part 35
Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari balik kelopak, membasahi pipinya yang kian putih bersih, lalu segera dia hapus menggunakan punggung tangan.“Ya Allah, Sayang. Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Velly seraya mengusap kepala adiknya dengan perasaan prihatin.“Pasien mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara memotong urat nadi di pergelangan tangan. Beruntung nyawa beliau dan juga bayi dalam kandungannya masih bisa diselamatkan,” terang suster sembari memeriksa selang infus.“Terus, bagaimana keadaan adik saya sekarang, Sus?”“Alhamdulillah Bu Imelda sudah melewati masa kritisnya. Insyaallah beliau tidak apa-apa, Bu. Untuk lebih jelasnya biar nanti dokter yang menerangkannya kepada Ibu.”“Terima kasih, Suster.”“Sama-sama, Ibu. Yasudah. Kalau begitu saya permisi dulu mau memeriksa pasien yang lainnya.”“Baik, Sus.”Velly
Baca selengkapnya
Part 36
“Memangnya kriteria calon suami yang kamu impikan itu seperti apa, Vel?” tanya Bahrudin kemudian.“Belum terpikirkan, Pak. Masih ingin fokus mengurus anak-anak. Belum berani juga, karena takut kembali dikecewakan juga dikhianati. Sakit tahu, Pak. Bikin trauma untuk menikah lagi!” Kini mata Velly sudah dipenuhi kabut, dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur begitu saja melewati pipinya.Bahrudin ingin sekali menghapus air mata itu, juga mengatakan kepada Velly kalau jika ia diberi kesempatan untuk menjadi pendamping hidupnya, akan ia jadikan Velly sebagai ratu di hatinya, juga permata paling berharga yang akan selalu dia jaga.Namun, lagi-lagi kata-kata itu hanya tertahan di bibir. Umurnya yang sudah kepala empat dan hampir mendekati kepala lima membuat pria itu tidak memiliki keberanian mengungkapkan perasaan.Takut ditolak, itu yang selalu dia khawatirkan.“Bapak sendiri, kapan Bapak akan mengakhiri masa duda Bapak? Memangnya nggak kepengen apa punya pendamping hi
Baca selengkapnya
Part 37
Setelah mobil Ramon meninggalkan parkiran rumah sakit, ia bergerak mengikuti mobil tersebut, ingin tahu ada hubungan apakah antara Velly dan rekan bisnisnya itu.Karena tidak sanggup menunggu, sang pemilik hidung mancung akhirnya menghubungi nomer sekretarisnya, berpura-pura mengabari ingin menjemput ingin tahu reaksi Velly.“Maaf, Pak. Saya sudah otewe pulang diantar Pak Ramon. Tadi kebetulan kami bertemu di lobby. Saya pesen taksi juga nggak dapet-dapet. Jadi sekarang beliau yang mengantar saya pulang,” jawab sang sekretaris membuat hati Bahrudin sedikit merasa lega.“Kan sudah saya bilang. Kabari saya kalau sudah mau pulang. Biar nggak usah merepotkan orang lain, Vell!” protes Bahrudin.“Iya, Pak. Sebenarnya saya juga tidak mau terus menerus merepotkan Bapak.”“Tapi saya suka direpotkan dan dilibatkan dalam segala hal yang menyangkut diri kamu. Sekarang tolong bilang sama Pak Ramon suruh dia berhenti di halte. Kamu pindah ke
Baca selengkapnya
Part 38
“Maaf, Pak. Untuk saat ini saya belum siap menikah lagi. Saya masih trauma dan takut gagal. Saya tidak mau menjadi janda untuk yang ke dua kalinya.” Mendadak mata Velly terasa menghangat. Pandangannya mengabur terhalang oleh genangan air mata.“Insyaallah saya akan menjadi suami yang baik juga setia.”“Kalau Bapak memang mencintai saya, tunggulah setidaknya sampai satu tahun saya menjadi janda. Supaya Bapak bisa menimbang-nimbang juga meyakinkan diri Bapak kalau saya ini memang wanita yang pas buat bapak.”“Satu tahun? Itu terlalu lama Vel. Aku tidak mau terus menerus memetik dosa setiap kali menatap wajah kamu juga mengaguminya. Aku ingin segera menghalalkan kamu, supaya kapan pun saya menatap kamu tidak menjadi ladang dosa buat aku.” Kini Bahrudin mulai menggunakan kata aku kamu kepada Velly.“Aku pikir-pikir dulu, Pak.” Pria berhidung mancung itu menghela napas. Kini dia harap-harap cemas, takut Velly menolak dirinya, dan ya
Baca selengkapnya
Part 39
Pulang kerja Velly terlebih dahulu mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Imelda. Tentu saja ditemani oleh Bahrudin yang semakin tidak berani mengizinkan Velly jalan sendiri. Pokoknya ke mana-mana harus diantar, sebab dia takut ada yang mengganggu sang kekasih hati.“Nggak usah dibukain pintu kaya Cinderella juga kali, Mas,” ucap Velly saat Bahrudin membukakan pintu mobil untuknya.“Kamu lebih dari itu, Vel. Cinderella mah lewat!” jawab Bahrudin sembari tersenyum.“Gombal!”Lagi, Bahrudin melekuk senyum menatap wanita yang teramat dicintainya.Mereka kemudian berjalan beriringan masuk ke rumah sakit, menyusuri lorong menuju kamar Imelda dan segera mengetuk pintunya secara perlahan.Bibir Velly melekuk senyum ketika melihat sang adik tengah duduk di atas ranjang sambil menikmati semangkuk bubur yang disediakan oleh perawat.“Mbak Velly, Pak Rudi?” sapa Imelda tanpa berani menatap wajah kakak juga lelaki yang
Baca selengkapnya
Part 40
“Aku tidak boleh menjadi budak cinta. Aku harus melangkah ke depan. Melupakan Mas Bima dan menata hidup yang baru. Demi calon buah hatiku yang teramat berharga,” gumamnya dalam hati. Ia lalu meletakkan kembali gawai miliknya di atas tempat tidur, mengobrol panjang lebar dengan Velly hingga tanpa terasa hari telah menjelma menjadi petang.Velly pun pamit pulang dan berjanji akan datang menjenguk dia di akhir pekan nanti bersama anak-anaknya.Di tempat lain.“Mas, tolong ambilkan sepatu aku dong?” perintah Arzeti sembari menunjuk rak sepatu, sementara tangannya terus saja bergulir di layar ponsel.“Masa ambil sepatu aja kamu nyuruh aku, Yang,” protes Bima tidak terima.“Memangnya kenapa kalau aku nyuruh kamu? Nggak terima?!” bentak Arzeti sambil berkacak pinggang dan menatap kesal ke arah Bima.“Aku ini suami kamu, bukan budak kamu!”“Sudah deh, nggak usah banyak protes. Kalau tidak terima y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status