All Chapters of IBUKU PELAKOR: Chapter 41 - Chapter 50
98 Chapters
Perbincangan dengan Bapak
"Pak, Divya tadi bertemu pengacara yang akan membantu proses cerai Divya." Aku memberitahu Bapak mengenai Bang Dion. "Terus, apa katanya?" tanya Bapak."Ya dia bisa bantu, kalau Divya sudah menyelesaikan administrasi. Bisa aja sih, gratis tanpa biaya, paling hanya biaya baterai dan fotocopy aja. Tapi harus mengurus surat keterangan tidak mampu," jelasku. "Berapa biayanya?" tanya Bapak lagi. Jelas saja Bapak lebih milih membayar, daripada harus aku mengurus surat keterangan tidak mampu. Bisa hilang muka Bapak, di hadapan staff desa nanti."Um, tunggu ya Pak." Aku segera ke kamarku. Mengambil hape yang kuletakkan di atas bantal. Aku membuka pesan dari Bang Dion tadi, lalu menunjukkan pada Bapak. "Ini Pak," kataku.Bapak berdiri, sambil menggendong Arsen. Bapak melihat nilai yang tertera di pesan Bang Dion, juga semua rinciannya. "Ya sudah, nanti ke rumah. Bapak nggak bawa uang," kata Bapak.Aku termangu, duduk kembali di sofa. Bapak masih berdiri, sambil menimang Arsen. Ke rumah Bap
Read more
Mencurigakan
"Sana gih, cepat. Kalau terlalu malam melewati kebun sawit, kasihan Arsen," kata Bapak usai dia sholat. Bapak cepat sekali sholatnya. Apakah Bapak tak bisa khusyuk? Atau … ah sudahlah, lebih baik aku cepat berwudhu. Entah kenapa, sejak peristiwa yang menimpa Satria, aku selalu saja paranoid dengan hal-hal yang begituan. Apalagi aku ingat, waktu itu Bapak sempat muntah. Namun Bapak tak mau datang lagi untuk di ruqyah.Bapak benar, untuk keluar menuju ke jalan raya, butuh waktu sekitar dua puluh menit. Takutnya Arsen akan takut nanti, melihat pohon-pohon sawit di kegelapan malam. Pasti akan tampak menyeramkan di mata anak kecil seusia Arsen. Jangankan Arsen, aku sendiri terkadang takut kalau memandang pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di malam hari. Berasa horor kalau diliatin lama-lama. Bapak menunggu di ruang tamu, seperti aku tadi. Usai sholat aku bermunajat pada yang Maha Kuasa, berharap keputusanku untuk berpisah dari Mas Bima adalah keputusan yang tepat. Memohon kelancaran, j
Read more
Pertengkaran Ibu dan Bapak
Usai menunaikan sholat Isya, aku rebahan di sebelah Arsen. Kuambil gawaiku dari dalam tas. Kucari nama Bang Dion. Aku mau mengabari dia kalau aku besok akan ke Pengadilan Agama untuk mengantar berkas yang diperlukan lagi, juga uang untuk biaya mengajukan perkara gugatan ceraiku.Telponku tersambung, tapi belum diangkat. Mungkin dia sedang sholat atau ada hal lain. Sampai nada sambung berakhir, tak juga diangkat. Kucoba lagi, dengan sabar aku menunggu panggilanku diangkat olehnya. "Halo. Assalamualaikum." Akhirnya diangkat juga panggilanku."Waalaikum salam. Ini saya Divya Bang. Yang pagi tadi kita ketemu di kantor Pengadilan Agama," jelasku. "Divya yang senyumnya manis itu kan, yang ada gingsulnya." Dia malah menggodaku, dan berhasil membuat pipi ku jadi panas. Kalau aku bercermin, pasti ada semburat merah di pipiku."Malah gombal. Serius nih, besok kita ketemu di pengadilan lagi ya," kataku untuk menutup rasa kikuk yang tiba-tiba hadir."Wah, baru tadi pagi ketemu, udah kangen aja.
Read more
Ke Pengadilan Agama lagi
Sampai di kamar, adrenalinku benar-benar terpacu. Dadaku berdebaran Sanca kencang, mana haus lagi. Belum sempat ambil minum tadi. Apa aku tak salah dengar tadi? Berarti, Bapak tak pernah mencintai Ibu selama ini? Berarti, semua kemesraan dan keharmonisan yang dipertontonkan, hanya drama saja. Gila! Pantas saja Bapak tak begitu peduli dengan kelakuan buruk Ibu. Dia hanya mementingkan nama baik saja, hingga hatinya sekeras batu, atau … ada hal lain yang membuat Bapak seperti itu? Mataku tak bisa terpejam lagi, masih terngiang kata-kata Ibu tadi. Ah, lebih baik aku sholat tahajud saja, biar adem hati ini. ★★★KARTIKA DEKA★★★"Bapak jadi ikut sama Divya?" tanyaku pada Bapak saat kami sedang menikmati sarapan di meja makan. Hanya ada aku, Bapak dan Arsen di gendonganku. Ibu? Aku tak tau dia dimana, dan aku tak peduli tentang itu. Aku tak mengizinkan Bik Sum menggendong Arsen, aku sengaja pura-pura ngambek sama dia. Biar dia tau, kalau dia bersekongkol sama Ibu, itu adalah sebuah kesalah
Read more
Pengacara humoris
"Kamu yakin, kamu tak salah lihat." Astaga nih orang. Masih nggak percaya juga. Disodorkannya padaku satu gelas air mineral. Kuterima, kumasukkan sedotannya dan langsung menyedotnya sampai habis. Pengen marah sama nih orang, tapi kok alasannya nggak jelas.Huuuhhhh haaaahhh. Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Baiklah, tak ada malu-malu lagi. Biar Bang Dion tau dan jelas dengan ceritaku. "Saya nggak salah lihat Bang. Saya melihat dengan mata saya sendiri. Saya juga dalam keadaan sadar, tidak sedang bermimpi atau baru bangun dari tidur. Apa perlu saya peragakan caranya biar Abang percaya?" tantangku. Berusaha menutupi rasa kesalku."Boleh, saya bersedia jadi pemeran suami kamu. Dimana? Disini? Ayo." Mataku melotot mendengarnya. Tak menyangka dia malah menantangku balik. Kuambil sendiri air mineral yang ada di tengah meja, kali ini nggak pake sedotan, tapi langsung kukoyak segelnya dan langsung kutenggak sampai habis. Haduh, hilang kalemku di hadapannya. Kok ngeselin ya
Read more
Bertemu R Wulandari
"Percuma kesana, Rafika tak di sana lagi. Sudah sangat lama dia pergi," kata Bapak.Aku melihat ke jalanan. Menerawang jauh, menghayal seandainya aku bisa bertemu dengan ibu kandungku. Ibu yang sudah melahirkanku di tengah kedukaannya saat Ayah kandungku meninggal. Membayangkannya membuat mataku panas. "Ssruut srruut." Aku menyedot ingus yang ikut timbang rasa dengan air mata yang perlahan tapi pasti mengalir dari kelopak mataku."Kamu nangis?" tanya Bapak. Pengen rasanya aku jawab, nggak Pak, Divya ketawa. Tapi urung kulakukan, diam saja lebih baik. Hatiku sedang melow sekarang. Toh Bapak bisa lihat kalau aku menangis. Kuambil tisu yang ada di atas dashboard. Kuusap air mata dulu baru hidungku yang berair. "Divya ingin sekali bertemu Ibu kandung Divya, Pak," kataku. Bapak menghembuskan nafasnya yang berat. "Nanti Bapak coba cari nomor sahabat Bapak itu. Sudah belasan tahun kami tak saling berhubungan. Nomornya hilang entah kemana. Dulu bukan seperti sekarang, pake hape. Dulu hany
Read more
Cemburukah Ibu?
"Gimana Pak? Udah Bapak cari tau sama teman-teman Bapak?" tanyaku pagi ini dengan semangat pada Bapak. Kuabaikan Ibu yang sedang joging.Pagi ini, Bapak duduk santai sambil menikmati segelas kopi juga pisang goreng yang pastinya buatan Bik Sum. Sementara Ibu Joging ringan di halaman belakang tanpa alas kaki. Kalau orang lain yang melihat kami, pasti iri. Betapa hangatnya situasi keluarga di rumah ini. Mereka tak tau aja, ada larva panas yang sedang menggelegak di dalamnya. Satu malaman aku hampir tak bisa tidur dengan nyenyak. Menunggu pagi datang, rasanya lama sekali. Aku ingin segera menagih janji Bapak semalam, yang ingin mencari nomor kontak sahabat lamanya yang ada di Jakarta. Sahabat baik Bapak, yang dulu Bapak percayakan untuk menjaga ibu kandungku.Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Aku ingin segera mendengar kabar baik dari Bapak. Jadi begitu pagi datang. Kulihat Bapak juga sudah duduk santai menikmati masa pensiunnya, langsung aku datangi. Heran juga, kenapa Bapak masih
Read more
Bicara dengan Bik Sum
Sekarang benar-benar sepi, tak ada suara apapun lagi. Mungkin Ibu tertidur atau masih meratapi nasib di kamarnya. Aku berharap, setelah ini, Ibu tidak akan berbuat hal yang sangat merugikan dirinya sendiri. Terutama hal yang membuat harga dirinya sebagai perempuan, tak ada nilainya sama sekali.Kalian mungkin akan bilang, aku ini lemah, mudah melow dan kasihan sama Ibu. Padahal Ibu sudah sangat menyakiti aku. Ditambah fakta baru, kalau ternyata dia bukan Ibu kandungku.Tapi tetap saja, hatiku tak bisa bohong. Aku akui, aku marah sama dia. Sangat marah. Bahkan kalau bisa, aku ingin menghajar Ibu habis-habisan. Tapi bagaimanapun, dia tetap ibuku. Itu yang kuketahui tentang dirinya sedari aku kecil. Walaupun sekarang aku tau, kasih sayangnya padaku tak tulus. Tak ada kenangan buruk tentangnya di ingatanku. Walau kuakui, sangat sedikit juga kenangan manis bersamanya. Seperti pernah kuceritakan, aku lebih dekat sama Bapak dan lebih merasa nyaman bicara sama Bapak. Arsen sudah siap menyus
Read more
Pengakuan Bik Sum
"Ada apa dengan Satria, Bik?" "Anu Mbak. Kalau Bibik cerita, Mbak jangan kasih tau ya, kalau Mbak Divya tau dari Bibik." Aku semakin mengernyitkan dahiku, kenapa Bik Sum takut? Kalau informasi yang dia sampaikan valid. Buat apa dia harus takut? "Sekarang cerita apa dulu, Bik?" "Um, anu Mbak." Dia malah kebingungan."Dari tadi kok anu terus sih Bik? Bibik diancam sama Ibu ya," selidikku. Dia tersenyum kecut. "Bibik nggak usah takut. Yang gaji Bibik di sini Bapak, bukan Ibu. Jadi seharusnya, Bibik lebih menghargai Bapak. Pokoknya Divya nggak mau kejadian kayak kemaren terulang lagi. Bibik ikut juga nanggung dosa Ibu loh. Bibik mau?" Dia menggeleng. "Ya udah, sekarang Bibik cerita sama Divya. Kenapa rupanya sama Satria?" "Mbak, sebenarnya Mas Satria itu, bukan anak Bapak," katanya. Ternyata berita basi yang ingin disampaikan Bik Sum."Divya Udah tau Bik," kataku datar."Tapi juga bukan anak Pak Danu," katanya lagi. Tentu saja aku terperanjat mendengarnya. Sejak kejadian keluarga Bu
Read more
Bertemu sahabat Bapak
"Pertanyaan kamu tuh kok ya aneh. Disana kan ada kebun Bapak, juga ada anak Bapak," kata Bapak membuatku nyengir. Ternyata Bapak tetap menganggap Satria anaknya. Padahal Bapak tau, kalau Satria bukan anak kandungnya. Bapak yang memang tulus, atau … ada sesuatu di sebaliknya. "Bapak nggak marah sama Satria?" Kucoba bertanya, ingin tau seperti apa jawaban Bapak. "Marah buat apa?" "Dia kan–" Mau meneruskan bilang kalau Satria kan bukan anak Bapak, kok rasanya nggak enak ya. Kok kayak sentimen sama Satria. Bagaimanapun dia adekku, terlepas kami ada hubungan darah atau tidak. Kami sudah terikat sejak kecil, tak ada yang bisa mengubah itu. Meski aku akui, aku sendiri masih syok mengetahui kebenaran tentang diri kami. Ditambah pengakuan Satria yang bilang menyukaiku bukan sebagai kakaknya."Bukan anak Bapak," kata Bapak santai saja, sambil tetap menikmati makanannya. "Kamu saja, bukan anak kandung Bapak." Aku jadi serba salah mendengar Bapak bilang gitu.Kalau aku kan beda sama Satria.
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status