All Chapters of IBUKU PELAKOR: Chapter 31 - Chapter 40
98 Chapters
Anak Nenek yang lain
"Loh, kowe urung turu toh Ndok?" tanya Nenek berusaha menutupi rasa terkejutnya."Kenapa kalian semua membohongi Divya!" teriakku. Air mataku sudah menganak sungai di kedua pipiku. Hatiku hancur sekali, mendapati kenyataan, keluargaku sendiri menyimpan rahasia yang begitu besar tentang hidupku. Oke! Aku tau. Banyak keluarga di luar sana yang mengadopsi anak angkat. Tapi setidaknya, mereka akan membuka identitas anak itu di saat usianya sudah baligh. Atau … paling tidak, di saat mereka menganggap, mental anak itu sudah kuat untuk menerima kenyataan.Aku sudah cukup dewasa untuk menerima kenyataan kalau aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu. Atau bahkan mungkin, aku tak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan keluarga Rajasa. Kenapa mereka justru menikahkan aku dengan berwali Bapak?! Apa mereka tak berpikir, pernikahanku akan menjadi tidak sah, karena tak ada hubungan darah dengan mereka? Kenapa tak menyerahkan perwalianku pada wali hakim saja waktu itu?! Berjuta tanya tersemat di
Read more
Orangtua kandung
"Nek." Aku mengguncang bahu Nenek.Wanita tua yang sangat kusayang itu, menatap langsung ke manik mataku. Saat netra kami beradu, aku ingin mencari jawaban dari mata Nenek."Apa Hendra meninggal? Apa dia … Bapak Divya yang sebenarnya?" tanyaku seraya berusaha kuat menahan gejolak di dadaku. Aku berusaha tegar menerima kenyataan kalau aku bukan anak Bapak.Kalau benar aku adalah anak Hendra, anak Nenek yang lain. Pantas saja, Bapak bisa menjadi waliku. "Huhuhuhu." Nenek mengangguk dengan tangisan yang semakin kencang. Kulihat Bulek Ratmi pun tergugu. Berarti Bulek tau semua cerita ini. Kenapa tak ada yang menceritakan semua ini padaku?! Lalu Satria. Bagaimana dia bisa tau tentang semua ini? Justru aku, yang lama tinggal satu rumah dengan Nenek tak tau tentang jati diriku sebenarnya. "Bulek!" Aku memanggil wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri itu. Mencoba bertanya, dengan.tata pan mataku.Dia menatapku dengan mata yang basah. Sayu, seolah meminta maaf karena sudah menyimpan rahas
Read more
Tentang ibu kandung
"Pagi itu, Hendra tak bisa lagi dibangunkan. Rafika histeris, dia menjerit sekuat tenaganya. Dia sampai meraung meratapi kepergian Hendra. Dia sangat takut, takut ditinggal sendirian," cerita Nenek dengan kepala menunduk."Wajar saja kalau Rafika sangat takut ditinggal Hendra. Keberadaannya di rumah ini, tak diinginkan." Bulek ikut bicara. Tersirat ada rasa marah di nada suaranya.Nenek menangis lagi, terisak sambil tetap menunduk dalam, penuh penyesalan. "Maaf Bu. Kita harus cerita semuanya sama Divya," kata Bulek, sambil menggenggam tangan Nenek. Nenek mengangguk, seakan memberi izin pada Bulek untuk melanjutkan ceritanya. Wanita berwajah teduh itu menatapku sayu. "Saat jenazah Hendra akan dimakamkan, Rafika mengalami kontraksi. Dia segera dilarikan ke rumah sakit sama Mas Candra. Waktu itu hanya Bulek yang menemaninya di rumah sakit. Dia melahirkan dengan kepayahan, dokter sudah menyarankan dia untuk dioperasi. Tapi dia bersikeras ingin melahirkan normal. Dia sangat takut dan st
Read more
Siapa R Wulandari?
Aku harus bagaimana sekarang? Setelah mendengar semua cerita Nenek dan Bulek, rasanya aku ingin segera mencari ibu kandungku. Tapi kemana? Nenek sama Bulek tak tau kemana dia pergi. Mau mencari lewat media sosial, bagaimana caranya? Banyak orang yang memiliki nama Rafika, tak ada petunjuk lain selain namanya. Sebaiknya aku bertanya pada Bapak. Barangkali Bapak tau? Ah tidak, kalaupun Bapak tau, dia pasti tak mau cerita. Kuangkat Arsen dalam gendonganku. Aku ingin keluar, azan Ashar sudah berlalu, sebaiknya kumandikan Arsen dulu, baru aku sholat. TINGBaru lagi aku mau membuka pintu kamar, kudengar suara notifikasi pesan masuk di hapeku. Kulihat sebentar notif itu, barangkali penting. Dahiku mengkerut, pesan masuk di messenger dari R Wulandari. Pasti dia ingin bertanya tentang hal kemarin. Bagaimana aku bisa menulis di saat pikiranku sedang kalut begini? Nanti saja lah kulihat pesannya, sebaiknya cepat kumandikan Arsen dan langsung sholat Ashar. Baru lagi keluar dari kamar, aku be
Read more
Ke pengadilan agama
"Nek, mobilnya sudah datang. Divya pamit ya." Aku memeluk dan mencium kedua pipi Nenek. Juga menyalami Bulek Ratmi."Kalau ada apa-apa, langsung kasih kabar. Ingat, kami tetap keluargamu," pesan Nenek seraya mengantarku ke teras. Pak driver yang melihatku sudah keluar dari rumah dengan menggendong Arsen dan tas yang sebenarnya tak seberapa besar, langsung turun dan mengambil alih tas itu. "Pak, tunggu sebentar ya," ucapku."Baik Buk," jawab Bapak itu sopan. "Nek, apa tak ada petunjuk tentang Ibu Divya, Ibu Rafika. Fotonya mungkin. Atau alamatnya yang lama." Aku masih berharap, ada sedikit saja petunjuk mengenai ibuku. Setelah mendengar cerita Nenek, aku berniat mencarinya. Bukan salahnya kalau dia terpaksa meninggalkan aku. Keegoisan dan keangkuhan Kakek yang membuat aku harus terpisah darinya. "Nggak ada sama sekali. Dia lebih banyak diam, tak pernah bicara kalau tak ditanya. Nenek tau, dia sebenarnya merasa sangat tertekan tinggal di sini. Tapi, Nenek saat itu benar-benar nggak
Read more
Kenalan dengan pengacara
"Lebih baik …." Matanya melihat ke arah deretan bangku yang hampir semuanya terisi."Hah, duduk di sana aja," katanya menunjuk pada dua buah bangku kosong."Hayuk cepat, nanti keburu diisi orang." Dengan langkah tergesa dia lebih dulu berjalan dari aku, dibantunya aku membawa tas Arsen. Yang biarpun tak terlalu besar, tapi cukup merepotkan, karena aku sambil menggendong Arsen. "Nah, kan enak udah dapat tempat duduk," katanya lega setelah duduk di bangku itu.Setelah aku duduk di sebelahnya, aku membuka topi Arsen, biar dia tidak merasa gerah, sambil kukipas pelan wajahnya. Meski ruangan ini pakai AC, tapi karena ramainya orang, jadi terasa gerah juga."Waahh, gantengnya. Berapa bulan usianya?" tanya wanita manis ini. "Baru aja tiga bulan, Mbak." "Ah, jangan panggil Mbak. Panggil aja Ibu atau Bunda. Kayaknya kamu jauh lebih muda dari saya," katanya ramah sekali. "Ah masak sih Bu, kayaknya Ibu masih muda," ucapku bukan sekedar basa basi. Walaupun dia nampak matang, tapi wajahnya te
Read more
POV Satria – Pulang ke Kalimantan
POV SatriaHuft, aku bingung mau melanjutkan langkahku sekarang. Bimbang melanda hati, di kala memutuskan untuk kembali ke Kalimantan. Tapi aku juga tak sanggup bila terus menghadapi kemarahan Kak Divya. Aku ingin lepas dari bayang-bayang Bapak, yang sebenarnya bukan Bapak kandungku. Tapi untuk saat ini, aku juga tak tau mau kemana. Kuliah pun belum selesai. Tinggal semester akhir. Sepertinya aku harus bersabar untuk beberapa waktu lagi, hingga kuliahku selesai. Baru aku memutuskan pergi sejauh mungkin, untuk lepas dari bayang-bayang Bapak. Lusa, aku akan masuk kampus lagi, setelah libur yang lumayan panjang.Sedang apa Kak Divya sekarang? Apa dia sudah membaca isi suratku? Seperti apa reaksinya setelah membaca surat itu? Bahkan sekarang, aku tak lagi berani menghubunginya.Kulangkahkan kaki dengan gontai menuju ke pelataran bandara, setelah cukup lama duduk termenung di lobby bandara. Aku telah sampai di sini, sejak sejam yang lalu. Tapi kakiku terasa berat untuk melangkah kembali k
Read more
POV Satria – Santet salah sasaran
"Kenapa emangnya Mas?" selidikku. Tak biasanya dia bersikap begini.Aku tau sih, Mas Bagus orangnya sekarang cenderung pemurung, tak seperti dulu, saat sebelum dia mengetahui kalau Mbak Sinta bermain api di belakangnya. Walaupun Mbak Sinta beralasan, dia terpaksa melakukan itu, karena tergiur dengan janji Bima yang akan menaikkan jabatan Mas Bagus menjadi mandor di kebun.Dulu, Mas Bagus orangnya sangat humoris. Kalau kata anak sekarang, gokil. Ada saja bahan banyolannya yang bikin orang tertawa. Aku sudah sangat lama mengenalnya, bahkan saat aku masih Sekolah Dasar. Sebab itu, hubungan kami bisa dibilang sangat akrab. Walaupun kami terpaut usia yang cukup jauh, namun tak menjadi penghalang, untuk kami bisa memahami satu dan yang lainnya. Mas Bagus terduduk lesu di bangku rotan yang ada di teras rumah. Seperti ada yang sedang dia pikirkan. Selama ini, Mas Bagus sangat terbuka padaku. "Sebentar Mas. Saya buat kopi dulu. Saya mandi sebentar ya, belum sholat Ashar juga," kataku. Dia ha
Read more
POV Divya – Surat dari Satria
Astaga, aku ketiduran. Untung Arsen tidak jatuh dari tempat tidur. "Em, anak soleh Bunda. Baik budi sekali. Tau Bunda capek ya? Arsen jadi nggak nakal ya." Aku mengajak Arsen berceloteh sambil mencubit gemas pipinya, dia malah tertawa lebar. Kulihat jam yang ada di dinding kamarku, sudah sore. Aku belum sholat Ashar. Cepat aku bangkit, lalu mencepol asal rambutku. Kugendong Arsen. Untuk kumandikan terlebih dahulu. Ada banyak kertas koyak di bawah badan Arsen. Astaga, aku baru teringat dengan surat dari Satria. Kini bentuknya sudah tak karuan. Aku tadi hanya meletakkannya di atas kepala Arsen. Sebelum akhirnya aku ketiduran. Kuambil dan kuperhatikan setiap robekan kertas. Bagaimana cara membacanya kalau sudah begini? Huft.Nanti sajalah kupikirkan. Kukumpulkan setiap bagian kertas yang robek itu, pasti ulah Arsen ini. Aku menilik bagian dalam mulut Arsen, takutnya dia memasukkan bagian kertas yang robek ke dalam mulutnya. Bersih, tak ada kertas di mulutnya. Uh, cerobohnya aku. Kenap
Read more
Bapak kembali
Ya Allah. Jangan biarkan dia bisa masuk ke kamarku. Adrenalinku terpacu dengan sangat kencang. Jantung rasanya berdebaran tak karuan, tanganku mulai berkeringat dingin. Cepat kuambil Arsen ke dalam gendonganku. Jangan sampai Arsen takut mendengar suara pintu yang berusaha dibuka paksa itu."Divya! Kamu di dalam?" Suara Bapak. Fiuh, berangsur aku bisa bernafas lega. Ternyata bukan Mas Bima yang datang."I–iya Pak," sahutku. Kuatur nafasku perlahan, agar irama jantungku kembali beraturan. Baru aku bangkit, untuk membuka pintu."Kenapa tak bilang, kalau mau pulang? Kan, bisa Bapak jemput," kata Bapak begitu aku menampakkan wajah di hadapannya. Masih seperti dulu, tetap perhatian padaku."Divya tadi langsung ke pengadilan agama, Pak," kataku. Bapak mengambil Arsen dari gendonganku. Kelihatan sekali dia kangen pada cucu semata wayangnya."Apa tak bisa lagi diubah keputusanmu?" tanya Bapak sembari duduk di sofa. Aku juga duduk di sofa yang lain. "Divya nggak bisa memaksakan hati Divya lagi
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status