All Chapters of IBUKU PELAKOR: Chapter 51 - Chapter 60
98 Chapters
Om Barri meninggal
"Sudah kamu suruh pulang ibumu?" tanya Kakek pada cucu Om Barri yang kembali masuk ke kamar."Sudah Kek," kata anak itu. Dia mendekati Om Barri lalu membuka kancing baju bagian depan Om Barri.Nafas Om Barri semakin tersengal, kami tak tau harus berbuat apa. Terutama aku, yang hanya bisa berdiri melihat kondisi Om Barri yang ngedrop.Cucu Om Barri mengambil kayu putih yang ada di atas nakas di samping tempat tidur berdampingan dengan banyaknya obat-obatan Om Barri. Diolesnya minyak kayu putih di sepanjang dada Om Barri. Om Barri berusaha keras untuk bisa memompa oksigen di paru-parunya."Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," kata Bapak. Om Barri menggeleng lemah."Bar, nggak mungkin cuma didiamkan begini. Kamu perlu ditangani oleh dokter," kata Bapak, tapi Om Barri tetap menggeleng seperti tak mau kalau dibawa ke rumah sakit. "Saya sudah menghubungi Dokter Budi, Kek. Dia dokter yang menangani Kakek. Mungkin sebentar lagi sampai. Tempat prakteknya nggak jauh dari sini," kata cucu Om Ba
Read more
Ternyata Rafika pulang
Kak Mala tampak tak bisa menegakkan kepalanya di hadapan Bapak. Seperti menanggung beban malu yang teramat besar. Apa ya, yang sudah diperbuat Om Barri di masa lalu? "Semua sudah terjadi. Barri juga sudah meninggal. Om maafkan dia," kata Bapak. Namun aku merasa tersirat kesedihan yang mendalam di kalimat Bapak. "Terima kasih Om, Mala sebenarnya malu. Ibu juga sakit karena hal ini. Sejak tau hal itu, Ibu jadi bersikap dingin sama Bapak. Mungkin karena terlalu sedih, Ibu jadi sering sakit-sakitan. Dulu, Mala juga nggak tau, kenapa Ibu jadi bersikap lain sama Bapak. Mala baru mengerti semua, setelah Bapak meminta Mala menulis surat ini." Kak Mala berbicara dengan sangat hati-hati sekali. Bapak menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan kuat. Kulihat tangannya meremas kuat surat itu. Bapak seakan menahan emosi yang tak bisa diluapkan. Pak, jangan disobek suratnya, Divya belum baca. "Om, mengenai Tante Rafika. Sebelum dia meninggalkan rumah ini. Tante Rafika pernah bilang, dia sangat
Read more
Buku harian Rafika
Sampai di kamar, aku duduk bersandar di kepala tempat tidur. Kubuka perlahan, lembaran buku harian ibuku dengan jantung yang berdebar-debar.Lembaran pertama dia menulis kata. RINDU INI SUNGGUH MENYIKSA. Dadaku sesak membacanya. Aku sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Aku bisa merasakan, betapa sakit hati seorang Ibu saat harus dipisahkan dengan anak kandungnya. Lembaran kedua, kubuka dengan lebih hati-hati. Buku ini sudah lumayan lama ditinggalkan pemiliknya. Bahkan ada beberapa lembarannya yang lengket. Kalau tak hati-hati membuka lembaran nya, pasti akan sobek. Menurut cerita Bapak dan Kak Mala. Ibu hanya tinggal satu tahun lebih di sini. Lalu pergi entah kemana. Mungkin dia terburu-buru hingga buku ini tertinggal. Isi lembaran kedua, dan seterusnya menggambarkan betapa rindunya dia padaku. Mataku terus berkaca-kaca membaca setiap tulisan tangan ibu yang ditulis dengan rapi.Lembaran berikutnya lebih menyesakkan dadaku. SELAMAT ULANG TAHUN SAYANG. MAAF BUNDA NGGAK BISA MENEMANI
Read more
Siapa sebenarnya anak Pak Danu?
Wajahnya merasa heran melihatku. "Boleh. Tapi nggak bisa lama-lama ya," katanya. Ini lah sosok Buk Niken yang kukenal dulu. Orangnya memang ramah, makanya agak aneh melihat dia yang mengamuk waktu itu."Nggak papa ya, kita ngobrolnya berdiri saja. Agak ke pinggir situ aja yuk," ajaknya. Caranya bicara padaku, seolah tak pernah ada masalah di antara keluarga kami."Apa yang kamu tanya?" tanyanya langsung padaku, setelah kami agak menepi agar tak mengganggu orang yang lewat."Ini mengenai pertengkaran Ibuk sama Ibu saya waktu itu," kataku. Sebenarnya terdengar tak sopan ya, mengulik hal yang sudah ditutup lama. "Hm, iya. Ada apa rupanya?" "Buk, saya penasaran dengan kata-kata Pak Danu waktu itu? Apa yang dimaksud anak Pak Danu itu, Satria?" tanyaku, hati-hati sekali. Aku takut, Buk Niken akan tersinggung."Bukan." "Lalu siapa?" tanyaku, dahiku mengkerut. Padahal aku sudah yakin benar, kalau Satria adalah anak Pak Danu. Kalau bukan, lalu siapa? Ah, kepalaku jadi pusing memikirkannya.
Read more
Surat Om Bari
Sudah malam, tapi mataku masih tak mau dipejamkan. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik, yang saling sahut bersahutan. Kulihat jam di dinding kamarku, sudah jam sembilan malam.Aku bangkit, mungkin diluar akan membuatku sedikit rileks. Ya aku sangat gelisah. Tak bisa tidur memikirkan semua yang terjadi. Belum ada kepastian, siapa sebenarnya anak Pak Danu. Kalau bukan Satria, kenapa Bapak diam saja, saat aku menduga kalau Satria lah anak Pak Danu?Kubenahi selimut Arsen sebelum aku keluar dari kamar. Kuambil gawaiku dari atas nakas. Aku belum cek ulang lagi statusku yang share foto-foto tulisan tangan Bunda di diarynya. Tadi saat baru pulang, aku sudah cek tapi belum ada komentar yang bisa jadi petunjuk. Sebagian besar komentarasuk adalah mendoakan semoga aku cepat bertemu Bunda. Dan aku aminkan, bukan hanya lewat ketikan ibu jariku. Tapi juga hatiku. Sambil keluar dari kamar, aku melihat gawaiku. Langkah kakiku menuju ke teras rumah. "Aduh!" Karena tak melihat j
Read more
Bapak cerai dari Ibu
Bapak menarik nafasnya. "Yah, kamu benar. Ibumu sudah terlalu jauh, Bapak tak bisa lagi memberi nasehat padanya. Dia terus menyalahkan Bapak atas semuanya. Tadi Bapak sudah bicara sama Ibu. Bapak akan menceraikan dia, dan dia sudah bisa menerima," kata Bapak.Jujur saja, aku lega mendengarnya. Akhirnya Bapak bisa mengambil sikap. Bukan aku berpikir kejam pada Ibu karena sudah tau dia bukan ibu kandungku. Tidak. Aku hanya tak mau, Bapak dan Ibu terus saling menyakiti dalam diam. Aku juga tak mau Bapak tak bisa lagi mengontrol emosinya seperti malam itu. Terus berpura-pura di depan masyarakat, berlagak harmonis padahal menyimpan bara di dalam rumah tangga mereka."Pasti ada syarat yang harus Bapak penuhi kan?" tanyaku. Aku jadi ingat dengan pembicaraan Bapak sama Ibu beberapa hari lalu. "Ya, ibumu minta semua harta dibagi dua. Sebenarnya Bapak nggak setuju, karena sebagian adalah hak kamu. Milik Hendra. Tapi Bapak yang mengelola semua, karena Hendra udah nggak ada. Lagipula, sebagian k
Read more
Apakah ada petunjuk?
Bapak memanggilku dari depan pintu kamarnya. "Itu pintu kok nggak ditutup?" Aku langsung melihat pintu rumah yang masih terbuka lebar. "Hehe, lupa Pak," jawabku. Bapak mendengus melihatku yang cuma nyengir. Cepat kututup dan kukunci pintu ruang utama, lalu segera masuk ke kamarku. Mataku belum mengantuk banget, sambil rebahan aku kembali ke rencana awal tadi, mau ngecek postinganku di grup menulis kemarin. Huft, belum ada petunjuk juga. Sebagian besar komentar berisi doa agar aku bisa segera dipertemukan dengan Bunda. Setiap doa yang baik tetap kuaminkan. Kemana lagi harus mencari bundaku? Tak ada lagi petunjuk tentangnya. Ah lebih baik aku membaca novel Anakku Sayang Anakku Malang milik R Wulandari. Dahiku berkerut. Kisahnya kali ini tentang Dewi yang berusaha mencari keberadan ibu kandungnya sampai ke kota Jakarta. Dewi tak menemukan ibunya, hanya mendapatkan sebuah diary milik ibunya. Hei, kenapa ceritanya mirip dengan yang kualami?Cepat aku beralih ke aplikasi bergambar pet
Read more
Apakah R Wulandari adalah Rafika?
"Sudah Pak?" tanyaku tak sabar ketika kulihat Bapak menutup diary Bunda sambil mengerjapkan matanya berulang kali. Aku tau, Bapak sedang berusaha tak menangis.Tanpa menunggu jawaban dari Bapak. Kuserahkan hapeku ke tangannya. "Bapak baca ini," kataku sambil menunjukkan bab terbaru dari R Wulandari. Jantungku masih berdebaran seperti tadi. Aku terus melihat Bapak, menunggu reaksinya setelah membaca bab terburu dari novel R Wulandari.Bapak melihatku. Aku mengangguk. Apakah yang kami pikirkan sama? "Kamu tau ini darimana?" tanya Bapak."Dari aplikasi menulis Pak," jawabku. "Bagaimana cara menghubunginya?" tanya Bapak. Bapak terlihat antusias, sama sepertiku, yang ingin tau, siapa sebenarnya R Wulandari?"Divya sering messengeran sama dia. Dia nggak mau kasih nomor hapenya. Padahal udah Divya minta," keluhku dengan bibir manyun."Coba hubungi lagi. Kita harus ketemu sama dia," titah Bapak."Sudah Pak." Aku mengambil hapeku dari tangan Bapak, lalu menunjukkan pesan terakhirku buat R W
Read more
Sampai di Kalimantan
"Um … Abang sedang repot hari ini," ucapnya, terkesan enggan memenuhi janjinya padaku untuk menemui R Wulandari. "Ya udah. Hari Minggu ya. Deal," kataku langsung, tepat saat makanan yang kami pesan datang. Aku tak mau lagi menunda-nunda. Aku ingin memastikan, apakah R Wulandari adalah bundaku?Laki-laki berkacamata di hadapanku kelihatan sekali bingung. Raut wajahnya tak bisa bohong. Kenapa sih, dia harus keberatan kasih tau rumah Bunda? "Ok, kita makan dulu. Nanti lagi ngobrolnya," kata Bapak. Makanan yang kami pesan sudah datang, diantar oleh dua orang waiters. "Iya nih, aku udah laper," kataku. Kuabaikan ekspresi Bang Dion yang mendadak jadi diam. Maaf Bang, tapi aku harus secepatnya ketemu R Wulandari. Kami makan dengan khidmat. Bang Dion yang biasa selalu menghidupkan suasana, kini diam saja. Bahkan tampak tak berselera, tapi terpaksa juga dia menghabiskan makanannya. Aku dan Bapak berulang kali saling melirik. Mungkin Bapak juga menyadari perubahan Bang Dion. Ada apa seben
Read more
Bertemu Sinta
Bertemu SintaUsai menyusui dan menidurkan Arsen, aku dan Kak Sam berjalan kaki saja ke warung. Kak Sam juga sudah selesai memasak daun katuknya, saat menungguku tadi. Kak Sam ternyata orangnya cukup cekatan. Aku baru beberapa kali saja ketemu Kak Sam. Karena memang nggak terlalu sering ke sini. Bapak belum mau kemana-mana. Mau menunggu Satria di rumah. Makanya Arsen bisa kutinggal. "Nggak banyak yang berubah, ya Kak," kataku sambil melihat-lihat wilayah perkebunan. "Namanya di kebun Mbak, jarang ada pembaruan. Kalau di kota, baru banyak perubahan." "Iya juga ya. Tapi makin ramai kayaknya Kak?" Aku melihat setiap rumah semua ada penghuninya. Gak ada yang kosong."Iya Mbak. Apalagi kalau sore, rame anak-anak main. Kalau jam segini, pada sekolah," kata Kak Sam. "Wah, pasti seru. Dekat rumah Bapak di Medan, malah udah nggak banyak anak-anak main. Pada main hape aja di dalam rumah." "Iya Mbak. Kalau malam, orang tuanya juga suka ngumpul, habis Isya. Biasa nya setelah anak-anak pulan
Read more
PREV
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status