Semua Bab Dendam Kuntilanak Merah: Bab 21 - Bab 30
56 Bab
21. Kegundahan Sanusi
Selama satu minggu Sanusi merahasiakan peristiwa itu. Dia tidak berani menceritakan kejadian yang hingga kini membuat bulu kuduknya berdiri, kepada siapa pun termasuk istrinya.Di dalam hati Sanusi, ada perasaan bersalah yang menyerang sanubari baiknya. Namun di sisi yang lain, dia takut sekali jika nanti pada akhirnya dia yang akan disalahkan oleh orang lain.Pekerjaan Sanusi menjadi tidak beres. Ada saja yang terlalai. Makannya pun tak enak, tidur pun menjadi tak lelap. Sanusi serba salah. Hendak mengadu, tapi kepada siapa? Dia benar-benar hilang akal.Satu-satunya orang yang bisa diajak diskusi saat ini ialah Ujang, asisten pribadinya yang sejak beberapa hari lalu memberikan tatapan penasaran. Mungkin karena Uajng mendapati si kepala kampung berperilaku tidak seperti biasanya: menjadi pemurung dan lebih sering melamun di belakang meja kerjanya."Ujang." Sanusi berkata ragu-ragu.Ujang yang sedang merapikan berkas-berkas berisi laporan para warga desa, meninggalkan pekerjaannya lalu
Baca selengkapnya
22. Mencari Keberadaan Pakdo Ramli
"Kalau Bapak mau, saya akan menemani Bapak ke sana." Ujang mengangguk mantap.Meski penakut, Ujang ialah asisten yang setia. Demi melihat bosnya tidak bergundah gulana lagi, pemuda itu bersiap melawan rasa ketakutannya.Bagi Ujang seorang pemimpin desa haruslah dalam keadaan sehat jiwa dan raga. Sedangkan kondisi Sanusi sekarang, tidak mengarah ke sana. Beberapa kali Sanusi salah menandatangi berkas-berkas warga. Beberapa kali Ujang mengoreksinya. Ujang tidak mau hal ini terus-terusan terjadi dan ujung-ujungnya dia juga yang ikut kesusahan.~AA~Untuk kedua kalinya, Ujang ke tempat itu. Gubuk Pakdo Ramli yang kini terlihat lebih menyeramkan. Halaman yang dulunya tidak dtumbuhi rumput liar, kini pagarnya telah dirambati tanaman menjalar yang memiliki bulu-bulu halus pada daun serta seluruh batangnya.Sanusi dan Ujang saling pandang. Tempat itu kini benar-benar seperti bangunan tak berpenghuni. Semakin menyeramkan."Bapak cek saja dulu ke dalam. Mungkin Pakdo Ramli sedang semedi atau mel
Baca selengkapnya
23. Keris Berlekuk Tiga
Pukul sembilan pagi. Kali ini Sanusi yang mengayuh sepeda dan Ujang yang duduk manis di boncengan belakang. Terakhir kali kaki Ujang keseleo akibat terburu-buru mengendarai sepeda ontelnya meninggalkan kediaman Pakdo Ramli yang tidak lagi berpenghuni. Tentu dengan kondisi pergelangan kaki yang cidera seperti itu, Ujang tidak mungkin membawa beban yang lebih berat dari berat badannya sendiri.Sebab jarak antara rumah Sanusi dan pohon beringin keramat tidak begitu jauh letaknya, Sanusi mengayuh sepeda pelan-pelan saja. Waktu yang dia butuhkan hanya tiga puluh menit untuk mencapai tempat itu.Udara lembab. Tadi subuh hujan deras membasahi bumi. Terlihat masih ada sisa-sisa buliran air pada daun-daun di kanan-kiri jalan yang mereka lewati. Seharusnya jika tidak ada peristiwa tidak menyenangkan di desa, pastilah suasana hati mereka menjadi menyenangkan. Namun, semenjak desa ditimpa berbagai kemalangan, pemandangan asri, udara sejuk, tidak lagi berhasil mengusir kegundahan dari benak dan per
Baca selengkapnya
24. Sebongkah Hati yang Patah
Seketika tubuh Sanusi lemas bagai kehilangan tulang. Apalagi tak jauh dari ikat kepala itu, terdapat sebelah sandal jepit Pakdo Ramli. Kuat dugaan mereka, dukun itu terjatuh ke dasar jurang yang di bawahnya terdapat sungai berarus deras.Kaki Sanusi tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Dia jatuh terduduk. Ujang yang melihat, segera mendekat.Dengan bibir bergetar Sanusi berkata, "Bagaimana ini, Jang? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku menjelaskan pada Mak Hasnah tentang pencarian anaknya? Sedangkan satu-satunya orang yang bisa membantu kita, malah ... malah menjadi korban, Jang.""Mari kita pulang dulu, Pak. Lebih baik kita pulang saja. Kita bicarakan lagi setelah kita di rumah." Ujang menenangkan.Bersusah payah Ujang membantu si kepala kampung berdiri, lalu pemuda itu menggotong bahkan sesekali menyeret tubuh menggigil Sanusi ke arah sepeda yang terparkir.~AA~Seorang wanita melamun terbingkai dalam jendela kamarnya. Rutinnya masih sama, menerawang menatap ke arah area p
Baca selengkapnya
25. Gadis Indigo
Tiga puluh tahun kemudian ....Seorang pelajar berseragam putih abu-abu turun dari angkutan kota berwarna merah. Setelah membayar ongkos pada pak sopir, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sorot matanya berhenti pada sebuah warung makan di seberang trotoar tempat dia berdiri tercenung.Nama siswi itu ialah Gadis. Dia punya janji temu dengan Nopi, sepupunya. Nopi bilang akan mentraktir Gadis makan mi ayam bakso di warung yang sedang ramai diperbincangkan orang-orang. Kata Nopi lagi rasa mi ayam di situ enak sekali, sehingga selalu ramai oleh pengunjung.Memang benar, suasananya ramai. Sampai-sampai tidak ada lagi kursi yang kosong. Bahkan beberapa orang rela berdiri di teras warung untuk mengantre makan di situ.Itu sebabnya Nopi tiba di sana lebih dulu untuk mendapatkan tempat, supaya Gadis tidak terlalu lama menunggu. Gadis bermata sipit berkulit putih itu tentu letih sehabis pulang dari sekolah."Gadis!" Nopi, memiliki rambut bergelombang sebahu berpostur tomboi, melambai-lambai
Baca selengkapnya
26. Permintaan Nopi
Gadis bersiap-siap ketika pocong tersebut hendak melompat ke meja mereka. Kedua tangan Gadis serta-merta menutupi kedua mangkuk di hadapannya saat pocong itu ingin meludahi mangkuk-mangkuk bakso mereka. "Heh, pergi!" desis Gadis agak menghardik.Sosok pocong sejenak berhenti, seperti heran ada seseorang yang bisa mengetahui aksi dan keberadaannya.Nopi yang memperhatikan perilaku Gadis yang tak biasa, mengusap tengkuknya yang mendadak merinding. Apalagi ketika Gadis menyipitkan mata pertanda tak senang sembari mendongak menatap plafon ruangan yang terlihat kosong.Sosok pocong akhirnya melompat ke meja yang lain, meludahi tiap mangkuk-mangkuk bakso yang masih mengepulkan asap."Makanlah," perintah Gadis, "sudah gak apa-apa, kok.""Yakin gak apa-apa?" Nopi malah ragu.Gadis tergelak, lantas meraih sendok dan melakukan suapan pertama sebagai bukti ucapannya.Nopi tentu meniru. "Ah, rasanya biasa aja. Malah hambar," keluhnya. "Masih enak bakso Bang Ujang langgananku tiap ke rumah Kak Dani
Baca selengkapnya
27. Pohon Beringin Angker
Minggu siang yang terik dan berdebu. Di dalam mobil Avanza hitam, Gadis duduk termangu di bangku penumpang. Di sebelahnya, Nopi menyandarkan kepala ke bahu Gadis sembari terpejam.Hampir satu jam mereka menempuh perjalanan. Kata Teh Reni yang sejak tadi berceloteh di bangku depan, sebentar lagi mereka akan tiba di desa tujuan, Desa Kumpeh.Gadis sendiri cukup menikmati pemandangan yang terpampang di kiri jalan. Pepohonan rimbun menyejukkan mata, sangat jarang dia temui di sekitar rumahnya. Apalagi sekarang lagi musim buah duku. Buah yang kulitnya berwarna cokelat muda itu banyak sekali dijajakan di tepi-tepi jalan, dan itu menggiurkan bagi Gadis. Sepulang nanti dia berniat akan meminta Teh Reni mampir dulu membeli buah duku untuk ibunya di rumah.Mobil Avanza mulai melaju perlahan ketika memasuki jalanan belum beraspal. Permukaannya masih berupa berbatuan kasar berpadu tanah merah yang diratakan secara asal.Entah kenapa saat memasuki area ini, Gadis merasakan atmosfer yang berbeda, te
Baca selengkapnya
28. Bakso Ujang
Mereka berdua berjalan kaki sekitar lima belas menit, lalu tiba di simpang tiga dekat pangkalan ojek. Warung bakso Bang Ujang yang dimaksud Nopi hanya warung sederhana. Bangunan itu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter persegi, hanya dikelilingi terpal biru dan beratap seng.Pria berusia lima puluhan menyambut mereka ramah. Badannya kurus, tampilannya seadanya. "Nak Nopi ke sini lagi?""Iya, Bang." Nopi mengangguk sopan sembari tersenyum. "Bang, kami pesan dua mangkuk bakso, ya. Minumnya air putih aja.""Siap, Nop." Ujang segera meracik pesanan para gadis itu.Gadis mengambil tempat duduk di bangku panjang sebelah Nopi. Badannya dicondongkan sedikit ke arah sepupunya itu sembari berbisik, "Kenapa kamu panggil 'Abang', tampilannya lebih tua dari dugaanku." Gadis protes. Tentu Nopi tergelak."Karena orang-orang sini memanggilnya begitu. Aku cuma ikutan aja."Tak lama, datang pengunjung lain, seorang ibu-ibu yang juga berjalan kaki seperti mereka. Tampaknya ibu-ibu itu juga menge
Baca selengkapnya
29. Mata Batin Gadis
Gadis dan Nopi melangkah pelan-pelan menuju kembali ke tempat di mana Teh Reni tengah menunggu mereka. Perut kedua gadis itu kini terasa kenyang, mata mereka pun menjadi mengantuk. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berembus yang menerpa wajah mereka."Nopi kenal Bang Ujang udah lama, ya?" Tiba-tiba Gadis melemparkan tanya.Meski merasa heran, Nopi mengangguk sembari menjawab, "Dulu Bang Ujang berjualan bakso berkeliling sampai ke rumah Kak Dani. Tapi sekarang dia mangkal di warung yang tadi.""Oh ....""Kenapa, Dis?"Gadis menggeleng. "Gak apa-apa. Feeling-ku bilang kalau Bang Ujang mengetahui sesuatu. Cuma kayaknya dia sengaja merahasiakannya.""Mengenai apa?" Nopi masih belum mengerti. "Sikap Bang Ujang memang kayak gitu kalau ketemu orang baru." Bahu Nopi mengedik."Perihal kebun Teh Reni yang kata warga sini angker itu, lho." Gadis memutar bola matanya. "Masak kamu gak paham, sih?""He-he. Abis aku cuma fokus makan bakso aja. Keburu lapar." Nopi nyengir.Selebihnya Gadis memilih dia
Baca selengkapnya
30. Lubang Misterius
Makhluk merah tersebut kemudian menyeret si perempuan berkebaya ke dalam sebuah lubang menganga di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, Gadis berlari menyusul. Sayangnya dia kalah cepat. Makhluk besar menyeramkan dan juga perempuan berkebaya merah yang diseretnya telah menghilang ke dalam lubang yang kini berubah menjadi gundukan sarang semut.Puas Gadis berkeliling untuk memastikan dan mencari lubang yang kira-kira berdiameter dua langkah kaki orang dewasa itu, tetapi matanya hanya menangkap gundukan setinggi lutut serta rerumputan ilalang yang mengelilingi lagi gersang sehabis disiram menggunakan racun rumput oleh para tukang yang diupah Teh Reni.Nopi yang terheran-heran melihat kelakuan Gadis tak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak menyusul. Nopi tidak mau terjadi sesuatu kepada sepupunya itu sebab dia yang membawanya ke sini."Gadis kenapa?" Nopi terengah-engah sehabis berlari.Gadis tidak menjawab. Dia masih mondar-mandir berkeliling mencari sesuatu. Namun, tak lama Gadis berh
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status