All Chapters of Dendam Kuntilanak Merah: Chapter 41 - Chapter 50
56 Chapters
41. Mencari Surti
Sepanjang jalan Nopi tak henti-hentinya mengingatkan kepada Gadis untuk tidak terlalu ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain. Meski agak kesal, tetap saja gadis tomboi itu menurut untuk mengantarkan sepupunya itu ke rumah Ujang sore ini."Kamu kenapa jadi gini, sih, Dis? Segala kunti mau dicari? Ah, elah ...." Suaranya berbaur dengan mesin motor metic yang dikendarainya. Jalanan sepi, hanya beberapa motor dan mobil saja yang berpapasan dengan mereka.Gadis tersenyum geli sembari memeluk erat Nopi dari belakang. Sepupunya itu melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan kencang untuk mengejar waktu. Sebab jarak yang ditempuh lumayan jauh.Gadis sempat menghubungi Teh Reni, berharap perempuan itu mau mengantarkan. Namun, Teh Reni punya pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."Soalnya Surti punya info penting, Nop. Kalau kita tau alamat Pakdo Ramli, kan, kita gak perlu menunggu kabar dari Pak Sanusi lagi." Gadis membela diri. "Lagian, entah kenapa aku yak
Read more
42. Permintaan Menur
Nopi melajukan motornya pelan-pelan di belakang sepeda ontel yang dikendarai Ujang. Mereka bersama-sama menuju ke rumah pria itu.Setiba di rumah Ujang, azan magrib berkumandang. Gadis sempat melirik ke pohon kantil yang berada di persimpangan jalan. Namun, tempat itu kosong. Dia sama sekali tidak melihat Surti. Entah itu sekelebatan daster putihnya yang kumal, atau pun rambutnya yang menjuntai hingga ke bawah. Ke mana perginya makhluk itu?"Masuk dulu ke dalam, tampaknya hari mau hujan." Ujang menatap ke langit abu-abu berpadu pekat, lalu mendahului masuk ke rumah.Wati menyongsong ke depan, "Eh, ada tamu." Dia tersenyum ramah. Semenjak Hasnah menjadi bisa berbicara dan kembali riang, sejujurnya Wati jadi menyukai Gadis. Dia senang sekali tiap Gadis mengunjungi rumahnya."Iya, Kak." Nopi menjawab ramah.Mereka berdua masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Benar saja, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya."Yah ... gimana ini? Mana aku gak bawa mantel, Dis." Nopi memandang buliran-bulir
Read more
43. Gadis Hampir Celaka
Tetes-tetes air pada dedaunan pohon kantil bak irama tersendiri di telinga Gadis. Dinaungi payung kuning bermerek sebuah pabrik kopi yang ternama di Kota Jambi, dia meneduhkan diri.Gadis mendongak, matanya terus saja mencari-cari keberadaan Surti di antara cabang-cabang pohon yang rindang. Namun, kuntilanak itu tidak berada pada tempat tinggalnya.Lima belas menit lalu Gadis sempat berdebat dengan Nopi. Sepupunya itu melarang Gadis untuk tidak tetap nekat keluar rumah berbasah-basahan seperti ini. Namun, pada akhirnya Nopi menyerah. Dia sama sekali tidak pernah menang jika mendebat gadis bermata sipit yang dinilainya sangat keras kepala. Nopi akhirnya membiarkan Gadis pergi sendiri, tetapi dengan syarat tidak boleh terlalu jauh dan masih bisa terlihat olehnya yang terus mengawasi dari jendela rumah Ujang.Gadis resah. Dia sungguh gelisah dikejar waktu. Dia tidak punya petunjuk apa pun untuk melakukan yang terbaik selain ini. Ck! Gadis merutuki diri. Kenapa di saat genting seperti ini
Read more
44. Gadis Ketakutan
Gadis berbalik, menatap ke seberang sana. Makhluk merah sudah tidak ada. Mungkinkah dia semakin marah dan malah memburu Surti? Ah, Gadis takut sekali."Kamu gak apa-apa? Apa yang terjadi?" Nopi mengulang tanya.Gadis menggeleng. Dia tidak mau membuat sepupunya semakin cemas. Yang lebih ditakutkannya, Nopi jadi melarang dan menentang mati-matian agar Gadis tidak menyelesaikan masalah ini.Melihat kondisi Gadis yang basah kuyup, Wati segera berlari ke kamar, lalu keluar lagi dengan handuk dan baju kaos di tangannya."Masuklah dulu. Ganti pakaianmu dengan ini." Wati menyodorkannya ke Gadis. "Nanti kau masuk angin.""Makasih, Kak." Gadis menerimanya dengan tangan bergetar, langsung menuju kamar Hasnah untuk berganti pakaian.Tiga orang telah menantinya di kursi tamu dengan raut cemas dan tak sabar. Tentu saja, siapa pun yang punya mata bisa melihat kondisi Gadis yang tidak biasa: ketakutan, pucat pasi, dan jadi tidak banyak bicara."Sebenarnya kamu lihat apa tadi, Dis?" Nopi merongrong se
Read more
45. Pria Misterius
Pada suatu sore yang mendung, Nopi dan Gadis kembali menjadi penumpang di bangku belakang seunit mobil Avanza hitam. Teh Reni, pengemudinya, meminta kedua gadis itu untuk ikut menemaninya ke kebun.Bukan tanpa alasan, beberapa tukang yang bekerja di sana melaporkan bahwa beberapa hari terakhir, ada seseorang dengan gelagat yang mencurigakan sering datang ke sana. Yang lebih anehnya lagi, orang itu sering menanyakan Gadis pada beberapa pekerja."Orangnya kayak apa, Teh?" Gadis penasaran. Alisnya bertaut. Tatapannya ke jendela mobil yang berembun akibat rintik-rintik air hujan di sepanjang perjalanan."Tukang bilang, orangnya serem, Dis. Bajunya serba hitam. Rambut sama janggutnya putih semua. Gadis kenal?" Teh Reni sesekali melirik ke Gadis melalui kaca spion.Gadis buru-buru menggeleng. Memang benar, dia sama sekali tidak mengenali sosok dengan ciri yang disebut barusan. Secara, Gadis baru pertama kali menginjakkan kaki ke Desa Kumpeh semenjak diajak Teh Reni. Dia tidak punya kenalan
Read more
46. Kembalinya Si Dukun Sakti
Tak lama, "Mungkin Bang Ujang mengenal seseorang dengan ciri fisik yang tadi saya bilang?" Teh Reni menoleh ke Ujang yang duduk di sebelahnya. Kedua tangan pria kurus itu mendekap dada. Sedari tadi dia diam saja menyimak obrolan mereka."Atau bisa jadi seseorang yang ingin mengadakan ritual di pohon beringin?" Gadis menerka.Ujang menggeleng cepat-cepat. "Semenjak diketemukannya mayat seorang pria yang tertancap di pohon itu, tidak ada lagi satu warga pun yang berani datang ke sana di malam hari." Ujang buka suara."Tertancap?" Nopi merinding.Ujang mengangguk. "Abang kira sepupumu itu sudah bercerita?" Dia melirik ke Gadis.Pelajar SMA itu menjawab sekenanya, "Belum waktunya, Bang." Gadis meniru ucapan yang sering Ujang lontarkan, bermaksud untuk bercanda dan menghangatkan suasana. Namun, tampaknya Ujang sedang tidak ingin bergurau. Wajahnya menatap Gadis masam.Nopi segera menyikut sepupunya dan membuat Gadis bilang, "Maaf, Bang. Saya cuma bercanda." Dia menggaruk kepalanya yang tid
Read more
47. Sebuah Rencana
Sepasang betis berotot berjalan tegap melewati rumput ilalang yang tumbuh di kanan-kiri jalan setapak. Pria berpakaian serba hitam-hitam itu menuju pohon beringin yang usianya sudah amat tua. Daunnya rimbun, sulurnya menjuntai hampir ke tanah. Sebagian akarnya bahkan ada yang menyeruak di sela-sela tanah bergambut. Pekat. Gelapnya malam, semakin membuat pohon itu terlihat seram saja.Dari jarak beberapa meter Pakdo Ramli berhenti. Bibirnya komat-kamit merapal mantra. Dukun itu memutuskan untuk segera bertindak sebelum malam satu Suro yang akan datang di esok hari.Menurutnya di malam itu, makhluk merah penguasa pohon beringin wingit akan semakin besar kekuatannya. Tentu akan semakin sulit untuk mengalahkan makhluk merah tersebut."Kita harus cepat bertindak," kata Pakdo Ramli ketika mereka semua sudah berkumpul di rumah Ujang, setelah perjumpaan mereka tadi yang secara mendadak. "Pada malam satu Suro, kekuatannya akan bertambah. Aku tak yakin ilmu yang kumiliki selama ini, bisa menand
Read more
48. Taktik
Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa
Read more
49. Pembebasan Menur
Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per
Read more
50. Pertarungan Sengit
Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status