All Chapters of Pernikahan Sepuluh Juta: Chapter 11 - Chapter 20
23 Chapters
Bab 11. Ben Macam-Macam Padaku!
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya
Read more
Bab 12. Jangan Sentuh Aku Ben!
Aku menarik tanganku dengan kasar, akan tetapi cekaman pria itu terlalu kuat. “Ben!” Aku kembali teriak kencang.“Di sana hujan, lihat kamu basah! Siapa yang mau macam-macam sama kamu?” Ben melepas genggamannya. Dan aku kembali menjauh dari Ben. “Jika kamu macam-macam aku beneran potong jari kelingkingmu!” Gerahamku mengigit kuat-kuat, kedua tanganku bertumpuk di dada dengan tubuh gemetar. Kini aku tidak lagi merasakan kedinginan tapi juga ketakutan luar biasa. “Ya ampun, aku tidak macam-macam. Cuma kamu sini…disitu basah,” jawab Ben. Aku terdiam, dan Ben masih memandang diriku yang berdiri yang berjarak dua meter.Kilat menyambar kembali bersama dengan suara petir menggelegar. Aku semakin ketakutan. Ben kemudian mudur beberapa langkah. “Berteduhlah!” Aku kemudian berpindah tempat hingga air hujan tidak membasahi tubuhku. Aku melirik Ben sekilas, pria itu masih tampak memperhatikan aku. Lalu Ben melepas jaketnya dan dilempar tepat mengenai wajahku. Aku sedikit tersinggung, namun
Read more
Bab 13. Dokter Kandungan
Dua hari sebelum lamaran aku mengalami masalah. Aku terus muntah-muntah dan mengalami sakit kepala luar biasa. Padahal besok pagi aku harus berangkat ke Malang untuk mempersiapkan acara lamaran. Malam itu tepat pukul sembilan malam ketika aku masih jongkok di kamar mandi, suara ketukan pintu memaksaku untuk menerima tamu dengan kondisi kepayahan. “Kamu sakit?” tanya ketika pertama kali melihatku di balik pintu. “Tidak.”“Pucat sekali?” Ben terus memandangku. Mungkin dia heran dengan tampilan rambutku mirip singa jantan dengan kulit bibir kering. “Aku…” Rasa mual kembali menderaku. Aku tak tahan kemudian meninggalkan Ben yang berdiri di ambang pintu untuk segera masuk kamar mandi. Aku muntah untuk sekian kali. Saking habisnya seluruh isi perutku kini yang keluar hanya air dan lendir menjijikan. Ben masuk ke dalam kamar, menghampiri yang berada di dalam kamar mandi. “Kamu sakit?”Sungguh aku didera kejengkelan berlipat, padahal sudah peringatkan batas dia bertamu hanya di teras.“
Read more
Bab 14. Akad Nikah
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Sandiwara yang diperankan sendiri dan Ben. Di rumah Kakek di gelar acara lamaran sederhana tanpa kehadiran Ayah Anjas. Yang datang hanyalah Mama Eva, Ben dan Paman Aryo; adik kandung Ayah Anjas dan beberapa anggota keluarga lainnya. Mama Eva bilang jika Ayah Anjas sedang rapat di luar kota, aku menduga hal itu hanya semata-mata untuk menghindari acara lamaran. Aku yakin dengan watak kerasnya dia tidak mungkin dengan mudah memaafkan aku dengan Ben. Tak heran acara sepenting ini Ayah Anjas memilih untuk tidak datang. Dari pihak keluargaku cukup memaklumi, terlebih lagi mengetahui profesi penting Ayah Anjas. Tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran Ayah Anjas. Dan acara lamaran berjalan lancar. Bahkan ketika Paman Aryo mengatakan, “pernikahan akan jauh lebih baik dilaksanakan. Mereka sama-sama dewasa, Ben juga sudah memiliki sumber penghasilan jadi tidak perlu ada yang dikuatirkan.” Kakek langsung mengiyakan. * Dua minggu berlalu dengan
Read more
Bab 15. Ben Sebenarnya Tampan
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu
Read more
Bab 16. Pesta Sederhana
Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j
Read more
Bab 17. Piyama Polkadot
Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B
Read more
Bab 18. Rati
Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati
Read more
Bab 19. Sasmitha
Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak
Read more
Bab 20. Rencana Rati
Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status