Semua Bab MENIKAHI PRIA BURUK RUPA: Bab 21 - Bab 30
36 Bab
Endah Sakit
"Kamu kenapa, Ndah? Mukanya pucat? Sakit?" tanya Mas Wiji. Saat ini kami baru saja selesai melaksanakan salat Isya dan seperti biasa ia menjadi imamku dengan suaranya yang menyejukkan hati. Aku tersenyum dan menggeleng. Ini hanya kecapekan karena beberapa hari ini kami harus datang ke pengadilan agama untuk isbat nikah guna mendapatkan buku nikah yang ternyata cukup rumit dan tidak selesai dalam sehari. Untuk urusan persiapan resepsi, kami sudah tidak perlu ambil pusing karena sudah ada yang mengurusnya dan kami tinggal terima jadi. "Kening kamu panas sekali." Raut wajah lelaki pemilik mata teduh itu mendadak panik setelah menyentuh keningku dengan telapak tangan. Kutahan tangannya yang hendak membuka mukena yang kupakai, "Aku bisa sendiri, Mas." Kubuka mukena dan melipatnya, "Aku nggak apa-apa, Mas." "Nggak apa-apa gimana, sih? Sudah jelas kalau pucat gitu, kok. Ya udah, kamu istirahat saja. Ayo." Tanpa menunggu persetujuanku, ia mengangkat tubuhku dan membaringkannya di tempat
Baca selengkapnya
Resepsi Pernikahan
Akhirnya hari bahagia itu tiba. Aku dan Mas Wiji sudah bersiap ke lokasi di mana resepsi itu akan digelar. Acara ini kami sebut dengan tasyakuran pernikahan setelah kemarin Mas Wiji mengundang teman-temannya secara bergantian. Ya, ia benar-benar menepati janjinya menghadirkan semua temannya dari kecil hingga dewasa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Sekarang adalah puncak dari semua acara yang sudah kami lewat kemarin. Aku tersenyum saat melihat bayangan wajah ini di cermin usai dirias. Kuraba wajahku yang hampir tidak kukenali. Make up pada sesi pertama ini terlihat cukup simple. Didominasi dengan warna orange menambah kesan fresh pada wajahku yang sebelumnya tidak pernah tersentuh bedak selain tepung terigu. Tasyakuran pernikahan kami digelar dari pagi hingga sore hari nanti dan terbagi menjadi dua tema, yaitu tasyakuran pernikahan modern di pagi hari dan tasyakuran pernikahan penutup dengan adat Jawa di sore hari. Aku dan Mas Wiji datang ke lokasi pernikahan dengan menaiki mob
Baca selengkapnya
insiden kecil
Acara adat Jawa yang digelar pada sore hari ini sungguh melelahkan. Aku yang sudah dirias bak putri keraton dengan sanggul palsu di kepala plus sindik mentul yang cukup berat harus mengikuti serangkaian prosesi adat yang cukup panjang mulai dari sungkeman hingga dulangan yang sungguh menguras tenaga. Namun, aku tetap merasa bahagia meski rasa lelah yang mendera. Saat acara sungkeman, ibu dan bapak hanya diam saja. Sepertinya rasa syok belum juga hilang dari pikirannya. Saat aku meminta do'a restu, beliau hanya berkata, "Semoga kamu bahagia, Ndah." Sedangkan ibu juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski akhirnya ia menangis hingga tersedu-sedu. Saat acara foto bersama pun, bapak tidak tersenyum sama sekali, beliau malah menunjukkan muka masam dan menghindar saat tanganku ingin menggandengnya. Ada apa ini? Kenapa beliau sepertinya tidak bahagia melihat aku menikah? Syukurkah Kak Sitha tidak muncul lagi. Entah di mana dia sekarang? Apa mungkin ia masih saja makan hingga sekarang.
Baca selengkapnya
Kecemburuan Arka
"Acara ini sudah selesai, kan? Kenapa kita tidak pulang saja agar bisa beristirahat," ucap bapak sambil menarik tanganku."Bapak mau pulang ke mana?" tanyaku sambil melepaskan pegangan tangannya. Lelaki yang seharusnya menjadi pelindungku itu tampak mendengkus kesal. Berulang kali ia menghela napas kasar dan cemberut."Ibu tadi sudah minta izin untuk tinggal di rumah suamimu, kan? Apa kamu lupa dengan apa yang ibumu katakan?" tanya bapak dengan nada tinggi. "Aku belum meminta izin pada suamiku, apakah ia mengizinkan atau tidak," Aku melirik Mas Wiji, tidak enak rasanya, kami baru saja melangsungkan acara syukuran pernikahan, tetapi sudah ribut seperti ini. "Ya, udah sekarang ayo bilang sama suamimu kalau kami ingin ikut tinggal dengan kalian. Ingat, ya, Ndah, tanpa kami kamu tidak akan bisa seperti ini." Bapak mencengkeram bahuku dengan kasar. "Begini, Ndah. Kita lupakan saja semua yang telah lalu dan kita mulai semuanya dari awal. Aku ini orang tuamu yang sudah merawatmu sejak ke
Baca selengkapnya
Dia yang Celaka Sendiri
Mobil yang berada dalam kemudi Arka terus melaju sementara Mas Wiji berusaha menghentikannya. Aku terus berteriak agar Arka mau menghentikan mobilnya, tetapi lelaki itu malah tertawa terbahak-bahak, "Aku tidak bahagia hidup bersama Sitha, Ndah." "Hentikan mobilnya, Ar!" Aku panik saat mobil berjalan tidak beraturan, oleng ke kanan dan ke kiri sehingga siap menabrak apa saja yang ada di depannya. Mas Wiji dan Arka saling berebut untuk mengemudikan mobil ini. Aku memejamkan mata sambil terus berdo'a agar selamat.Aku berteriak histeris dan memegang erat lengan Mas Wiji. Jantungku jumpalitan tidak karuan, lututku gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Saat ini aku melihat mobil yang kami tumpangi keluar dari jalan kemudian melayang ke udara setelah tergelincir dan tidak lama kemudian mobil itu jatuh ke sungai yang berada tidak jauh di bawah bahu jalan setelah itu semuanya menjadi gelap. Ya, hanya kegelapan yang kurasa saat ini. ***"Akhirnya kamu sadar, Sayang?" Sa
Baca selengkapnya
Makan Malam Romantis
Dalam hati aku terus bersyukur karena dijauhkan dari mertua seperti ibunya Arka yang sepertinya egois. "Ndah, kami sudah memutuskan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum," ucap papa sambil menggenggam tanganku. Aku mendongak memandang lelaki yang masih terlihat aura ketampanan dan kegagahannya di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Orang kaya memang selalu perawatan sehingga dapat mencegah penuaan dini--terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya. "Maksud papa?" "Arka sudah merencanakan kecelakan ini. Dia harus dilaporkan ke pihak yang berwajib agar mendapatkan hukuman yang setimpal," jawab papa dengan tangan mengepal dan gigi gemeletuk. "Benar, Ndah. Orang jahat harus mendapatkan hukuman agar jera. Kamu tidak keberatan, kan, kalau Arka dipenjara?" tanya Mas Wiji. Aku tersenyum dan menggeleng. Buat apa keberatan. Orang bersalah memang harus mendapatkan hukuman. Itulah gunanya undang-undang. Jika tidak ada hukum di negara ini, orang tentu akan berbuat semaunya sendiri. S
Baca selengkapnya
Bertemu Ayah Ibu
Dua hari sudah kami berada di rumah sakit, meski belum sembuh sepenuhnya, tetapi dokter sudah mengizinkan kami pulang dan bisa rawat jalan. "Jangan lupa dua hari lagi kontrol, ya?" Dokter berwajah tampan itu tersenyum. "Baik, Terima kasih, Dok," jawab Mas Wiji. "Semoga ini terakhir kalinya aku berada di sini." Aku menepuk ranjang tempat tidur dengan sprei berwarna putih itu. "Kenapa? Bukankah kemarin kamu bilang kalau kamar ini nyaman, ya? Full AC, ada televisi besar, kamar mandi pribadi, setiap makan ada yang melayani?" tanya Mas Wiji yang sudah siap pulang juga meski kepalanya masih tertutup perban dan tangannya masih digendong dengan kain yang dililitkan ke leher untuk menyangga tangannya. "Ini rumah sakit, Mas. Meski mewah, tetapi tetap lebih nyaman tidur di kamar sendiri. Lebih bebas sepertinya." Aku mengendikkan bahu. "Benar juga, sih. Aku juga nggak tahan lama-lama berada di sini karena nggak bisa peluk kamu tiap malam. Habis bed ini terlalu sempit untuk kita tempati ber
Baca selengkapnya
Maafkan aku, Pak
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila
Baca selengkapnya
Endah Sakit
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Baca selengkapnya
Dia Datang dari Masa Lalu
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status