Mobil yang berada dalam kemudi Arka terus melaju sementara Mas Wiji berusaha menghentikannya. Aku terus berteriak agar Arka mau menghentikan mobilnya, tetapi lelaki itu malah tertawa terbahak-bahak, "Aku tidak bahagia hidup bersama Sitha, Ndah." "Hentikan mobilnya, Ar!" Aku panik saat mobil berjalan tidak beraturan, oleng ke kanan dan ke kiri sehingga siap menabrak apa saja yang ada di depannya. Mas Wiji dan Arka saling berebut untuk mengemudikan mobil ini. Aku memejamkan mata sambil terus berdo'a agar selamat.Aku berteriak histeris dan memegang erat lengan Mas Wiji. Jantungku jumpalitan tidak karuan, lututku gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Saat ini aku melihat mobil yang kami tumpangi keluar dari jalan kemudian melayang ke udara setelah tergelincir dan tidak lama kemudian mobil itu jatuh ke sungai yang berada tidak jauh di bawah bahu jalan setelah itu semuanya menjadi gelap. Ya, hanya kegelapan yang kurasa saat ini. ***"Akhirnya kamu sadar, Sayang?" Sa
Dalam hati aku terus bersyukur karena dijauhkan dari mertua seperti ibunya Arka yang sepertinya egois. "Ndah, kami sudah memutuskan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum," ucap papa sambil menggenggam tanganku. Aku mendongak memandang lelaki yang masih terlihat aura ketampanan dan kegagahannya di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Orang kaya memang selalu perawatan sehingga dapat mencegah penuaan dini--terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya. "Maksud papa?" "Arka sudah merencanakan kecelakan ini. Dia harus dilaporkan ke pihak yang berwajib agar mendapatkan hukuman yang setimpal," jawab papa dengan tangan mengepal dan gigi gemeletuk. "Benar, Ndah. Orang jahat harus mendapatkan hukuman agar jera. Kamu tidak keberatan, kan, kalau Arka dipenjara?" tanya Mas Wiji. Aku tersenyum dan menggeleng. Buat apa keberatan. Orang bersalah memang harus mendapatkan hukuman. Itulah gunanya undang-undang. Jika tidak ada hukum di negara ini, orang tentu akan berbuat semaunya sendiri. S
Dua hari sudah kami berada di rumah sakit, meski belum sembuh sepenuhnya, tetapi dokter sudah mengizinkan kami pulang dan bisa rawat jalan. "Jangan lupa dua hari lagi kontrol, ya?" Dokter berwajah tampan itu tersenyum. "Baik, Terima kasih, Dok," jawab Mas Wiji. "Semoga ini terakhir kalinya aku berada di sini." Aku menepuk ranjang tempat tidur dengan sprei berwarna putih itu. "Kenapa? Bukankah kemarin kamu bilang kalau kamar ini nyaman, ya? Full AC, ada televisi besar, kamar mandi pribadi, setiap makan ada yang melayani?" tanya Mas Wiji yang sudah siap pulang juga meski kepalanya masih tertutup perban dan tangannya masih digendong dengan kain yang dililitkan ke leher untuk menyangga tangannya. "Ini rumah sakit, Mas. Meski mewah, tetapi tetap lebih nyaman tidur di kamar sendiri. Lebih bebas sepertinya." Aku mengendikkan bahu. "Benar juga, sih. Aku juga nggak tahan lama-lama berada di sini karena nggak bisa peluk kamu tiap malam. Habis bed ini terlalu sempit untuk kita tempati ber
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i