All Chapters of PEREMPUAN YANG DISEBUT SUAMIKU: Chapter 31 - Chapter 40
111 Chapters
Part 30
POV IsnaFahri. Sebuah nama yang sebenarnya sempat mampir dalam hati ini selain Restu. Dia kakak kelas dua tingkat di atasku waktu SMA. Aku sekolah di sebuah sekolah islam yang ada pondok pesantrennya. Dan Fahri adalah kakak kelas yang selalu memberiku perhatian sejak pertama kali mengenalku dalam acara orientasi sekolah.Sebagai kakak senior yang akhirnya aku tahu dia menaruh rasa, sudah tentu saat pertama kali berjumpa—terlebih dalam situasi aku menjadi siswa baruu—ia selalu jahil. Mulai dari sering menghukum, menyuruh bernyanyi dan masih banyak lagi.Bapak selalu berpesan agar aku sekolah dengan benar. Jangan sampai terlibat pergaulan bebas. Itu sebabnya, meski teman-teman yang lain punya pacar, aku memilih menjadi jomblo sejati dan sepertinya benar-benar sejati karena sampai saat ini, tidak ada lelaki yang benar-benar menjalin ikatan batin denganku.Fahri sempat kuliah di Institute Agama Islam, tapi kemudian memilih keluar setelah lolos mendaftar di secaba. Ia bertugas masih di wi
Read more
Part 31
“Marwah, eh, Isna maksudnya. Aku minta maaf. Aku ….”“Mau berapa kali kamu meminta maaf, Restu? Tidak cukup puaskah dengan segala perasaanmu? Kenapa sampai foto wanita itu kamu pindah ke rumahku? Ke kamarku? Jawab!” gertakku masih dengan volume suara kecil.“Isna, aku tidak tahu harus menyimpan dimana. Kalau aku letakkan di rumah dan ketahuan ibu atau bapak, aku sudah pasti kena marah. Jadi, aku bawa ke sini ….”“Apa kamu tidak bisa hidup tanpa foto itu? Apa kamu pikir aku baik-baik saja dengan foto itu di kamar ini? Otak dan pikiran kamu kemana, Restu?” tanyaku heran dan menahan emosi.“Isna, aku suami kamu. Hormatilah aku dengan berbicara sopan. Jangan menyebut kata otak untuk suami kamu, itu tidak pantas.” Restu terdengar tidak suka.“Kamu berbicara kepantasan? Bahkan aku berpikir kalau kamu pantas mendapatkan umpatan yang lebih kasar dari itu. Asal kamu tahu, aku tidak pernah bersikap tidak sopan atau memaki orang seperti saat ini. Kali pertamanya aku melakukan adalah pada kamu. J
Read more
Part 32
Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku berangkat ke puskesmas, dan Restu berangkat ke balai desa. Sejak insiden pembakaran foto wanita kesayangannya, Restu terlihat murung. Aku abai saja.Aku seorang bidan desa, tapi tugasku alhamdulillah masih di desa sendiri. Sehingga tidak perlu menginap di polindes. Dan tempat itu digunakan oleh bidan desa yang satunya lagi. Dia hendak pindah, tinggal menunggu surat mutasi turun yang sepertinya tidak sampai sebulan.“Isna ….” Aku yang sedang membuat teh untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin, terpaksa menoleh. Ibu sudah berdiri di samping kulkas sambil menatapku tanpa kedip.“Ya, Bu,” jawabku santai sambil kembali fokus mengaduk gula yang ada di gelas agar larut.“Ibu mau bertanya sesuatu hal. Tapi, jawablah dengan jujur!” Perkataan ibu membuat aku menghentikan gerakan tangan.“Ibu mau bertanya apa?” Aku bertanya balik dengan gugup.“Kamu kenapa sama Restu?”Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan yang dilontarkan ibu. Ah, tidak mungk
Read more
Part 33
Ibu belum percaya. Tapi memilih diam.tatapannya tidak bisa dibohongi.“Kalau nanti bidan desa yang satu pindah, aku akan menempati polindes, Bu,” ucapku memohon izin. “Jangan khawatir, aku sering tidur di sini juga ….”Ibu berlalu tanpa sepatah kata. Aku bernapas lega.Entah kenapa, malam ini, bapak tumben ikut makan bersamaku dan Restu. Tanpa perbincangan karena beliau bergabung saat kami sudah mulai menyantap makanan. Setelah Restu selesai dan hendak pamit, barulah bapak mengeluarkan suara.“Restu, duduklah!” ucap bapak terdengar dingin.Restu urung bangkit dan kembali mendaratkan tubuh pada kursi. Wajahnya penuh tanda tanya. “Ada apa ya, Pak?” tanyanya.“Kami sangat menyayangi Isna. Dia anak yang hampir tidak pernah membuat kami marah. Kecuali kenakalannya waktu kecil. Dia kami besarkan dengan penuh kasih sayang. Tidak pernah membuat malu keluarga dan selalu menjaga diri dari semua laki-laki. Banyak pria datang yang kami tahu, mereka bermaksud menjadikan Isna istri. Tapi, pilihan k
Read more
Part 34
Aku menatap sebuah undangan di atas meja reseptionis puskesmas rawat inap. Hari ini piket siang yang jamnya sampai malam, dan pasien sedang sepi. Masih terngiang jelas ucapan Restu semalam, menjadikanku lebih pendiam dari biasanya. Godaan dari beberapa rekan yang berbau urusan dewasa hanya aku tanggapi dengan senyum sekadarnya.Undangan dari pihak kecamatan pada petugas puskesmas atas kunjungan bupati yang akan diadakan beberapa hari lagi, membuatku berpikir bimbang. Yang hadir tentu saja mereka yang tidak ada jadwal piket. Namun, bukan masalah itu. Keterangan yang tertera di sana, kepala desa beserta istri, itu yang membuat aku semakin tidak enak. Berharap sekali, saat hari itu tiba, aku yang jadwal piket jaga di puskesmas. Sehingga tidak perlu menghadiri acara tersebut.“Udah malam, Is. Saatnya ganti sift,” ucap Mas Luthfi. Perawat yang berjaga satu sift denganku.“Iya …,” jawabku lemas.“Suami kamu menunggu di luar ….” Bu Ika yang baru datang untuk menggantikanku tiba-tiba berbisik
Read more
Part 35
“Restu tidak pulang semalam. Apa dia bilang mau pergi kemana?” Bapak yang sepertinya ikut memperhatikan keadaan kami, pagi ini bertanya. “Iya. Aku menyuruhnya ke rumah orang tuanya semalam. Karena aku pulang terlambat. Takut bila bingung tidak ada aku …,” jawabku berbohong. “Mata kamu kenapa sembab?” tanya bapak lagi. “Tidak apa-apa,” jawabku sambil menundukkan kepala memandang nasi yang masih penuh di piring. “Bapak tidak akan memaksa kamu untuk bercerita. Tapi, jika sudah tidak kuat lagi menanggung sebuah beban, maka bapak siap mendengarkan apapun yang ingin kamu ceritakan ….” Aku langsung menangis mendengar sosok yang sangat melindungiku berkata demikian. Bersyukur karena beliau cukup mengerti perasaanku saat ini. Keputusanku sudah bulat. Aku akan pindah ke polindes setelah temanku pindah. Agar bisa menyusun rencana dengan tenang tanpa interogasi dari bapak dan ibu. Siang itu, Restu pulang lebih awal. Sikapnya berbeda. Saat datang membawakanku bakso. Tidak lupa juga untuk bap
Read more
Part 36
Aku masih bersikap baik padanya. Lebih tepatnya berusaha untuk bersikap biasa di hadapan bapak dan ibu.menawari Restu makan, membawa bajunya ke laundry. Hanya sebatas itu saja. Namun, sikapnya agak berbeda. Setiap malam selalu merengek untuk tidur bersamaku.“Kemarilah, kita harus tidur dalam satu kasur. Aku akan mendekapmu agar kamu bisa hangat. Cuaca akhir-akhir ini sangat dingin,” ucapnya saat aku sudah membungkus diri dengan selimut.Ah, sungguh rutinitas yang membosankan. Berharap sekali temanku bisa segera pindah, agar aku pun segera menempati tempat itu.Seperti biasa, aku abai dengan perkataannya. Terlebih kata-kata Restu yang tidak bisa bergairah meski aku dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, membuat diri ini lebih terhina sekali.“Isna, aku bicara sama kamu,” ucapnya lagi.“Diamlah, Restu! Jangan berisik! Ini sudah malam. Aku lelah dan ingin tidur,”“Kenapa sekarang kamu memanggilku dengan hanya sebuah nama. Itu tidak sopan,” celetuknya terdengar kesal.“Yang penting di h
Read more
Part 37
Setelah beres, tangan ini menyambar tas di atas meja rias. Ekor mataku menangkap baju yang diberikan Restu masih teronggok di sana. Sejenak menimbang, apakah akan membawanya atau tidak. Kulihat Restu masih memakai selimut tebal. Jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Betapa menderitanya jadi istri Restu, sampai-sampai, hanya untuk menghindari ajakannya, aku harus berangkat di saat embun belum menetes ke tanah. Pikirku. Jaket tebal kupakai untuk menghalau udara dingin di jalan nanti. Melangkahkan kaki keluar, meninggalkan baju kebesaran para istri kepala desa yang akan dipakai mereka untuk menunjukkan jati diri sebagai orang nomer satu di desa masing-masing. Sementara aku, lebih bangga dengan baju warna putihku sebagai identitas seorang bidan. Ini adalah kali pertama aku memberikan pelajaran pada Restu. Akan kulihat bagaimana nanti, dia menahan malu datang dengan tanpa pendamping, sementara istri yang telah disakitinya memilih berada di tempat yang sama dengan peran yang berbeda. Di
Read more
Part 38
Segera. Kualihkan pandangan pada teman-teman pria yang sedang bercanda. Ternyata, Deni sudah terlibat dalam perbincangan yang kelihatannya seru. Sesekali mereka tertawa. Aku jadi pikun, entah berapa lama terlalu menikmati lalu lalang orang, sehingga ketinggalan ikut merumpi.Kesempatan yang bagus! Segera kurapatkan tubuh pada mereka. Berusaha ikut tertawa meski tidak paham apa yang tengah dibicarakan. Hanya ingin agar terlihat asyik di mata Restu. Agar dia tahu, jika di luar, aku punya kehidupan yang menyenangkan.“Kamu apaan sih, Is, ikut tertawa gak jelas gitu?” Deni menyenggol lenganku.“Idih, kenapa, biasanya juga aku gini,”“Ya tapi aneh, ini kamu gak tahu apa yang kami bahas, lho. Kamu malah langsung tertawa gitu, aneh.”“Gak papa, Den, sebelum tertawa dilarang. Sebelum tertawa dikenai pajak. Bener gak, Is?” Mas Adam, perawat senior membelaku.“Aku lihat itu, orang pakai sepatu merah, jilbab merah.” Ah, untuk diriku bisa langsung mendapatkan objek untuk berbincang. Ghibah tentu
Read more
Part 39
“Eh, iya, Mas,” jawabku dengan senyum dipaksakan. “Kok belum pulang?” tanyaku masih dengan nada yang kubuat lembut. “Cieeee, yang akhirnya ketemu ma suami. Nih, aneh, Mas istrimu gak mau ikut bareng katanya nanti gak bisa ghibah,” sahut Deni. Restu menanggapi dengan senyuman yang manis sekali. Senyuman yang hanya tercipta untuk Marwah seorang. “Ayo pulang bersama,” ajaknya seolah kami pasangan yang bahagia. “Aku harus bantu Deni bawa ini ke puskesmas. Kamu pulang dulu saja, ya? Nanti aku menyusul ….” Berkata demikian saat bertatapan dengannya, aku membesarkan bola mata, tanda sebuah ancaman untuk dia menuruti perkataanku. “Aku yang bawakan biar kamu tidak capek ….” Ingin muntah mendengarnya sok perhatian. Namun, demi menjaga harga diri di hadapan Deni yang belum tahu apapun, kepala ini mengangguk pelan. Beda jika Bu Ika yang bersamaku, aku pasti akan bersikap tetap acuh. “Duluan ah, ada pengantin baru mau bersama,” celetuk Deni yang langsung berjalan setengah berlari, meninggalk
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status