Lahat ng Kabanata ng BUKAN MENANTU KAYA: Kabanata 51 - Kabanata 60
67 Kabanata
Berubah
Rumah kembali sepi sepeninggal Rika dan Uwak Piah. Mereka pulang dadakan dijemput Aydin. Khalid terlihat keberatan saat Haifa dibawa pulang ibunya. Selama tiga hari di sini, Khalid selalu dekat-dekat dengan sepupu perempuan satu-satunya itu. Sebelum pulang, Rika memintaku menerima permintaan pertemanan akun biru. Selama ada Rika dan Uwak Piah, aku memang jarang membuka si biru. Aku juga hanya memegang ponsel saat malam saja.“Teteh, bulan depan Rika pasti ke sini lagi. Oh iya, doain ya supaya Rika dikasih jalan yang terbaik,“ katanya tadi sebelum masuk ke mobil.“Aamiin.“Aku merasa nelangsa dengan nasibnya sekarang. Terlepas dari perlakuan buruknya padaku di masa lalu. Takdir memang tak ada yang tahu. Apa yang kita benci terkadang Allah jadikan kepingan takdir kita, pun sebaliknya.“Te-te-teh.“Suara Mamah membuyarkan pikiran. Aku menghampirinya dengan tergopoh dan tersenyum saat melihat Mamah bisa berdiri walau telapak kakinya belum menginjak lantai sempurna.“Mamah mau apa?“ tanya
Magbasa pa
Bahagia
“Kalian sudah shalat?“ Pertanyaan Mas Hasan membuat wajah mereka pias seketika. Baik Hadi, Nuri maupun Ningrum hanya tersenyum kaku lalu pura-pura menanyakan letak kamar mandi.“Jangan pernah melalaikan shalat,“ kata Mas Hasan saat mereka bertiga melangkah ke kamar mandi.“Makasih, Mah,“ ucapku tulus. Mamah menggeleng dengan netra berembun. Tangannya meraih tanganku.“Ma-mamah minta maaf. Se-lama ini selalu za-lim sama ka-mu,“ katanya tersedu-sedu. Seperti saat Rika meminta maaf, malam ini hatiku merasa bahagia dan lega. Kata maaf memang terdengar sepele tapi begitu berarti. Bisa membuat batin yang tersakiti sembuh, bisa memandam api dendam yang membara.“Hanna sudah memaafkan Mamah.“ Tanpa sadar mataku pun berkaca-kaca, sesaat kemudian air mataku menetes. Mas Hasan mengusap pipi ini dengan lembut, juga pipi Mamah. Kami bertiga berpelukan. Mengislahkan segala hal yang pernah terjadi di masa lalu.🌹🌹“Kang, kalau pembagian harta warisan dipercepat, boleh tidak?“ tanya Haikal. Kami s
Magbasa pa
Ningrum dipenjara
Rumah sepi sekembalinya aku dari Uwak Piah. Hanya ada Rika yang menimang Haifa. Nuri dan Yanti entah pergi ke mana.“Yang lain ke mana?“ tanyaku seraya mengedarkan pandangan.“Pulang ke rumah Nuri,“ jawab Rika datar.“Kalau Mas Hasan, Hadi sama Haikal?““Pergi ke rumahnya Ikmal.“Aku menghela napas panjang. Lalu meraih Haifa dari pangkuan ibunya. Menggendongnya senyaman mungkin. Tak lama Haifa terlelap. Setelah meletakkannya di ayunan rotan, Kulangkahkan kaki ke dapur, memasak air. Membuatkan teh chamomile untuk kami berdua. Rika mengekori. Dia duduk tak jauh dariku.“Sebenarnya ada apa sih?“ tanyaku sambil mengaduk teh, menyerahkannya pada Rika.“Makasih, Teh,“ ucapnya seraya memegangi cangkir. Aku mengangguk pelan. Kubiarkan dia menikmati tehnya. Membiarkannya sejenak melupakan beban yang tengah menghimpit hati dan pikirannya.“Ningrum dipenjara, Teh.“Teh yang baru kuteguk sontak menyembur. Untung saja aku tidak duduk di depan Rika. Hanya saja niqob, hijab dan gamisku yang basah.“
Magbasa pa
Masalah ... lagi.
Hari ini, sebelum pulang ke Bogor, aku, Mamah dan Mas Hasan membesuk Ningrum. Sebenarnya agak malas juga bertemu dengannya. Ucapan pedas dan sikapnya yang kurang menghargaiku masih menari-nari di ingatan. Tapi karena Mas Hasan yang minta ditemani, aku pun tak berani menolak.Setelah dua puluh menit berkendara, mobil berbelok ke jalan Aria Cikondang. Sebelum ke lapas, kami mampir mengisi perut yang sedari pagi baru diisi teh hangat saja. Tak lupa membeli pesanan Ningrum. Nasi padang dengan lauk rendang.Setelah mengisi perut, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba di lapas, pandanganku langsung tertuju pada mobil tahanan. Dimana ada dua orang pemuda baru turun dengan mengenakan baju jingga khas tahanan. Melihatnya, seketika aku teringat Ningrum. Bagaimana penampilannya sekarang? Mengingat selama ini, dia selalu berpenampilan modis.“Ayo, Dek!“Aku menoleh pada Mas Hasan yang berjalan beriringan dengan Mamah. Segera menghampirinya dan dia langsung menautkan jemari kami.Setelah
Magbasa pa
Haikal
Hampir sepuluh menit menunggu, aku dan Mamah pun memutuskan keluar dari rumah. Di saat itu juga banyak pasang mata menyorot kami.“Enggak nyangka ya, anak-anak Bu Aas ternyata kriminal. Yang satu gebukin orang, yang satu nipu member, yang satu selingkuh.““Iya. Mungkin ini karma Bu Aas, soalnya mulutnya julid banget kan?““Iya, karma karena omongannya selalu nyelekit.“Aku memejamkan mata mendengar tudingan-tudingan miring para tetangga yang berkerumun menonton. Sementara di lengan kiri, kurasakan cengkraman Mamah mengetat.“Hanna, Mamah takut ...“ Aku menoleh pada beliau yang matanya mengembun sambil menggigit bibir bawah. Mamah pasti malu luar biasa. Tapi kembali lagi ke mobil juga percuma. Orang-orang pasti semakin gencar membicarakan Mamah.Beruntungnya, saat bingung harus melakukan apa, Mas Hasan keluar berbarengan dengan polisi. Mereka berjalan sambil mengobrol yang entah apa. Tapi pasti hal serius, karena raut wajah Mas Hasan sangat kaku.Setelah petugas dari kepolisian angkat
Magbasa pa
Permintaan Mamah
“Kerugian yang dibuat Haikal, malah lebih besar, Dek. Nuri bener-bener keterlaluan. Andai gaya hidupnya nggak hedon, mungkin nggak ada separah ini.“ Aku menyimak dalam diam. Apa yang diucapkannya memang benar. Nuri bergaya hidup hedon dan gemar memamerkan kemewahan. Tak masalah jika semua itu didapat dengan halal, tapi beda lagi jika apa yang diperlihatkannya hasil dari mengambil hak orang.Aku menggelengkan kepala seraya mengusap dada dan mengucap istigfar dalam hati. Semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu.“Oh iya, Dek, kalau lahiran di sini ... nggak apa-apa kan?“Aku mendesah pelan, “memangnya nggak bisa ya kalau kita pulang dulu?“Mas Hasan tampak terdiam. Raut wajahnya berubah keruh.“Bingung Mas, Dek. Jujur ... gara-gara Haikal dan Ningrum, Mas jadi kurang percaya sama Hadi. Mas takut Mamah rugi untuk ke sekian kali, Dek.““Tapi untuk sementara kita bisa minta tolong ke Uwak Ayi, Mas. Aku nggak mau lahiran di sini. Lagian nggak ada jaminan kan kalau masalah Ningrum dan Hai
Magbasa pa
Rika
Mamah langsung tergugu. Sementara aku dan Mas Hasan seolah membeku. Tapi tidak dengan Yanti. Dari sudut mata, perempuan yang dulu terang-terangan menginginkan suamiku itu tampak mengulum senyum. Baru kali ini aku melihat dengan mata kepala sendiri, pelakor berbahagia di atas kesedihan perempuan lain.“Kenapa nggak rujuk aja sih? Kalian mau Mamah tambah pusing?“ ujar Mamah dengan suara parau.“Maaf, Mah. Rika sebenarnya nggak pernah mau pisah dari Kang Hadi. Ta-tapi Kang Hadi ... seperti nggak ada itikad baik dan Rika rasa tak ada yang bisa diperbaiki lagi. Seperti yang pernah Teh Hanna bilang, untuk apa bertahan jika tak ada kemaslahatan dalam rumah tangga ini,“ sahut Rika dengan mata sembab. Beberapa hari lalu, Rika memang mengirim pesan. Curhat tentang kelanjutan rumah tangganya dan aku menjawab seperti itu. Jika hanya menimbulkan kemadharatan, untuk apa dilanjutkan.“Benar begitu, Hadi?“ tanya Mamah sambil menatap putra keduanya, dengan air mata yang masih mengalir. Tapi Hadi lagi
Magbasa pa
Kecewa
[Mamah lagi ke sana kan, Teh. Bawa makanan banyak banget.]Balasan Rika membuat ubun-ubunku terasa panas. Ada apa dengan Mamah? Kenapa selalu berbuat seenaknya?“Ada apa, Dek?“ Mas Hasan yang datang sambil menenteng dua tas belanja menghampiriku dengan wajah tampak heran.Aku terdiam sejenak. Ingin mengatakan tentang Ningrum dan pesan balasan dari Rika, tapi bingung juga. Takut memperkeruh keadaan.“Dek!““Coba lihat status Ningrum, Mas.“Seperti dugaanku, dahi Mas Hasan langsung mengerut. Tak lama dia tertawa lirih yang terdengar menyebalkan di telingaku.“Adek lucu. Ningrum kan enggak pegang hape, Dek. Mana bisa dia bikin status,“ katanya sambil menggelengkan kepala. Kepalaku semakin terasa panas mendengarnya. Tapi aku tak boleh main kasar, harus bisa mengendalikan emosi.“Lihat saja dulu, Mas,“ tukasku datar. Mas Hasan mengangguk. Lalu merogoh saku celananya. Aku tak luput memerhatikannya, tapi tak ada raut terkejut maupun marah dari wajahnya. Dia justru memasang ekspresi datar.
Magbasa pa
Kemana kamu, Mas?
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den
Magbasa pa
Penjelasan Mas Hasan
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Magbasa pa
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status