All Chapters of BUKAN MENANTU KAYA: Chapter 21 - Chapter 30
67 Chapters
Hibah dan Pembelaan Bapak
Berita lakunya sawah Bapak sepertinya sudah sampai ke telinga Mamah dan ketiga adik Mas Hasan. Setelah shalat maghrib, mereka datang ingin membesuk Bapak. Namun sayang, Bapak tidak mengizinkan mereka masuk. Mas Hasan menahan mereka di luar, dengan alasan besok Bapak sudah diperbolehkan pulang. Bapak memang sudah mengantongi izin pulang. Kondisinya semakin baik, tubuhnya pun tidak sekuyu sebelum dirawat. Pagi-pagi, aku dan Mas Hasan mulai berkemas. Bapak yang sudah rapih duduk di tepian ranjang sambil menatap kantong keresek di hadapannya. Kantong berisi uang seratus juta. Rencananya uang sebagian uang itu akan Bapak bayarkan langsung pada Bibi Nisa, adik ipar Mamah. Supaya Mamah tidak lagi berbuat seenaknya. Kami pulang menggunakan taksi online. Malam tadi motor Mas Hasan sudah dibawa pulang Haikal. Sepanjang perjalanan, Bapak menceritakan uang penjualan sawah. Bapak ingin menghibahkan uang itu. Kami tak melarang, yang penting Bapak menggunakannya untuk hal yang bermanfaat.Keluarga
Read more
Kepergiaan Bapak
Uang hibah dan sedekah disalurkan sore hari. Mas Hasan sudah berangkat ke masjid dan pesantren yang sedang dibangun. Bapak mempercayakannya pada aku dan Mas Hasan dengan dibumbui sedikit drama. Mamah dan ketiga ipar agak keberatan. Mamah malah dengan terang-terangan berburuk sangka, saat aku hendak membagikan uang ke tetangga yang fakir miskin, dhuafa dan para asatidz di kampung ini.“Orang miskin itu lebih mudah dirayu setan. Nggak nutup kemungkinan, nanti pas penyaluran, dia masukin sebagian ke sakunya.“Mamah berkata seperti itu dengan wajah menyeringai. Rika dan Nuri pun tersenyum puas. Jangan tanya bagaimana aku. Dadaku jejal, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kuremas lambe tajam ibu mertuaku itu.“Kenapa diem? Kesindir, ya? Baguslah kalau kamu tersindir.“Mamah kembali menyulut emosi. Aku hanya mendengkus, menatapnya dengan datar, menyelami isi mata tuanya.“Udahlah biar Nuri aja yang bagiin. Nuri kan amanah.“ Nuri menimpali. Senyuman dan tatapannya seakan mengejekku
Read more
Perdebatan Kecil
Jenazah Bapak sudah dikebumikan. Semua keluarga ikut, kecuali aku dan Uwak Piah. Mas Hasan dan Uwak Ayi melarang kami ikut dengan alasan yang dilandasi dalil kuat tentunya.Acara tahlilan akan diadakan sampai tujuh hari ke depan. Mamah mempercayakan semuanya pada Bibi Nisa. Padahal jika melihat pengalaman, Uwak Piah lebih pengalaman darinya. Sepulang dari pemakaman Bapak, Mamah mengumpulkan anak dan mantu. Membahas uang untuk biaya tahlilan. Aku mengernyitkan kening, karena seingatku, uang duka pun lumayan banyak. Ada sekitar tiga belas juta, tapi kenapa Mamah seolah tak ingin menggunakan uang itu?“Mamah mau kalian patungan lima juta buat biaya tahlilan Bapak,“ kata membuat netra Hadi, Haikal dan Ningrum membelalak tak percaya.“Apa nggak terlalu besar, Mah?“ tanya Hadi pelan.“Enggaklah. Lah oranglain kalau tahlilan dimintanya sepuluh juta ke atas,“ jawab Mamah. Hadi menggaruk kepalanya kasar.“Ning nggak bisa patungan sebanyak itu, Mah. Ning kan pengen bangun rumah,“ kata Ningrum
Read more
Bagi Warisan
“Jadi gimana lanjutan hubungan anak kita, Teh Aas? Aku nggak mau loh kalau rencana kita gagal.“ Kata seorang perempuan yang kuyakini Ibunya Yanti. “Iya nih Teh Aas, Yanti ampe bela-belain perawatan wajah, gemukin badan. Pokoknya harus sampe jadi. Yanti nggak mau usaha Yanti sia-sia,“ sahut Si Janda Menor. “Aduh gimana ya, Saya juga sudah berusaha sekuat tenaga. Sudah minta bantuan Abah Mumuh juga, tapi masih belum terlihat hasilnya.“ Kali ini Mamah yang menyahut. Siapa Abah Mumuh? Kenapa Mamah minta bantuannya? “Kalau nggak berhasil terus mah, gampang Teh.“ Nuri membuka suara. “Gampang gimana?“ tanya Mamah. “Tinggal pasang susuk. Jadi deh,“ jawab Nuri. “Susuk itu haram, Nuri!“ seru Rika. Terdengar tawa Nuri berderai. “Ning punya ide, Mah,“ kata Ningrum. “Apa?“ “...“ *** Aku menendang botol bekas air mineral agar obrolan mereka berhenti. Benar saja, obrolan berhenti dan mereka lantas menoleh. Setelah itu lekas lari bersembunyi di dekat lemari pajang. “Teh Hanna, lagi n
Read more
Tukar Nomor
Hasan POVKami tiba di Bogor sekitar pukul satu siang. Cuaca Bogor siang ini begitu panas. Khalid agak rewel sebelum kipas kunyalakan. Kubuka ponsel yang sedari tadi berbunyi. Ningrum memasukkanku ke grup ’Yusup family’.Grup yang sebulan lalu kutinggalkan karena anggotanya terang-terangan menghina Hanna, istriku. Selain aku, ada juga nomor baru yang Ningrum masukkan. Nomornya Yanti. Janda tiga puluh sembilan tahun itu seperti tak punya urat malu. Selalu wara-wiri di keluarga kami. [Assalamualaikum, selamat bergabung Mbak Ipar] tulis Rika. [Waalaikumussalam, Dek ipar. Makasih sambutannya.] balas Yanti.Masih ada Ningrum dan Nuri yang sedang mengetik. Melihat pesan yang dikirim mereka saja aku sudah tak berminat, apalagi harus aktif berbalas pesan. Hanna masuk dengan membawa tiga buat nasi box. Setelah meletakkannya di meja, Hanna menutup pintu. Membuka niqob dan khimarnya. Senyumku sontak mengembang sempurna. Aku paling suka kalau Hanna menggerai rambut hitam legamnya.“Gerah bange
Read more
Dipecat
Besoknya aku mulai menjalani aktifitas seperti biasa. Menjadi marbot di Yayasan Annuha. Ketika memarkiran motor, Bang Dany--rekan sesama marbot--menatapku dengan heran.“Assalamualaikum, Bang,“ ucapku sambil mengangguk.“Waalaikumussalam. Loh, Hasan, ane kira ente kagak bakalan ke sini lagi,“ katanya. Aku mengernyit bingung.“Emangnya kenapa gitu, Bang?“ tanyaku.“Enggak apa-apa, San. Cuma kan Pak Bos udah bawa pengganti ente,“ jelasnya.Aku sontak terbelalak tak percaya.. Bukan karena dipecat mendadak, tapi kaget karena Pak Bos tidak bilang apa-apa. Saat aku membuat status memberitahu Bapak meninggal, Pak Bos membalasnya tapi tidak membahas yang lain. Apa mungkin waktu itu Pak Bos sungkan mengatakannya karena aku dalam keadaan berduka?“Hei, Hasan! Kapan ente balik?“ suara Ustadz Fakhri. Dia langsung berjalan ke arahku, lalu memeluk dengan erat.“Turut berduka cita ya, Hasan. Semoga Bapak ente diberi rahmat dan maghfirah Allah,“ katanya sambil menepuk-nepuk punggungku.“Aamiin.“Aku
Read more
Nikmat Besar
Kutatap tangan Mas Hasan yang gemetar menerima amplop itu. Amplop yang mungkin berisi gaji terakhir kami. Netra Mas Hasan perlahan membeliak saat mengeluarkan isinya. Demikian denganku. Satu gepok uang merah berlogo sepuluh juta kini berada di tangan Mas Hasan.“Ini uang apa, Pak Bos?“ tanya Mas Hasan tak percaya.“Gaji terakhir kalian dari Annuha dan hadiah dari ane karena ente lebih mentingin orangtua daripada kerjaan. Salut ane sama ente, San,“ jawab Pak Bos. Perlahan bibir Mas Hasan melengkung. Dia merunduk seraya memegangi uang itu.“Terimakasih banyak, Pak Bos. Semoga Allah balas dengan yang berlipat ganda,“ ucapnya dengan suara bergetar.“Aamiin.“ Kami bertiga menyahutinya.Perasaan bingung dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bingung, harus ke mana kami setelah ini? Pulang ke Cianjur, sudah pasti tidak mungkin. Ke orangtuaku di Bandung? Ah, aku malu.“Oh iya, San ... Ente bersedia kagak kerja di grosir baru ane?“ tanya Pak Bos.“Grosir?“ tanyaku.“Iya, Hanna. Jadi Bapak beli r
Read more
Hari Pertama
Hari berganti. Sedari malam kami sibuk mengemasi barang. Setelah selesai, kami ke rumah Bu Iroh. Memberitahu perihal kepindahan kami. Bu Iroh tampak kaget saat kami menyerahkan kunci rumah, tapi turut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk kami.“Jangan lupain Ibu ya, Neng,“ katanya saat aku memeluknya.“Insya Allah, Bu. Ibu nanti main ke sana, ya,“ balasku.“Insya Allah, Neng.“Kami juga berpamitan pada tetangga dekat, salahsatunya Mira. Dia memelukku begitu erat.“Nanti aku belanja ke sana deh,“ katanya.“Ditunggu banget, Mbak,“ balasku.***Tiba di ruko, kami mulai menata barang. Satu kamar untuk tidur dan satu lagi untuk tempat shalat. Kami beberes sampai larut malam. Itupun masih asal, yang penting barang sudah masuk semua karena besok grosir sudah mulai buka. Khalid sudah tidur sedari magrib. Sementara aku dan Mas Hasan menikmati indahnya pemandangan kota Bogor dari balkon sembari melahap mie ayam dan secangkir teh hangat.Kuabadikan keindahan malam ini, membidik beberapa sudu
Read more
Telepon Dari Mamah
Waktu bergulir dengan cepat. Sebulan sudah kami mengelola grosir ini. Grosir selalu ramai. Selain barang yang tak pernah kosong, Pak Bos dan Bu Bos juga memberi reward untuk para pembeli dengan jumlah banyak. Setiap hari jumat selalu ada promo tebus murah untuk kaum dhuafa.Grosir juga menerima titipan barang jualan. Awalnya hanya titipan Bapak dan Ibu penjual rempeyek, tapi setelah aku membicarakannya pada Bu Bos, dia justru menyuruhku menerima siapapun yang ingin menitipkan barang. Hingga akhirnya cukup banyak yang menitip di grosir ini. Seperti gula merah, beras, sampai kue-kue basah pun ada. Mas Hasan pun nyambi jadi agen pulsa.Kata Bu Bos, grosir ini bukan bisnis semata tapi memberdayakan ummat. Kami punya harapan yang sama, ada rezeki mereka melalui grosir ini. Bu Bos juga sudah menyediakan cash register untuk memudahkan pekerjaan kami. Semua berjalan sesuai keinginan Pak Bos dan Bu Bos. Grosir ramai, supplier setiap dua hari sekali mengisibarang. Promo tebus murah juga selalu
Read more
Hinaan Mereka
Pagi telah tiba. Gerimis mengiringi indahnya pagi ini. Di halaman grosir, beberapa gerobak sudah standby. Ada tukang bubur, nasi kuning dan gorengan. Aku sendiri baru selesai membuat adonan martabak, sedangkan Mas Hasan dan Khalid mengantre di tukang bubur. “Ayo Dek, kita makan,“ ucap Mas Hasan sambil menaruh tiga mangkuk bubur di atas karpet belakang meja kasir.Bubur ayam khas Cianjur memang cocok menemani gerimis di kala pagi. Aroma lada bubuk dan pais daun bawangnya begitu memanjakan lidah. Kami bertiga makan dengan khidmat sampai mangkuk kembali kosong.“Kira-kira Mamah jadi ke sini nggak, ya?“ tanyaku. Mas Hasan bergeming sesaat lalu mengendikkan bahu.“Kulkas kosong melompong, Mas. Gimana kalau Mamah jadi ke sini?“ tanyaku lagi.“Gampang. Tinggal beli aja ke Bu Tiur.“ Mas Hasan menjawab.Bu Tiur itu pemilik warung nasi padang samping grosir ini. Aku mengenalnya saat seminggu di sini. Dia memberi nasi dan ayam sayur sebagai bentuk perkenalan. Akupun sering membeli ke warungnya
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status