All Chapters of DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI: Chapter 21 - Chapter 30
58 Chapters
RUGI BESAR
Tanpa terasa waktu sudah beranjak senja. Gemerlap pesta telah usai, tapi tamu undangan yang datang belum genap seribu orang padahal undangan yang ibu sebar lebih dari dua ribu. Tentu saja hidangan di atas meja masih menumpuk. Aku mengekori Ibu yang membopong kotak berisi amplop dari para tamu. Saat hendak masuk kamar ibu memanggilku. “Ve, ikut bantu menghitung ya biar cepat,” ajak Ibu. “Jangan! Nanti Mbak Vera malah nyelipin amplop ke tasnya,” protes Ela-adikku. Astaghfirulloh... begitu gila uangkah aku sampai Ela berpikiran seperti itu? Atau memang dia sendiri yang berlebihan? Saat kami masuk tadi, Bapak, Ela dan Rizal memang sudah menunggu di ruang tengah. “Kalian berempat saja! Aku mau mandi dulu! Gerah!” tolakku. Tanpa berkomentar, mereka berempat langsung masuk kamar Ibu lalu menutupnya rapat-rapat sedangkan aku mengambil handuk lalu beranjak ke belakang. Seusai mandi dan berganti pakaian, aku memilih ke depan menemui satu dua tamu yang baru sempat datang. Kebetulan ada t
Read more
NIKMAT SESAAT (POV. ELA)
POV. ELATerlahir sebagai anak kedua membuatku banjir kasih sayang. Bapak, Ibu juga Mbak Vera sangat perhatian denganku bahkan cenderung memanjakan. Sedikit pun tak terlintas dalam pikiran jika aku akan menjadi istri dari calon suami kakakku sendiri. Semua berawal saat aku kelas 3 SMP. Waktu itu Mbak Vera pulang bersama laki-laki yang dia kenalkan sebagai kekasihnya. Jujur, aku tertarik padanya karena menurutku dia lebih keren ketimbang teman-temanku. Namun aku berusaha membendung rasa itu karena sadar ini tak baik. Meski Mbak Vera merantau, Mas Rizal sering berkunjung ke rumah. Kadang mengobrol dengan Ibu dan Bapak, kadang juga aku yang menemaninya.Lambat laun, kami semakin akrab. Tak jarang dia mengajakku jalan. Dan yang membuatku senang, Mas Rizal sering memberiku oleh-oleh, kadang juga memberi uang jajan. Diam-diam kami menjalin asmara terlarang. Kami bersikap biasa jika ada Bapak dan Ibu, tapi berubah romantis saat mereka tak ada. Saking romantisnya sampai-sampai kami terjeb
Read more
TERTIPU (POV ELA)
**** “La, apa kamu sudah menelepon kakakmu?” tanya Ibu saat kami sedang berkumpul di depan TV. “Sudah, tapi dari kemarin nomornya tak bisa dihubungi,” jawabku. “Coba kamu hubungi lagi. Kami ingin tahu apa dia jadi pulang bulan ini,” perintah Bapak. Aku menurut. Beranjak ke dalam lalu segera kembali dengan ponsel di tangan. Gegas aku menghubungi Mbak Vera, tapi tak tersambung. “Nomornya enggak aktif, Pak!” ujarku setelah berkali-kali gagal menghubungi Mbak Vera. “Ya sudah besok saja kamu telepon lagi,” sahut Bapak. “Nanti kalau Vera pulang kita harus bagaimana, Pak?” tanya Ibu dengan wajah sedih. Kami semua diam. Hanya saling tatap karena tak tahu harus menjawab apa. Jika jujur, tentu Mbak Vera akan sangat marah. Dan aku tak mau kalau dia berhenti mengirim uang untukku. Panik, aku kembali menatap Bapak yang tampak berpikir keras. “Begini saja. Kalian pura-pura saja baru menikah karena terpaksa. Bilang kalau Ibunya Rizal sakit dan memaksa Rizal menikah sebelum dia meninggal,
Read more
KABUR
Entah kenapa jantung ini berdetak lebih kencang saat mengingat seminggu lagi hari pernikahan tiba. Kadang gelisah tanpa sebab, kadang juga rindu yang teramat menggebu. Beginikah rasanya menjadi calon pengantin?Dua minggu tinggal bersama Bu Lili, aku semakin akrab dengannya. Makan, jalan, bahkan tidur pun kadang satu ranjang. Di sini aku menyimpulkan bahwa tak semua Ibu tiri jahat. “Ve... sudah siap belum?” teriak Bu Lili dari luar kamar. “Iya, Bu... sebentar,” sahutku. Hari ini kami akan ke rumah Ibu mengantar undangan. Sebenarnya aku malas ke sana, tapi karena Bu Lili terus memaksa, aku tak kuasa menolak. Durhaka katanya jika aku tak sowan Ibu sebelum menikah padahal dekat. Di depan cermin, aku mematut diri sejenak. Setelah itu langsung menyambar sling bag, Mengambil dua buah undangan lalu segera keluar kamar. “Yuk!” ajaknya. Kami berjalan beriringan keluar rumah. Setelah mengunci pintu, dengan mengendarai sepeda motor kami segera meluncur. Tak butuh waktu lama, kami sampai d
Read more
BAHAGIA
“Saya terima nikah dan kawinnya Vera Yunita Sari bin Herman untuk saya dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!” “Sah!” Dengan satu tarikan nafas Mas Farhan lantang mengucap ijab kabul. Suasana hening sesaat lalu berganti riuh tepuk tangan para tamu undangan. Aku mencium takdim punggung tangan Mas Farhan-lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku. Tak bisa dipungkiri bahwa Alloh maha membolak-balikkan hati. Contohnya aku sendiri. Lima tahun menjalin asmara dengan Rizal, kandas karena pengkhianatan dan dalam waktu singkat rasa itu pindah ke lain hati. “Selamat ya! Semoga menjadi keluarga yang samawa!” “Semoga cepat dapat momongan ya!” “Kalian berdua memang pasangan yang serasi!” Duduk di pelaminan, ucapan selamat dari para tamu undangan membanjiri. Pujian, sanjungan, dan segenap doa sesekali terucap dari sanak saudara dan sahabat. Dalam hati aku mengucap syukur karena pada akhirnya aku menemukan lelaki yang tepat untuk kujadikan imam. Waktu semakin beranjak siang
Read more
KARMA
Pagi. Aku menyambutnya dengan segudang kebahagiaan. Impian untuk bisa bersatu dengan Mas Farhan dalam ikatan yang halal telah terwujud. Dan sekarang, aku menjalani hari pertama sebagai seorang istri. “Mas! Ibu sudah menunggu kita buat sarapan!” ucapku memanggil Mas Farhan yang sedang memainkan ponsel di kamar. “Iya.” Mas Farhan bangkit, meletakkan ponsel di atas ranjang kemudian kami berjalan beriringan. Sampai di meja makan, rupanya Linda juga sudah ada di sini. Aku menarik kursi kemudian duduk berjajar dengan Mas Farhan. Ini kali pertama kami makan bersama sebagai sebuah keluarga. Linda sesekali berdehem memainkan alis membuatku salah tingkah. Teman akrab sekarang telah menjadi adik ipar. “Bu, habis ini kami mau ke rumah Ibunya Vera ya! Kemarin mereka enggak datang, takut ada apa-apa,” pamit Mas Farhan di sela makan. “Iya. Tapi jangan ngebut ya! Kamu pasti masih capek kan?” Ibu mengerlingkan mata menggoda kami. Tersipu malu, aku menundukkan wajah. Apa begini rasanya jadi pen
Read more
DITAGIH
“Bagaimana ini, Mas?” tanyaku setelah Bu Erna pergi. Sempat terpikir untuk memikul beban ini sendiri, tapi karena sudah bersuami, tak benar jika aku mengambil keputusan tanpa melibatkan Mas Farhan. “Kita ajak Ibumu tinggal bersama kita saja! Aku yakin Linda dan Ibu mau mengerti,” usul Mas Farhan. Membawa Ibu tinggal di rumah mertua bukan suatu keputusan yang tepat apalagi dengan keadaan yang seperti itu. Bukan tak mungkin hanya akan mengganggu ketenangan mereka saja!Awalnya mungkin mereka akan menerima karena segan, tapi bisa saja ke depannya akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan menghancurkan rumah tangga kami. “Kenapa kita tidak tinggal di sini saja, Mas? Aku bisa merawat Ibu tanpa harus membebani orang lain,” tanyaku. “Loh, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau rumah ini milik bapak kamu? Bagaimana kalau dia tiba-tiba datang bersama selingkuhannya? Apa Ibu tidak semakin depresi?” tanya Mas Farhan balik. Benar. Aku yakin salah satu penyebab sakitnya Ibu ka
Read more
PENGAKUAN RIZAL
“Hey... kok malah melamun? Jadi pulang dulu enggak?” tanya Mas Farhan sembari memainkan tangan di depan wajahku. “Sepertinya kita harus mencari Rizal dulu, Mas! Dia yang sudah membawa kabur uang Ibu. Dia harus bertanggung jawab!” “Tapi mau cari ke mana?” tanyanya bingung. “Kita ke rumahnya saja, Mas! Barangkali dia ada di rumah,” sahutku. “Masa iya habis bawa kabur uang orang diam di rumah. Palingan sudah hilang entah ke mana,” papar Mas Farhan. “Ya siapa tahu, Mas!” jawabku. Entah kenapa aku punya keyakinan kalau Rizal masih ada di daerah ini. Mungkin karena selama dekat dengannya, dia sama sekali tak pernah merantau ke mana pun. Tiap hari hanya asyik keluyuran bersama teman-temannya. “Ya sudah, kita ke sana sekarang! Nanti kalau enggak ketemu, kita langsung pulang!” ajaknya. Kami pun segera bertandang mencari Rizal ke rumahnya. Karen Mas Farhan enggak tahu alamatnya, aku yang menjadi penunjuk jalan. Tak sampai setengah jam, kami telah sampai di rumah Rizal. Kami langsung tu
Read more
IZIN
“Apa kalian sudah mantap tinggal di sana?” tanya Ibu mertua saat Mas Farhan minta izin. Aku meraih gelas di depanku, meneguk isinya hingga tandas lalu meletakkan kembali di tempat semula. “Ya mau bagaimana lagi, Bu, keadaan Ibuku seperti itu.” Ada sebuah kekhawatiran yang menyelinap di dalam dada. Takut Ibu mertua tak mengizinkan kami tinggal di sana apalagi mereka semua sudah tahu jika rumah itu milik Bapak tiriku. “Ya sudah... terserah kalian saja yang penting kalian rukun. Tapi malam ini kalian nginep di sini dulu ya,” harap Ibu mertua. Aku menarik nafas lega setelah apa yang kudengar. Dengan legawa Ibu merelakan anak laki-lakinya tinggal bersama mertua yang depresi. “Iya, Bu!” sahut kami serempak. Setelah itu kami lanjut menikmati makan malam sembari mengobrol. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga baru yang harmonis, berbanding terbalik dengan keluargaku. “Nanti malam kamu tidur sama aku ya, Mbak,” ucap Linda sembari menikmati makanannya. “Hush! Kakakmu lagi romantis-rom
Read more
PERTENGKARAN
“Kamu di sini, Ve?” sapa Bapak. “Dari mana saja, Pak? Kenapa meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti itu?” Aku memasang wajah ketus. “Ada kepentingan,” jawab Bapak lalu menyelonong masuk ke dalam. Aku mengikutinya sampai ke kamar. Bapak terkejut melihat keadaan Ibu yang duduk di sudut ruangan dengan tangan memeluk lutut. “Ibu kenapa, Ve?” tanya Bapak. “Ini gara-gara Bapak! Ibu depresi karena ditagih hutang dan Bapak justru main perempuan!” seruku. Bapak mengalihkan pandangan, menatapku tajam seolah tak terima dengan ucapanku. Sulu, aku selalu menunduk jika melihat Bapak semarah ini, tapi tidak kali ini. “Yang sopan kamu bicaranya!” bentaknya. “Aku hanya bisa sopan pada orang yang punya akhlak! Bapak sudah keterlaluan!” makiku. “Diam kamu!” hardiknya. Sedikit panik, tapi dengan cepat aku menguasai pikiran. “Kamu yang diam!” Aku balas menghardik, “Sebagai seorang suami seharusnya Bapak memikirkan kebutuhan hidup keluarga ini. Bukannya malah main perempuan dan membebankan hutan
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status