All Chapters of DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI: Chapter 31 - Chapter 40
58 Chapters
MEMBALAS BAPAK
Mas Farhan mengemudikan mobil menyusuri jalanan menuju rumah. Dia setuju kalau kami pindah ke kampung halaman Ibu, tapi karena harus menyelesaikan urusan di tempat kerja, untuk sementara kami tinggal di rumah Ibu mertua. Sampai di rumah, aku langsung turun lalu memapah Ibu. Meski sedikit kaget, Ibu mertuaku menyambut dengan membantuku tanpa banyak tanya. Ibu seperti ketakutan saat melihat Ibu mertua, tapi setelah aku membujuk, dia sedikit tenang.“Langsung ke kamar tamu saja, Ve!” perintah Ibu mertua. “Enggak usah, Bu! Biar si gudang belakang rumah saja!” tolakku. “Hush! Jangan sembarangan kamu! Dia itu Ibumu, jadi perlakukan dia dengan baik!” seru Ibu mertua. Tak terniat untuk memperlakukan Ibu sembarangan, tapi aku sadar diri. Di sini kami menumpang, jadi menurutku gudang menjadi pilihan tepat. Aku hanya khawatir jika Ibu berulah dan mengganggu kenyamanan penghuni rumah. “Apa enggak merepotkan, Bu?” tanyaku ragu. “Jangan khawatir. Kalian sudah jadi bagian dari keluarga ini, j
Read more
BERSAMA
Selagi Bapak di dalam rumah, buru-buru aku melajukan motor, khawatir jika dia kalap lalu merebut kendaraan ini. Tentu aku yang akan dirugikan. Sampai rumah, Mas Farhan tengah berdiri di teras menyambutku. Terbersit rasa bersalah pergi tanpa izin suami, tapi jika bilang dulu khawatir tak diizinkan. Aku memarkirkan motor di depan garasi. Mencopot helm lalu berjalan mendekat pada Mas Farhan. “Dari mana kamu, Ve? Dari tadi aku cari enggak ada,” tanyanya. “Dari rumah Bapak,” jawabku. “Ngapain?” Mas Farhan memandangku dengan tatapan heran. Kedua alisnya hampir bertautan. “Enggak... Kamu sudah mandi, Mas?” Aku mengalihkan topik pembicaraan. “Sudah,” jawabnya. “Masuk yuk! Aku mau mandi dulu, gerah. Habis itu baru masak. Kamu sudah lapar kan?” Aku menarik tangan suamiku yang masih berusaha mengajakku bicara. Bukannya aku tak mau cerita, tapi aku pikir nanti saja ngomongnya. Seusai mandi dan berganti pakaian, aku langsung ke dapur. Rupanya Ibu dan Linda sudah ada di sana. “Masak apa,
Read more
ANCAMAN
“Ayolah, Han! Malam ini saja. Aku ini juga mertuamu,” bujuk Bapak. Apa aku tidak salah dengar? Dia mengaku suamiku sebagai menantu padahal tadi siang dengan pongahnya dia mengusir kami. “Kamu bukan mertuaku!” jawab Mas Farhan tegas. Syukurlah! Aku khawatir jika Mas Farhan menaruh Iba pada Bapak. Bukan tak mungkin dia hanya akan dimanfaatkan saja. Bapak kaget. Dia terlihat tersinggung, tapi dengan cepat wajah itu kembali memelas. “Jangan begitu, Han! Meski bukan Bapak kandung, aku tetap orang tuanya Vera.” Lagi. Bapak kembali merayu dengan kata-kata yang membuatku serasa ingin muntah. “Sudahlah, Pak! Mending Bapak pergi saja. Minta tumpangan sana sama selingkuhanmu!” Aku mencebikkan bibir, menyindir Bapak yang telah ditinggal istri mudanya. Salah siapa membuat Ibu jadi depresi. “Siapa yang datang, Han?” Dari arah dalam Ibu berteriak. Suara derap langkah kaki terdengar semakin jelas mendekat ke arah kami. Sebelum Mas Farhan menyahut, Ibu sudah berdiri di sampingku. “Oh... rup
Read more
INSAF
Pagi. Aku menyambutnya dengan senyuman. Setelah tadi malam berkemas, hari ini kami siap-siap berangkat ke kampung halaman Ibu. Semua barang sudah Mas Farhan masukkan ke dalam mobil. Tinggal mengajak Ibu dan segera berangkat. “Bu, Lin, kami berangkat dulu ya,” pamit Mas Farhan. “Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai cepat kabari,” pesan Ibu. Bergantian, kami mencium takdim punggung tangan Ibu. Setelah Itu, kupeluk hangat sahabat sekaligus adik iparku-Linda. “Aku bakal kangen kamu, Mbak,” ucap Linda sendu. “Iya, Lin. Aku juga pasti kangen kok, tapi mau gimana lagi,” sahutku. “Jangan khawatir, kami akan sering main ke sini kok,” sela Mas Farhan. “Iya, kalau enggak kamu yang main ke sana ya,” tambahku. Perpisahan memang selalu menyisakan sesak. Namun, tak boleh sampai larut dalam kesedihan. Toh, kami hanya beda kota, jadi masih bisa saling mengunjungi. Selesai, aku menjemput Ibu di kamar kemudian membantunya masuk ke mobil. Duduk bersebelahan dengannya sedangkan Mas Farhan s
Read more
KETEMU
“Alhamdulillah ya, Ve. Akhirnya Bapak kamu menyadari kesalahannya,” ucap Bu Lily saat kami berdua di teras. Sejak pagi tadi Mas Farhan sedang ikut Pak Herman, katanya mau dicarikan pekerjaan yang cocok. “Iya, Bu! Semoga saja beneran insaf,” sahutku. Sebenarnya aku tak terlalu yakin Bapak akan berubah. Hanya saja aku memang harus memberinya kesempatan. “Oh iya , Ve, kamu jadi menetap di sini kan, tinggal bareng Ibu?” Bu Lily menatapku penuh harap. “Bagaimana ya, Bu. Kemarin Ibunya Mas Farhan juga minta kami balik ke sana,” jawabku ragu. Dulu aku selalu merasa hidup sendiri setelah pengkhianatan orang-orang yang kusayangi. Tapi, ternyata aku salah. Setelah kecewa yang sempat membuat frustasi, aku dipertemukan dengan orang-orang baik. Bu Lily, pak Herman, juga Mas Farhan dan keluarganya. “Ayolah, Ve, tinggal di sini saja! Apa kamu enggak kasihan sama kami yang kesepian?” bujuk Bu Lily dengan nada memelas. Kalimatnya berhasil membuatku tersentuh, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa
Read more
pengakuan Ela
Kalau dipikir benar juga apa kata Mas Farhan. Jika bicara di sini tak menutup kemungkinan aku akan terbawa emosi. Tentu akan membuat kami malu. Aku mengambil beberapa bungkus oleh-oleh, menyerahkan pada Mas Farhan dan memintanya ke kasir. Dari kejauhan kuawasi gerak-gerik Ela yang sedang membayar belanjaannya sedangkan Mas Farhan ada di kasir yang berbeda. Selesai, Ela beranjak keluar menuju tempat parkir. Aku menengok ke belakang. Rupanya Mas Farhan sedang berjalan mendekatiku. “Buruan, Mas!” pekikku tertahan. Kami berdua mengendap-endap menuju mobil agar Ela tak melihat, dan sedikit tenang setelah masuk di dalam mobil. Adikku itu mencantelkan belanjaannya di motor kemudian segera meluncur meninggalkan tempat parkir. Tanpa aku minta Mas Farhan langsung melajukan mobil menguntit Ela. Beberapa kali kami hampir kehilangan jejak, untungnya suamiku lincah mengemudi. Sampai akhirnya aku lihat Ela berhenti di depan sebuah rumah yang modelnya menyerupai kos. Mas Farhan menghentikan mo
Read more
Ela datang
Senja hampir tiba saat kusambut Mas Farhan yang baru pulang kerja. Dua minggu ini kami sudah menempati rumah baru. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya Ibu mertua kami mengontrak rumah yang dulu ditempati bersama Bu Lily. Mas Farhan-suamiku, sekarang dia tengah merintis usahanya. Bermodalkan uang pemberian Ibu Mertua dia membuka sebuah bengkel di dekat alun-alun kota. “Mau minum kopi dulu, Mas?” tanyaku setelah mencium takdim punggung tangannya. “Boleh.” Mas Farhan meletakkan bobotnya di atas kursi kayu di teras rumah sedangkan aku masuk ke dalam lalu segera kembali dengan secangkir kopi hitam di tangan. “Ini, Mas!” Aku melempar senyum padanya yang terlihat lelah. Dia balas senyum. Menyeruput sedikit kopinya kemudian meletakkan kembali di tempat semula. “Bagaimana bengkelnya, Mas? Ramai?” Aku menarik kursi lalu duduk menghadap Mas Farhan. “Alhamdulillah, meski baru buka seminggu lumayan ada yang datang,” ucapnya sembari menyeka keringat di dahi. “Syukurlah...
Read more
Dilema
“Pokoknya aku enggak mau tahu! Kamu harus mengurus Ela dan calon anakmu. Terserah mau tinggal di mana. Yang penting jangan di rumahku!” Tajam, sorot mata Mas Farhan menatap Rizal. Nafasnya memburu hingga dapat kudengar jelas irama detak jantungnya yang tak beraturan. Sementara Rizal gelagapan, Ela tertunduk sembari meremas sisi bajunya. “Tidak!” Kakak perempuan Rizal bangkit sembari menggebrak meja. “Aku tidak rela jika dia tinggal bersama Rizal. Bisa-bisa adikku kurus kering jadi sapi perahnya!” Perempuan yang setahuku berperangai ramah, kini menjelma menjadi iblis betina. Matanya nyalang menatap Ela dengan jemari menunjuk-nunjuk wajahnya. Sebagai sesama perempuan seharusnya dia bisa memosisikan dirinya! Bukan malah memperkeruh keadaan!Sesaat, hening menyelimuti kami. Semua diam dalam deru nafas yang memburu. Keangkuhan, keegoisan mengacaukan pembicaraan yang seharusnya dilakukan dengan tenang. “Sudahlah, Mas! Kita pulang saja. Mereka tak mau menerima Ela. Biar saja nanti tuha
Read more
KEPUTUSAN TEPAT
Pagi. Seperti biasa aku menyiapkan sarapan sebelum Mas Farhan berangkat ke bengkel. Meski mata terasa panas dan kepala berdenyut nyeri karena semalaman tak terlelap, aku tetap melakukan kewajibanku sebagai istri. Saat aku sedang menata makanan di meja, Mas Farhan yang sudah mengenakan pakaian kerja datang menemuiku. “Aku berangkat dulu, Ve!” ucapnya dingin. Dia mengulurkan tangan untuk kucium, tapi aku mengabaikannya. Tak biasa dia pergi sebelum sarapan. “Sarapan dulu, Mas!” tawarku. “Nati saja di tempat kerja,” jawabnya hendak beranjak. “Tunggu, Mas!” aku berlari mendahului lalu menghadang langkahnya. “ada apa?” tanyanya. “Duduk dulu. Ada yang mau aku bicarakan.” Aku menarik tangannya lalu memaksanya duduk di depan meja makan. Setelah itu aku memanggil Ela dan mengajaknya berkumpul. “Hari ini enggak usah bekerja, Mas! Tolong nanti antar Ela ke rumah nenek,” mohonku. Mas Farhan terlihat kaget, tapi segera berganti senyum. Berbeda dengan Ela yang seperti tak suka dengan kepu
Read more
KABAR BURUK
Dua bulan telah berlalu. Setelah semua kemelut yang kulewati, pada akhirnya bahagia datang menghampiri. Perlahan, usaha Mas Farhan mulai menunjukkan hasil. Hari demi hari bengkelnya mulai diminati pelanggan. Bahkan dia mulai memperkerjakan tiga orang. Siang ini, saat menunggu suami pulang kerja, aku rebahan sembari menonton televisi. Sebenarnya agak kesepian karena kalau siang aku selalu sendiri, tapi mau bagaimana, Mas Farhan tak mengizinkan aku bekerja. Dering nada panggilan terdengar nyaring. Gegas aku bangkit lalu menuju kamar. Kusambar benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Sebuah kontak dengan nama ‘Bapak’ terpampang di layar. Segera kugeser tombol hingga terdengar salam dari seberang sana. “Waalaikum salam, Pak!” sahutku. Aku dan Pak Herman-bapak kandungku memang sering berkomunikasi. Setidaknya seminggu sekali. Dia rutin mengabarkan keadaan Ibu yang katanya berangsur-angsur pulih. “Kalian bisa ke sini enggak, Ve? Bu Lili sakit. Dia ingin ketemu kamu,” tanya Bapak de
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status