DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI

DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI

Oleh:  Putri putri  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 Peringkat
58Bab
36.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Demi membiayai sekolah adiknya, Vera rela menggadaikan raga menjadi buruh di kota. Namun, saat pulang kampung dia dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Rizal, calon suaminya telah menikahi adiknya. Akankah Vera merebut kembali cintanya atau justru merelakan?

Lihat lebih banyak
DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
default avatar
Kiyowo Girl
Sukaaaa sekali buku ini... Cuss masuk rak buku jadi favoritku setelah novel punya Kak Qeqe yang Istri pilihan pewaris lumpuh.
2023-02-09 16:18:39
0
user avatar
Dita Andra
selalu suka ceritanya, semoga episode berikutnya lebih panjang lagi Thor. semangat dan terimakasih tulisannya menghibur dan selalu ku tunggu
2023-01-14 04:20:38
1
user avatar
Trisnawati Hjsyofian
cerita yang menarik...
2023-01-05 11:12:38
1
user avatar
Putri putri
happy reading. semoga suka cerita ini.
2022-12-11 11:29:29
1
58 Bab
Bab 1
“Jadi kalian sudah menikah?” tanyaku dengan suara parau. “Iya, Dek. Maafkan aku,” jawab Mas Rizal, calon suamiku. Seketika air mata ini luruh seiring pengakuan Mas Rizal. Hati ini menjerit sakit. Sedikit pun tak menyangka dia akan mengkhianati janji yang telah terucap. “Kenapa kalian mengkhianatiku? Kenapa?” lirihku perih.Jika yang merebut Mas Rizal bukan Ela-adikku, mungkin tak akan sesakit ini. Namun, inilah kenyataannya. Di saat aku merantau mencari uang untuk biaya sekolah Ela, dia justru membalas dengan pengkhianatan. “Maaf, Mbak. Ini bukan inginku. Kami terpaksa,” jelas Ela. Aku menyeka bulir bening di pipi. Tersenyum kecut menatap adikku yang baru saja lulus sekolah menengah atas. Seperti janjiku dulu, aku baru akan menikah setelah selesai membiayai sekolah Ela. Namun, kenapa dia justru menikungku? “Terpaksa kenapa? Apa kamu hamil duluan? Iya?” tuduhku sembari melirik pada perutnya yang masih rata. “Enggak, Dek. Kami tidak serendah itu.” Mas Rizal menjeda kalimatnya se
Baca selengkapnya
BAB 2
Waktu terasa lambat berjalan. Baru dua jam aku mengurung diri di kamar, tapi rasanya seperti dua hari. Sejak kemelut di ruang tamu tadi, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkan hati larut dalam kepedihan. Menumpahkan kecewa dalam tangis. Aku bangkit dari ranjang, lalu berjalan mendekat pada meja rias yang masih setia berdiam di sudut kamar, memindai wajah dari pantulan cermin. Cantik, tapi kenapa Mas Rizal lebih memilih Ela?Jengah dengan aktivitas ini, aku mendekat pada jendela. Kuedarkan pandangan ke luar ruangan, menikmati siluet senja yang mulai meredup. Dulu, aku dan Mas Rizal sering menghabiskan waktu berdua sekedar menikmati senja. Merajut mimpi, menatap masa depan dalam balutan cinta. “Ve..., sudah mau magrib. Mandi dulu,” teriak Ibu dari luar kamar. Aku terjaga dari lamunan. Berjalan membuka pintu lalu membiarkan Ibu masuk. Kami duduk berdua di tepian ranjang.“Mandi dulu, Ve. Biar pikiranmu jernih.” Ibu menasihati. “Nanti saja, Bu. Malas,” jaw
Baca selengkapnya
BAB 3
Lamunanku buyar tatkala pintu kamar diketuk tiga kali. Suara lembut ibu terdengar memanggil, meminta aku keluar untuk makan malam bersama. “Iya, Bu. Sebentar,” jawabku berteriak. Dengan malas aku bangkit lalu beranjak keluar. Saat sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul mengitari meja makan, tak terkecuali Mas Rizal. Perih di hati kembali terasa saat melihat Mas Rizal duduk berjajar dengan adikku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan bokongku di sebelah Ibu, berseberangan dengan Mas Rizal dan Ela. Seharusnya makan malam ini menjadi momen bahagia karena sudah hampir dua bulan tak berkumpul. Sayangnya ini menjadi momen paling menyakitkan karena harus melihat Mas Rizal bersanding dengan adikku. “Ibu sengaja masak ayam goreng kesukaanmu. Maka yang banyak ya, Ve,” ucap Ibu. “Iya, Bu,” jawabku datar. Aku mengambil secentang nasi beserta sepotong ayam goreng dan sambal terasi. Sesuap demi sesuap aku terus memaksa untuk makan meski sebenarnya aku sama sekali tak menikm
Baca selengkapnya
BAB 4
Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Membiarkan embusan angin menyapa seluruh tubuh, berharap sedikit mampu mengurangi beban di hati. Namun, nyatanya beban itu masih sama mengimpit perasaan. Berhenti di jalanan yang cukup sepi, aku turun kemudian berteriak sepuasnya melampiaskan kecewa di dalam dada tanpa memedulikan orang lewat yang menatap aneh ke arahku.“Mereka semua kejam. Egois. Tak pernah mengerti sedikit pun tentang perasaanku. Semua sama. Hanya memanfaatkan tenagaku saja.” Aku meracau tak karuan.Puas, aku kembali melajukan motor masih tanpa tujuan yang pasti. Entah pada siapa akan kuadukan semua perih selain pada sepi yang semakin merambat sunyi. Pada akhirnya aku memutuskan ke rumah Linda sahabatku. Mungkin dia bisa membantu menyelesaikan masalah yang tengah kuhadapi. “Assalamu alaikum, Lin.” Aku mengetuk pintu sembari mengucap salam. “Waalaikum salam,” sahut suara perempuan dari arah dalam. Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Sosok perempuan berwaj
Baca selengkapnya
MOTOR DIJUAL
“Iya, Mas..., tapi itu dulu,” jawabku sembari menundukkan pandangan. Malu? Tentu saja! Ada kalanya kita harus jujur meski terkesan memalukan. Tak apa, toh ini hanya perasaan yang sudah terlewat. “Apa sekarang sudah enggak suka?” Mas Farhan menatapku penuh selidik, membuatku semakin salah tingkah. “Pasti masih, Mas! Yang namanya cinta pertama mana bisa dilupakan begitu saja,” sela Linda. Kontan saja aku terperangah. Linda kembali membuka rahasiaku. Aku langsung mencubit pinggulnya hingga dia mengaduh kesakitan. “Rasain! Salah siapa ember!” umpatku dalam hati. “Jadi aku cinta pertamamu, Ve? Kenapa enggak terus terang dari dulu? Kalau tahu begitu sudah kulamar kamu,” ucap Mas Farhan. Tercengang, aku mencoba mencerna kalimat Mas Farhan. Apa maksudnya dengan ‘kulamar’?“Lamar sekarang saja, Mas! Kan sekarang Vera jomlo,” cicit Linda. Astaga! Punya teman kok kayak begini amat. Main celetuk tanpa dipikir dulu. “Memangnya Vera mau menerima kalau aku melamarnya?” tanya Mas Farhan pada
Baca selengkapnya
RIZAL MARAH
Aku terduduk lemas di lantai teras, tak menyangka Bapak setega itu. Dulu sebelum aku bekerja, Bapak sering memarahiku tanpa alasan yang jelas. Setiap hari aku dipaksa mengalah dengan Ela, seolah dia tak sayang padaku. Setelah aku bekerja dan rutin mengirim uang, Bapak menjadi baik. Dia sangat perhatian padaku bahkan sering sekali menelepon sekedar menanyakan kabar. Semula aku pikir Bapak sudah berubah, tapi nyatanya dia hanya butuh uangku saja!“Kamu kenapa, Ve? Kok lesu begitu?” tanya Ibu yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dariku. Lesu, aku menengadahkan wajah, menatap perempuan yang telah melahirkanku. “Motorku dijual Bapak, Bu!” “Kamu serius?” Ibu menatap penuh selidik seolah meragukan omonganku.“Tanya saja sama Bapak,” jawabku. Ibu berbalik masuk ke rumah sementara aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang terselempang di pundak. Mencari kontak dengan nama Linda lalu segera menghubungi dan memintanya menjemputku ke rumah. Tak berselang lama, Ibu kembali datang, lalu i
Baca selengkapnya
HARI INI
“Kita ke mana, Ve?” tanya Farhan saat kami sedang di perjalanan. “Ke rumah kamu saja, Mas! Aku mau ketemu sama Linda,” jawabku. “Linda lagi pergi, Ve,” terang Farhan. “Ya sudah terserah Mas saja, yang penting pergi dari rumah,” jawabku. Aku memejam sejenak sambil memijit pelipis. Kepala rasanya mau pecah memikirkan keluargaku yang kacau. Setiap orang yang waras pasti ingin keluarganya damai tidak terkecuali dengan aku. “Kamu kok kayak stres gitu, Ve? Apa Bapakmu minta uang lagi?” tanya Mas Farhan. “Mending kalau minta, aku masih bisa menolak. Ini motorku yang dijual buat resepsi Ela. Apa enggak kebangetan?” keluhku. Sebenarnya tak enak hati menceritakan aib keluarga pada Mas Farhan, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang aku butuh teman curhat untuk mengurangi beban pikiran. “Ambil hikmah saja, Ve!” ujar Mas Farhan. Aku mengalihkan pandangan, menatap sekilas pada Farhan lalu kembali menatap lurus ke depan. “Hikmah apa, Mas? Yang ada aku yang harus mengalah terus!” “Semua yang ter
Baca selengkapnya
BELAJAR TEGAS
Belum satu menit meluruskan punggung, Ibu sudah berteriak memanggil sembari menggedor-gedor pintu kamar. “Iya, Bu!” sahutku dari dalam kamar. “Keluar sebentar, Bapak mau bicara,” pekik Ibu. “Nanti saja, Bu! Capek!” tolakku. Seharian habis jalan sama Farhan, penat tak lagi terelakkan. Lagian, bentar lagi juga mau magrib. Kan bisa bicaranya nanti saja. “Bapak minta sekarang, penting katanya!” ucap Ibu. “Iya,” jawabku menahan kesal. Sepenting apa sih sampai senja begini Bapak mau bicara? Dengan malas aku bangkit, berdiri lalu beranjak membuka pintu. Ibu masih berdiri mematung menungguku. “Ada apa sih, Bu?” gerutuku. “Duduk dulu, Bapak mau bicara,” ucap Ibu. Aku menurut. Berjalan ke arah Bapak yang tengah duduk di lantai ruang keluarga lalu meletakkan bobot berhadapan dengannya. Pun dengan Ibu, dia duduk di sebelah Bapak. “Bicara penting apa sih, Pak?” tanyaku memasang wajah masam. Kejadian tadi pagi masih membuatku dongkol, sekarang rasanya malas jika bicara dengannya. “Begi
Baca selengkapnya
PERMINTAAN GILA
Farhan menghentikan mobilnya di depan rumah. Turun, lalu mengajakku masuk ke dalam. Mempersilakan aku duduk di ruang tamu. “Tunggu sebentar, Ve! Aku panggil Ibu dulu,” pamit Farhan lalu beranjak pergi. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Mencoba menata hati yang berdebar tak karuan. Tak berselang lama, Farhan datang bersama Ibunya. Perempuan paruh baya itu melempar senyum ke arahku lalu mengulurkan tangan. Gegas aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangannya. “Apa kabar kamu, Ve?” tanya Ibu setelah dia dan Farhan duduk. “Baik, Bu,” jawabku gugup. “Begini, Ve..., Ibu mengundangmu ke sini karena ada yang ingin Ibu bicarakan sama kamu,” ucap Ibu dengan nada suara terdengar serius. “Tentang apa, Bu?” tanyaku penasaran. “Tentang kalian berdua,” jawab Ibu. Bingung, aku mengalihkan pandangan menatap Mas Farhan dan dibalas senyum olehnya. “Kemarin Farhan cerita kalau kalian sudah sangat dekat. Farhan minta Ibu melamar kamu. Apa kamu sudah siap?” tanya I
Baca selengkapnya
(bukan) anak haram
Pagi. Aku telah berdandan seadanya, menunggu kedatangan Mas Farhan dengan hati gelisah. Khawatir kalau orang tuanya berubah pikiran setelah tahu permintaan Bapak yang keterlaluan. Terdengar suara pintu di ketuk. Ibu berteriak memintaku membukanya. “Masuk saja, Bu! Enggak dikunci,” sahutku tanpa beranjak dari depan meja rias.Pintu terbuka. Ibu masuk lalu menutupnya kembali. Dia berjalan mendekat lalu memegang pundakku. Dari pantulan cermin, kulihat ibu gelisah. Entah apa yang ada di pikirannya.“Ve,” ucap Ibu. “Iya,” sahutku tanpa menoleh. Aku terlalu sibuk memikirkan kemungkinan jika Mas Farhan tak datang. Sepertinya aku takut kehilangan.“Ada yang ingin Ibu bicarakan. Kamu harus tahu ini!” ujarnya lagi. “Tahu apa, Bu?” Aku menyipitkan mata, menatap Ibu dari kaca cermin. “Tapi kamu janji enggak akan membenci Ibu,” mohonnya. Aneh! Enggak biasanya Ibu memintaku berjanji. Kalau mau bicara ya tinggal bicara langsung. Tidak bertele-tele begini. “Kamu janji kan?” ulangnya. “Iya,”
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status