Lahat ng Kabanata ng Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu: Kabanata 11 - Kabanata 20
77 Kabanata
11. Aksi Wati
Dedy terdorong ke dalam kamar. Ia melihat Wati bergulung di dalam selimut sampai ke kepala. Jadi betul, Wati ternyata tertidur. Melihat lekuk tubuh Wati yang membentuk di balik selimut, hasrat Dedy semakin memuncak.Dedy menutupkan kembali daun pintu, lalu melangkah mendekati Wati dengan jakun naik turun.Wati yang mendengar pintu berhasil didobrak oleh Dedy, terkesiap di balik selimut. Jantungnya berdebar kencang. Ia takut disentuh Dedy lagi. Sementara langkah-langkah kaki Dedy mendekatinya, Wati berpikir keras cara menggagalkan niat mesum Dedy.Dedy menerkam Wati di tempat tidur.“Aaa!” Wati berpura-pura terkejut dan berteriak keras.Hal itu dilakukannya agar Rara yang mungkin sudah tidur dapat terbangun. Wati sengaja berteriak sekencang-kencangnya. Namun, teriakannya yang baru setengah jalan sudah langsung dipotong oleh Dedy.Dedy menutup mulut Wati dengan mulutnya. Dedy langsung menyerang Wati tanpa basa-basi lagi. Wati gelagapan. Ia panik dan ketakutan. Wati tak mau disentuh lagi
Magbasa pa
12. Buku Nikah
Sambil tertegun, Wati menduga-duga sendiri. Mungkinkah itu nama mantan suami Rara sebelum menikah dengan Dedy? Bukankah Rara itu janda ketika melamar Dedy. Wati tak sempat berpikir jauh-jauh. Ia ingat harus segera mencari buku nikahnya, sebelum Dedy dan Rara kembali. Wati menyingkirkan map berisi sertifikat rumah, lalu melanjutkan membuka map ketiga. "Nah, ini dia!" seru Wati senang.  Ternyata betul dugaannya. Pada map ketiga tersimpan empat buah buku nikah. Cepat-cepat Wati mengecek buku-buku tersebut. Betul, dua diantara buku nikah itu merupakan miliknya dan Dedy. Wati mengambil kedua buku tersebut. "Eh, apa ini?" Wati mengernyitkan dahi.  Dua buah buku nikah lain menarik perhatian Wati. Wati melihat sekilas isinya dan mendapati foto Dedy dan Rara di dalam buku-buku itu. Jadi Dedy telah membuat buku nikah lain selain buku nikahnya dengan Wati. "Ha
Magbasa pa
13. Dikurung
Wati melindungi kepalanya dengan tangan. “Sudah, sudah, Sayang!” lerai Dedy yang baru turun dari sepeda motornya. “Jangan sampai dia sakit, nanti kamu sendiri yang repot,” bujuk Dedy lagi. Padahal di dalam hati Dedy, dia memiliki maksud yang lain. Apabila Wati sakit, pasti tidak bisa melayaninya di kasur dengan maksimal. “Bandel betul dia, Mas! Sudah kubilang nggak boleh keluar rumah. Sekarang mau kemana lagi, dia. Mungkin kabur!” sembur Rara. “Ssst! Sudah, malu dilihat orang,” kata Dedy sambil melirik kiri dan kanan. Beberapa orang sudah mulai memerhatikan drama keluarga mereka. “Ayo kita pulang, Wati,” kata Dedy lembut. Lebih tepatnya, Dedy sengaja berlembut-lembut agar orang-orang yang mulai memerhatikan dan memandangnya tidak curiga. Dedy membantu Wati duduk dari posisi rebah
Magbasa pa
14. Kabur
Selang setengah jam kenudian, Rara mulai merasakan efek obat yang dimasukkan Wati sebelumnya. Rara bangkit dari tidur, lalu mengeluh, “Aduh, peutku sakit sekali,” Rara meringis akibat lambungnya bergejolak. Rara lari ke kamar mandi. Baru saja selesai mengenakan celana lagi, perutnya sudah sakit lagi. Beberapa kali ia mengalami hal itu sampai Rara kelelahan sendiri. “Ada apa ini kok perutku begini,” keluh Rara bingung. “Mungkin kamu kebanyakan makan yang pedas,” celetuk Dedy. “Nggak! Makanku biasa saja,” tangkis Rara. “Lalu kenapa, dong?” tanya Dedy bingung. “Ya, makanya aku juga bingung,” sahut Rara kesal. Baru selesai bicara, Rara kembali merasa perutnya sakit. Ia kembali berlari ke kamar mandi. “Ya, ampun. Sampai capek aku bolak-balik ke kamar mandi,” gerutu Rara yang merasa lelah. “Astaga, hausnya,” ujar Rara lagi. Rara melangkah keluar kamar untuk mengambil air minum. Saat itulah ia melihat pintu kamar Wati yang terbuka lebar. Matanya melotot melihat kamar yang telah kos
Magbasa pa
15. Putri yang Terbuang
Bu Nara menepuk dahi. “Ya, ampun, Wati. Kebangetan sekali memang si Dedy. Sudah nggak kasih makan, nggak kasih rumah, juga nggak kasih pakaian. Huh!” Bu Nara mengomel. “Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah ini ikut Ibu ke pasar. Kita beli baju baru  buatmu. Biar murah asal baru dan pantas untuk dikenakan,” kata Bu Nara seraya mendorong Wati untuk segera memasuki kamar mandi. Usai mandi, Wati dan Bu Nara pergi ke pasar besar yang buka sampai sore hari. Bu Nara langsung mengajak Wati ke bagian toko pakaian jadi yang berada di pinggir pasar. “Pilih saja tiga baju yang kamu suka. Nanti, kamu bisa membeli baju baru yang bagus di toko khusus pakaian jadi. Sementara ini cukuplah tiga baju, ya,” ujar Bu Nara seraya mengajak Wati memasuki sebuah toko yang cukup besar. Lantaran jarang ke pasar untuk membeli baju, Wati kebingungan memilih pakaian yang
Magbasa pa
16. Pindah Rumah
“Tidak, Pak. Jangan lakukan itu,” pinta Wati mengiba. “Kenapa? Apa kamu kasihan kepadanya? Kamu masih cinta kepadanya?” cecar Pak Sultan dengan suara yang semakin lama semakin tinggi karena emosi. “Iya, Wati. Kenapa kamu tidak mengizinkan? Ibu kira kamu mau menggugat cerai si Dedy,” timpal Bu Nara tak terima. Tiba-tiba Wati tersenyum, membuat bingung Pak Sultan dan Bu Sultan. Sementara Bu Nara melihat hal yang lain dari senyum Wati. “Atau kamu punya rencana sendiri untuk membalas Dedy dan Rara?” tanya Bu Nara curiga. “Iya, Bu. Aku punya rencana sendiri. Pembalasan yang akan membuat Dedy dan Rara lebih sakit daripada sekedar dihajar,” ujar Wati tenang. “Apa rencanamu?” tanya Bu Sultan ingin tahu. “Aku ingin membuat usaha Rara bangkrut, agar dia merasakan sakitnya
Magbasa pa
17. Pembalasan
“Iya, Bu. Aku berencana membuka toko kelontong di pasar yang sama dengan Rara. Kalau perlu toko itu berhadapan dengan toko milik Rara. Toko itu menjual barang yang sama dengan barang yang Rara jual, bedanya harganya jauh lebih murah daripada barang di toko Rara,” Wati mengungkapkan rencananya. “Dengan cara itu, lama kelamaan toko Rara tidak laku dan tutup karena bangkrut. Cerdik,” puji Bu Sultan. “Bagus. Kamu pintar membuat strategi. Tak diragukan lagi kamu betul-betul anakku,” sahut Pak Sultan dengan senyum puas. “Agar berhasil, aku perlu bantuan Ayah dan Ibu untuk membeli kios di pasar dan mengisinya dengan barang-barang sembako seperti isi toko Rara,” kata Wati seraya menunduk. “Besok toko itu sudah akan kamu miliki. Apalagi yang kamu perlukan?” tanya Pak Sultan. “Saya perlu dua orang pegawai yang tepercaya untu
Magbasa pa
18. Melabrak
Rara mendengar omongan para pegawainya, tetapi dia tidak peduli. Rara merasa mereka sangat membutuhkan pekerjaan di tokonya, hingga mau menerima gaji dan perlakuan apa saja dari majikan. "Terserah kalian mau ngomong apa. Memangnya kalian bisa apa tanpa aku?" cibir Rara di dalam hati. Setelah jam makan siang, kesibukan toko di depan toko milik Rara sudah berkurang. Kios itu sudah berisikan barang-barang yang tertata rapi. Rara sempat melirik sekilas ke arah toko itu, lalu mencibir ke arah sepasang lelaki dan wanita yang ditebaknya sebagai suami istri. Rara kembali sibuk melayani pembeli, hingga tak lagi sempat memerhatikan toko di seberang sana. Ia baru tertarik untuk kembali melirik ketika mendengar salah satu calon pembelinya berseru cukup keras. “Lihat, itu ada toko kelontong baru. Harganya kok murah-murah betul. Kita coba ke sana, yuk,” ajak ibu-ibu kepada teman di sebelahnya.
Magbasa pa
19. Rara Berang
Para pegawai toko Rara meriung di belakang toko. Mereka merumpi dengan berbisik-bisik. Sebetulnya Dedy dapat mendengar obrolan para pegawainya, tetapi memilih diam dan tak menghiraukan. Dedy asyik mengkhayalkan Wati, berbuat apa saja semaunya bersama Wati di dalam lamunan. Begitulah Dedy bila sedang ingin, otaknya hanya mau memikirkan hal-hal mesum. “Mas, kok betah sih kerja di sini?” tanya Siti pelan kepada Wawan yang baru saja selesai menata barang di toko. “Bukan betah, sudah lama aku mau pindah, tetapi belum ada pekerjaan yang lebih baik. Aku enggak mungkin menganggur. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jawab Wawan murung. “Kalau Mbak Sri, kok betah kerja di sini selama dua tahun?” bisik Siti kepada Sri, perempuan paling senior diantara para pegawai Rara. “Aku ini janda, Sit. Punya anak kecil dan ibuku sudah tua. Mereka perlu aku b
Magbasa pa
20. Terusir
“Ehem! Bu, harap jangan membuat keributan di sini,” berat suara lelaki terdengar di belakang Rara. Rara berbalik. Ia melihat lelaki kekar berbadan besar yang menjadi pegawai toko berdiri tegak sambil bersedekap. Tatapan matanya tidak ramah, bahkan seolah mengancam Rara. Rara ciut juga melihat otot-otot besar si lelaki. Rara berbalik pergi tanpa basa-basi. Ia menyumpah-nyumpah di dalam hati. “Huft, untung saja,” desah Bu Diwo lega. Bu Diwo kembali mengambil dua kilo gula yang tadi sempat diletakkannya karena tak enak hati kepada Rara. “Bagaimana, Sayang?” sambut Dedy di depan toko. “Toko itu punya preman, Mas,” ujar Rara jengkel, bola matanya melirik dari sudut mata ke arah si lelaki kekar yang kini berdiri tegap di depan toko. “Kamu terlalu tegang. Sini aku pijiti,” kata Dedy seraya memijat lembut pu
Magbasa pa
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status