Wati melindungi kepalanya dengan tangan.
“Sudah, sudah, Sayang!” lerai Dedy yang baru turun dari sepeda motornya.
“Jangan sampai dia sakit, nanti kamu sendiri yang repot,” bujuk Dedy lagi.
Padahal di dalam hati Dedy, dia memiliki maksud yang lain. Apabila Wati sakit, pasti tidak bisa melayaninya di kasur dengan maksimal.
“Bandel betul dia, Mas! Sudah kubilang nggak boleh keluar rumah. Sekarang mau kemana lagi, dia. Mungkin kabur!” sembur Rara.
“Ssst! Sudah, malu dilihat orang,” kata Dedy sambil melirik kiri dan kanan. Beberapa orang sudah mulai memerhatikan drama keluarga mereka.
“Ayo kita pulang, Wati,” kata Dedy lembut. Lebih tepatnya, Dedy sengaja berlembut-lembut agar orang-orang yang mulai memerhatikan dan memandangnya tidak curiga.
Dedy membantu Wati duduk dari posisi rebah
Selang setengah jam kenudian, Rara mulai merasakan efek obat yang dimasukkan Wati sebelumnya. Rara bangkit dari tidur, lalu mengeluh, “Aduh, peutku sakit sekali,” Rara meringis akibat lambungnya bergejolak. Rara lari ke kamar mandi. Baru saja selesai mengenakan celana lagi, perutnya sudah sakit lagi. Beberapa kali ia mengalami hal itu sampai Rara kelelahan sendiri. “Ada apa ini kok perutku begini,” keluh Rara bingung. “Mungkin kamu kebanyakan makan yang pedas,” celetuk Dedy. “Nggak! Makanku biasa saja,” tangkis Rara. “Lalu kenapa, dong?” tanya Dedy bingung. “Ya, makanya aku juga bingung,” sahut Rara kesal. Baru selesai bicara, Rara kembali merasa perutnya sakit. Ia kembali berlari ke kamar mandi. “Ya, ampun. Sampai capek aku bolak-balik ke kamar mandi,” gerutu Rara yang merasa lelah. “Astaga, hausnya,” ujar Rara lagi. Rara melangkah keluar kamar untuk mengambil air minum. Saat itulah ia melihat pintu kamar Wati yang terbuka lebar. Matanya melotot melihat kamar yang telah kos
Bu Nara menepuk dahi.“Ya, ampun, Wati. Kebangetan sekali memang si Dedy. Sudah nggak kasih makan, nggak kasih rumah, juga nggak kasih pakaian. Huh!” Bu Nara mengomel.“Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah ini ikut Ibu ke pasar. Kita beli baju baru buatmu. Biar murah asal baru dan pantas untuk dikenakan,” kata Bu Nara seraya mendorong Wati untuk segera memasuki kamar mandi.Usai mandi, Wati dan Bu Nara pergi ke pasar besar yang buka sampai sore hari. Bu Nara langsung mengajak Wati ke bagian toko pakaian jadi yang berada di pinggir pasar.“Pilih saja tiga baju yang kamu suka. Nanti, kamu bisa membeli baju baru yang bagus di toko khusus pakaian jadi. Sementara ini cukuplah tiga baju, ya,” ujar Bu Nara seraya mengajak Wati memasuki sebuah toko yang cukup besar.Lantaran jarang ke pasar untuk membeli baju, Wati kebingungan memilih pakaian yang
“Tidak, Pak. Jangan lakukan itu,” pinta Wati mengiba.“Kenapa? Apa kamu kasihan kepadanya? Kamu masih cinta kepadanya?” cecar Pak Sultan dengan suara yang semakin lama semakin tinggi karena emosi.“Iya, Wati. Kenapa kamu tidak mengizinkan? Ibu kira kamu mau menggugat cerai si Dedy,” timpal Bu Nara tak terima.Tiba-tiba Wati tersenyum, membuat bingung Pak Sultan dan Bu Sultan. Sementara Bu Nara melihat hal yang lain dari senyum Wati.“Atau kamu punya rencana sendiri untuk membalas Dedy dan Rara?” tanya Bu Nara curiga.“Iya, Bu. Aku punya rencana sendiri. Pembalasan yang akan membuat Dedy dan Rara lebih sakit daripada sekedar dihajar,” ujar Wati tenang.“Apa rencanamu?” tanya Bu Sultan ingin tahu.“Aku ingin membuat usaha Rara bangkrut, agar dia merasakan sakitnya
“Iya, Bu. Aku berencana membuka toko kelontong di pasar yang sama dengan Rara. Kalau perlu toko itu berhadapan dengan toko milik Rara. Toko itu menjual barang yang sama dengan barang yang Rara jual, bedanya harganya jauh lebih murah daripada barang di toko Rara,” Wati mengungkapkan rencananya.“Dengan cara itu, lama kelamaan toko Rara tidak laku dan tutup karena bangkrut. Cerdik,” puji Bu Sultan.“Bagus. Kamu pintar membuat strategi. Tak diragukan lagi kamu betul-betul anakku,” sahut Pak Sultan dengan senyum puas.“Agar berhasil, aku perlu bantuan Ayah dan Ibu untuk membeli kios di pasar dan mengisinya dengan barang-barang sembako seperti isi toko Rara,” kata Wati seraya menunduk.“Besok toko itu sudah akan kamu miliki. Apalagi yang kamu perlukan?” tanya Pak Sultan.“Saya perlu dua orang pegawai yang tepercaya untu
Rara mendengar omongan para pegawainya, tetapidia tidak peduli. Rara merasa mereka sangat membutuhkan pekerjaan di tokonya, hingga mau menerima gaji dan perlakuan apa saja dari majikan."Terserah kalian mau ngomong apa. Memangnya kalian bisa apa tanpa aku?" cibir Rara di dalam hati.Setelah jam makan siang, kesibukan toko di depan toko milik Rara sudah berkurang. Kios itu sudah berisikan barang-barang yang tertata rapi. Rara sempat melirik sekilas ke arah toko itu, lalu mencibir ke arah sepasang lelaki dan wanita yang ditebaknya sebagai suami istri.Rara kembali sibuk melayani pembeli, hingga tak lagi sempat memerhatikan toko di seberang sana. Ia baru tertarik untuk kembali melirik ketika mendengar salah satu calon pembelinya berseru cukup keras.“Lihat, itu ada toko kelontong baru. Harganya kok murah-murah betul. Kita coba ke sana, yuk,” ajak ibu-ibu kepada teman di sebelahnya.
Para pegawai toko Rara meriung di belakang toko. Mereka merumpi dengan berbisik-bisik. Sebetulnya Dedy dapat mendengar obrolan para pegawainya, tetapimemilih diam dan tak menghiraukan. Dedy asyik mengkhayalkan Wati, berbuat apa saja semaunya bersama Wati di dalam lamunan. Begitulah Dedy bila sedang ingin, otaknya hanya mau memikirkan hal-hal mesum.“Mas, kok betah sih kerja di sini?” tanya Siti pelan kepada Wawan yang baru saja selesai menata barang di toko.“Bukan betah, sudah lama aku mau pindah, tetapibelum ada pekerjaan yang lebih baik. Aku enggakmungkin menganggur. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jawab Wawan murung.“Kalau Mbak Sri, kok betah kerja di sini selama dua tahun?” bisik Siti kepada Sri, perempuan paling senior diantara para pegawai Rara.“Aku ini janda, Sit. Punya anak kecil dan ibuku sudah tua. Mereka perlu aku b
“Ehem! Bu, harap jangan membuat keributan di sini,” berat suara lelaki terdengar di belakang Rara.Rara berbalik. Ia melihat lelaki kekar berbadan besar yang menjadi pegawai toko berdiri tegak sambil bersedekap. Tatapan matanya tidak ramah, bahkan seolah mengancam Rara. Rara ciut juga melihat otot-otot besar si lelaki.Rara berbalik pergi tanpa basa-basi. Ia menyumpah-nyumpah di dalam hati.“Huft, untung saja,” desah Bu Diwo lega. Bu Diwo kembali mengambil dua kilo gula yang tadi sempat diletakkannya karena tak enak hati kepada Rara.“Bagaimana, Sayang?” sambut Dedy di depan toko.“Toko itu punya preman, Mas,” ujar Rara jengkel, bola matanya melirik dari sudut mata ke arah si lelaki kekar yang kini berdiri tegap di depan toko.“Kamu terlalu tegang. Sini aku pijiti,” kata Dedy seraya memijat lembut pu
Dedy lalu melompat ke kasur dengan penuh semangat, menemui Rara yang sudah siap menyambutnya dengan nafsu yang sama. Namun baru beberapa detik di kasur, Dedy mulai merasakan panas yang tak biasa. Semakin lama semakin terasa menyengat. Apalagi setelah Rara berkata,“Mas, kamu kok bau minyak kayu putih?” celetuk Rara seraya mengernyitkan hidung.Dedy memandang ke bawah perutnya seraya meringis kepanasan. Betul kata Rara, menguar bau minyak kayu putih yang kuat dari bawah tubuhnya.“Kamu salah ambil botol? Ceroboh!” marah Rara kesal.“Aku enggaksalah ambil botol, kok. Lihat!” Dedy turun dari kasur, lalu menunjukkan botol obat oles yang tadi dipakainya kepada Rara.Rara menyambar botol obat oles itu, lalu membuka tutupnya. Bau minyak kayu putih keluar dari dalamnya.“Ada yang sudah mengganti isi botol ini dengan min