บททั้งหมดของ Atasanku, Suami Keduaku: บทที่ 221 - บทที่ 230

Vino dan Galih berpandangan sedetik. Tidak ada waktu untuk menyusun rencana atau bertanya hal terbaik apa yang bisa dilakukan saat itu. Terlebih karena tiga orang menyerbu mereka di saat bersamaan.“Tangkap dan bawa masuk ke dalam. Nggak ada waktu buat cerita panjang lebar. Masukkan ke mobil aja.” Seruan dari salah seorang pria membuat dua pria lainnya semakin tanggap bergerak melumpuhkan Galih yang lebih sulit ditundukkan. Sementara Vino sudah terkapar karena baru saja dihantam sebatang kayu.“Vin! Vino!” jerit Galih. Antara mengawasi Vino dan melindungi dirinya dari dua pria yang cukup kuat bertarung, Galih mulai merasa dirinya amat terpojok.Tadinya tugas yang diberikan Arsya padanya tidak terlalu berat. Dean juga ikut berdiskusi saat ide membawa Mika keluar dari jangkauan Eric menjadi prioritas utama saat itu. Meski mereka bertujuan menculik Mika dari Eric, keberadaan wanita itu di tangan mereka diharap bisa menjadi senjata penting. Nyatanya, hari itu tidak berlangsung mudah. Eric

Tanpa sadar mereka kini hanya bertiga. Setelah semalam suntuk berada di meja kerja, mereka harus kembali tampil rapi di pagi buta. Tanpa menunggu aba-aba mereka bertemu di ruang makan dan belum menemukan apa pun untuk di makan.“Sarapan baru datang paling cepat pukul 7 pagi.” Arsya mengangkat bahu.“Nggak masalah. Aku udah bikin teh sendiri di kamar. Karena hari ini aku punya rencana ke pelabuhan, jadi kurasa berangkat pagi lebih baik.” Dean masih berdiri di dekat meja makan. Memperhatikan Arsya yang membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin.“Aku ke smelter, Mas. Ada sesuatu yang mau aku cek.” Arsya membuka tutup botol dan meneguk isinya.“Saya ikut Pak Dean karena saya perlu jalan melihat-lihat. Maksudnya … benar-benar melihat-lihat. Saya masih cemas dengan keadaan Vino. Kami berdua biasa ngopi di dekat pelabuhan.” Abdul menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di tangannya ada tas besar yang pasti berisi laptop dan segala macam perlengkapannya. “Apa hari ini harus ke smel

Asap pekat masih bergelayut, menelan cahaya lampu pabrik hingga berubah jadi semburat kuning redup. Bau logam terbakar bercampur aroma gas dan debu menusuk hidung. Dari arah pintu darurat, suara langkah berlari terdengar berat, diselingi teriakan memanggil satu nama.“ARSYAAAA!” Suara Dean pecah, parau, tapi memantul keras di dinding baja yang retak.Abdul beberapa meter di belakangnya, terbatuk-batuk hebat sambil menyapu udara dengan tangannya. Puing-puing logam berjatuhan dari atap seperti hujan tipis.Mata Dean terus menyapu ke segala arah, mencari sosok yang tidak keluar bersama para pekerja. Jantungnya berdegup keras di telinga. Lalu ia melihatnya; di sudut dekat tungku nomor empat yang kini tinggal rangka gosong. Arsya tergeletak miring dengan sebagian tubuh tertindih balok baja ringan yang roboh.“Arsya!” Dean melompat melewati potongan besi yang berserakan, lututnya hampir terantuk. Ia berlutut di samping Arsya, tangannya langsung meraih bahu PresDir SB Industrial Energy itu.

TEBING LANDAI – MALAM SEBELUM LEDAKANUdara malam terasa lembap, aroma garam laut merayap dari bawah tebing. Ombak memukul karang, suaranya menggaung seperti drum raksasa di kejauhan.Vino mendarat setengah terpeleset di tanah miring yang licin berlumut. Satu tangan menahan bahu Mika agar tak jatuh, sementara napasnya sendiri masih terengah. Galih sejak tadi bergantung diam di sebuah akar pohon merambat yang sepertinya nyaris tak kuat menahan bobot tubuhnya.“Mungkin lututku retak,” bisik Galih.“Jangan berisik. Sepertinya mereka masih menunggu suara kita.” Vino bicara tanpa tahu di mana letak wajah dan telingan Galih dalam kegelapan. Dalam gelapnya malam satu-satunya cahaya yang mereka harapkan hanyalah cahaya bulan dari celah-celah pohon.“Sekarang kamu bilang jangan berisik? Misiku hampir sukses kalau aja kamu nggak datang. Kamu duluan berisik,” umpat Galih.“Kamu diminta Pak Dean? Siapa suruh kalian diam-diam aja. Aku nggak tau menahu.” Vino tak mau kalah.“Kita mengerjakan bagian

RUMAH SAKIT SWASTA DI PINGGIRAN KOTARuang khusus itu tetap beraroma antiseptik kuat meski disebut sebagai ruangan khusus tempat para pejabat daerah sana di rawat. Senyaman apa pun, tempat itu tetap rumah sakit. Yang membuat nyaman hanya jendela besarnya dan juga tirai krem yang menimbulkan kesan rumahan. Cahaya sore menyorot lembut ke dalam, memantulkan garis-garis halus pada seragam rumah sakit bermotif biru yang dikenakan Arsya.Arsya duduk tegak di kursi, sebuah laptop terbuka di hadapannya. Jemari kirinya menari di atas keyboard, sementara tangan kanannya dibebat perban putih. Luka sayat cukup panjang menghiasi lengannya, dijahit rapi dengan beberapa jahitan halus. Di pelipis dan dagunya juga tampak lecet, tapi bukannya meredupkan pesonanya—justru membuatnya terlihat lebih gagah. Wajah kerasnya dipadu guratan luka itu memberi kesan seorang pria yang selamat dari badai, tapi tak sedikit pun goyah.Di hadapannya, Abdul duduk menunduk, wajahnya masih pucat setelah kejadian di smelte