All Chapters of Dilema Istri Kedua: Chapter 21 - Chapter 30
51 Chapters
Bab 21
Suara isakan mulai terdengar dari bibir Bang Irsyad. Dengan jelas aku bisa mendengar betapa hancurnya hati Bang Irsyad menerima kabar duka dariku."Apa yang terjadi sama bapak, Nay?" tanya Bang Irsyad sambil menangis."Penyakit jantung bapak kambuh, Bang."Ya, bapak meninggal karena penyakit jantung. Tapi itu semua disebabkan Mas Fahri. Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati. Tak ingin Bang Irsyad tahu yang sebenarnya terjadi."Abang pulang sekarang. Tunggu Abang ya, Nay. Abang ingin ikut memandikan bapak untuk terakhir kalinya. Abang masih ingin melihat wajah bapak." Bang Irsyad menangis tergugu."Iya, Bang. Tadi Naya sudah nelpon Bang Raka, dia sedang di jalan mau ke rumah Abang. Bang Irsyad ga boleh nyetir dalam kondisi seperti ini. Biarkan Bang Raka yang menyetir. Hati-hati di jalan ya, Bang. Naya tutup dulu."Sambungan pun terputus. Kumasukkan kembali gawai ke saku piyama. Mas Fahri belum juga kembali dari tempat administrasi. "Bapak, Nay. Bapak ....." Ibu yang dari tadi diam
Read more
Bab 22
Bang Irsyad menatap Ibu menunggu jawaban. Ibu terlihat menghela napas berat."Namanya juga takdir, Syad. Ajal itu bisa datang kapan saja. Jangankan bapak yang sudah berumur dan mempunyai riwayat penyakit jantung, yang masih muda saja banyak yang meninggal tiba-tiba." Jawaban ibu sungguh di luar dugaan. Hingga menyebabkan mataku membulat mendengarnya.Kutatap Mas Fahri yang masih mematung, dia seperti salah tingkah dan merasa bersalah. Mataku kembali menatap Ibu, wanita berhati lembut itu mengangguk pelan. Seolah mengerti dengan kebimbanganku.Bang Raka yang terus setia di samping Bang Irsyad, tak banyak bicara. Dia hanya ikut menyimak pembicaraan kami.Bang Irsyad terdengar menghela napas berat, kemudian berkata, "Tapi ini terasa begitu mendadak. Bahkan aku belum bisa membahagiakan bapak." Wajah Bang Irsyad begitu sendu."Ikhlaskan. Sering-sering kirim doa untuk bapak. Hanya itu yang sekarang bisa kita lakukan untuk membahagiakannya," pesan Ibu. Sungguh ibu terlihat begitu tegar. Mesk
Read more
Bab 23
Pagi aku sibuk membantu ibu membuat kue-kue basah. Saat kutanya untuk apa, Ibu bilang untuk menyumbang makanan di acara maulidan di pesantren. Ya, para warga sudah biasa membantu makanan untuk suguhan semampunya. Ada yang kue-kue basah, lemper, atau apapun itu. Bukan berarti pihak pesantren tidak mampu, tapi sebagian warga yang dekat lingkungan pesantren, ingin sedikit berbagi rezeki juga berharap mendapatkan pahala dengan membantu menyumbang makanan semampunya.Bang Irsyad sudah berangkat kemarin pagi. Naik bus karena mobil sudah dibawa Bang Raka dulu. Lelaki dengan sorot mata elang itu meninggalkan sejumlah uang cash untukku dan ibu. Untuk keperluan sehari-hari katanya. Biar tidak perlu repot-repot ke ATM karena jaraknya lumayan jauh.Sebenarnya tak enak mengandalkan kakak lelakiku itu untuk menafkahiku. Sementara ibu, sudah punya uang pensiunan bapak yang dikirim tiap bulan. Andai aku sedang tidak hamil, aku pasti akan bekerja untuk menafkahi diriku sendiri. Toh aku masih muda.Nam
Read more
Bab 24
Pagi ini aku kembali tidur setelah solat subuh. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kemana perginya Mas Fahri. Padahal ini hari kerja, bukan hari libur. Kalaupun Mas Fahri pergi ke kampung halamannya Nisa, biasanya dia pergi di hari libur karena dia termasuk lelaki yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Tidak biasa libur di hari-hari kerja kecuali memang benar-benar penting.Selain memikirkan Mas Fahri, ceramah Ustad Sodiq tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Betapa selama ini aku selalu mengabaikan kewajiban sebagai seorang muslim karena tidak menutup aurat. "Nay, mau ke mana?" tanya Ibu saat aku memakai jilbab instan setelah sarapan."Enggak kemana-mana, Bu. Cuma mau nyapu di halaman?""Tumben pakai jilbab."Ya, biasanya boro-boro pakai jilbab, baju pun masih menggunakan baju pendek yang kadang cuma selutut. Tapi hari ini, aku ingin mulai menutup aurat jika keluar rumah dengan memakai jilbab meskipun masih pakai piyama lengan panjang, bukan gamis lebar. Pelan-pelan s
Read more
Bab 25
"Permisi, Ibu. Saya mau mengantarkan ini. Dari umi." Ustadz Hafiz terlihat memberikan sebuah bungkusan keresek pada Ibu. "Kata umi, ini bagus buat ibu hamil.""Oh ... buat Naya, ya? Sampaikan terima kasih untuk Umi Fatimah. Repot-repot segala."Ustadz Hafiz hanya tersenyum seraya mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Ibu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam."Ustadz Hafiz berbalik kemudian berjalan menuju halaman rumah, tempat mobilnya terparkir. Sementara ibu kembali duduk di sampingku sambil menyerahkan bungkusan itu."Kok, Umi Fatimah tahu kamu sedang hamil, Nay?""Tadi Naya berangkat ke pasar sama Umi Fatimah, Bu. Sama Ustadz Hafiz juga. Di jalan ngobrol-ngobrol.""Oh. Coba buka. Apa isinya?"Aku pun membuka bungkusan itu."Kurma, Bu," ucapku sambil mengeluarkan dua dus kecil kurma dari keresek."Masya Allah. Umi Fatimah baik banget," tutur Ibu."Iya, Bu. Cantik lagi. Padahal usianya sepertinya sudah tidak muda lagi. Suaminya pasti juga tampan ya, Bu?""Ibu jarang bertemu Usta
Read more
Bab 26
Setelah sampai di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar. Melaksanakan solat duhur kemudian langsung berbaring di atas ranjang. Lelah sekali rasanya. Kakiku juga terasa pegal.Meskipun sudah cukup lama aku berbaring, tapi mataku justru tak mau terpejam. Pikiranku melayang. Kacau. Segala hal berkecamuk memenuhi otakku. Ya, aku memang ingin berpisah dengan Mas Fahri. Tapi mengetahui dia kembali hilang tanpa kabar, tetap membuatku merasa sedikit khawatir. Ketika di mobil tadi, aku sudah membuka blokiran kontak Mas Fahri. Sudah kukirim pesan juga sekadar bertanya dia berada di mana sekarang. Tapi nomornya tidak aktif. Apa dia juga sampai ganti nomor telepon? HuffftttAku menghela napas kasar. Ingin sekali rasanya bercerita, menumpahkan segala kegelisahan, tapi pada siapa? Pada Ibu? Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Dia akan mendukung semua keputusanku. Sementara aku ingin berbagi kepada orang yang netral. Bukan memihakku ataupun Mas Fahri.Ah, iya. Kenapa aku tidak bercerita kepada Umi
Read more
Bab 27
Aku rasanya jadi tak enak karena mengganggu Umi, padahal dia sedang sibuk. "Sepertinya ... Umi sedang sibuk, ya? Maaf Naya ganggu. Naya datang di waktu yang tidak tepat.""Enggak, kok, Nay. Umi cuma mau ke madrasah. Setiap sore kan di madrasah ada sekolah agama untuk anak-anak lingkungan sekitar sini. Umi sama Hafiz yang ngajarin anak-anak. Naya ikut yuk, liatin aja."Aku mengangguk. Lalu aku dan umi berjalan beriringan keluar rumah menuju madrasah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah Umi. Suara anak-anak kecil berlarian sudah riuh terdengar. Pun terlihat ada yang cuma duduk di teras masjid."Umi sudah datang .... Umi sudah datang." Seorang anak laki-laki berteriak kepada teman-temannya yang masih berlarian, hingga mereka langsung diam seketika. Mereka menghampiri Umi, lalu mencium tangan umi satu per satu. Sungguh aku merasa bahagia melihat semua ini. Senyum anak-anak, keceriaan dan kegembiraan mereka. "Yuk, masuk." Umi mengajak semua anak-anak itu masuk ke sebuah ruanga
Read more
Bab 28
Aku tak mampu berkata. Bingung. Itu yang kurasakan sekarang. Jangankan berniat untuk kembali menjalin hubungan rumah tangga dalam waktu dekat. Rumah tanggaku yang sekarang saja belum tahu ke depannya seperti apa. "Kamu nggak perlu jawab apa-apa, Nay. Abang hanya menyampaikan apa yang sebenarnya Abang rasakan. Daripada Abang pendam terus, lebih baik Abang utarakan."Bang Raka sepertinya mengerti tentang kebimbangan yang kurasakan. "Tapi Abang mohon, jangan karena ini, kamu jadi berubah sikap pada Abang. Tetaplah jadi Naya yang seperti biasa. Cerita, cerewet, dan manja. Jangan minta Abang untuk berhenti memperhatikanmu dan menyayangimu."Ah, bagaimana bisa, Bang? Setelah pengakuan yang mengejutkannya ini, bagaimana bisa aku masih bersikap seperti yang dulu. Tentu saja akan tercipta kecanggungan di antara kita. Sayangnya, aku hanya bisa berkata dalam hati."Yuk, berangkat." Bang Irsyad tiba-tiba datang. Diikuti Ibu dari arah belakang. Bang Raka pun bangun dari duduknya. Melirikku seki
Read more
Bab 29
Setelah mendapat kabar dari Mia kalau Mas Fahri masih berada di Jakarta, aku meminta Bang Irsyad untuk kembali mencari keberadaan Mas Fahri. Berkali-kali Bang Irsyad kembali menyambangi rumah Mas Fahri, tapi lagi-lagi nihil. Rumahnya kosong. Pun abangku itu mendatangi kantor Mas Fahri. Jawaban karyawan sama. Mas Fahri sudah pindah.Lagi-lagi aku dibuat putus asa setelah ada sedikit harapan yang muncul. Sekarang aku sudah pasrah, ikhlas, hanya bisa berdoa diberikan jalan keluar yang terbaik oleh Sang Pengatur Kehidupan. Aku harus kembali fokus pada kehamilanku yang semakin membesar. Tak terasa kini usia kandunganku sudah lebih dari tujuh bulan. Itu artinya waktu melahirkan sudah semakin dekat.Beberapa hari yang lalu Bang Irsyad dan Bang Raka sudah pulang kembali ke sini. Aku kembali memeriksakan kandunganku ke dokter kandungan. Dari hasil USG, diperkirakan bayi yang dikandung adalah perempuan. Sungguh, bahagia tak terkira bisa melihatnya walau hanya dari layar USG.Bang Raka dan Bang
Read more
Bab 30
Setelah mendengar penjelasan Nisa, detik itu juga aku langsung minta izin kepada Ibu untuk ke Jakarta. Ibu berjanji akan segera menyusul sambil membawa perlengkapan lahiran. Takutnya waktu melahirkan maju dari perkiraan. Ibu akan meminta Bang Irsyad untuk menjemputnya, kebetulan bulan ini abangku itu memang belum sempat pulang kampung.Dan sekarang di sinilah aku. Di dalam kendaraan roda empat bersama Nisa dan supir yang mengantarnya. Dari tadi aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang terus berjatuhan merutuki semua kebodohanku. Kenapa aku tidak pernah memberi kesempatan kepada Mas Fahri untuk menjelaskan semuanya. Setidaknya aku memberinya kesempatan untuk berbicara. Setiap kali lelaki yang paling kucintai itu datang menemuiku, aku selalu langsung mengusirnya. Emosi selalu saja menguasaiku.Mas Fahri ... maafkan aku, Mas. Kenapa dari dulu aku tidak mengetahui kalau suamiku itu mempunyai penyakit mematikan. Dari dulu dia memang sering mengeluhkan sakit kepala. Bahkan saat s
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status