Semua Bab Dilema Istri Kedua: Bab 41 - Bab 50
51 Bab
Bab 41
Rencananya, ibu dan ayah mertua akan tetap tinggal di ibu kota. Naina, adik Mas Fahri pun bahkan sudah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan akan menetap di Jakarta. Naina akan bekerja di perusahaan milik Mas Fahri."Benar kata ibu, Nak. Kalau Nak Naya tinggal di sini bisa sama-sama mengontrol perusahaan Fahri. Bukankah berarti itu perusahaan Nak Naya dan Syafea?" Kali ini ayah mertua yang bersuara."Benar, Kak. Kita bisa bekerja bersama. Aku pasti senang bisa bekerja bersama Kak Naya," timpal Naina yang dari tadi hanya ikut menyimak. Sementara Nisa, dia memilih diam seperti biasa. Aku menatap wajah ibuku yang juga sedang menikmati sarapannya, mumpung Syafea sedang tidur, katanya. Tapi ibu tak merespon apapun. Wanita yang sudah menua itu hanya menunduk, mengaduk nasi goreng yang masih tersisa setengahnya.Rasanya tidak mungkin aku membiarkan ibu tinggal seorang diri. Tak mungkin ibu mau tinggal di kota ini selamanya. Besok ataupun lusa, dia pasti meminta untuk pulang ke kampun
Baca selengkapnya
Bab 42
Mobil kami sampai berbarengan dengan berkumandangnya adzan duhur. Aku bergegas masuk ke dalam rumah yang baru saja kuncinya dibuka ibu. Pegal sekali rasanya duduk berjam-jam di dalam mobil. Langsung kubaringkan Syafea yang masih tertidur di atas ranjang. Sekalian aku pun ikut merebahkan tubuhku di sampingnya.Wajah Mas Fahri selalu saja terbayang di mataku. Satu-satunya lelaki yang berhasil mengisi relung hatiku kini tinggal kenangan. Membuat mataku kembali memanas dan akhirnya kembali menangis.Kematian suamiku itu baru juga dua bulan lamanya. Masih begitu baru. Tak akan mungkin mudah bagiku untuk melupakannya. Kata orang, semakin lama, bukannya semakin lupa, tapi justru akan semakin ingat. Tentu saja, karena semakin lama, rindu itu pasti semakin menggunung.Kulirik Syafea yang masih tertidur pulas. Lalu aku bangkit berjalan keluar kamar. Bang Irsyad sedang duduk di kursi meja makan. Dia terlihat sedang memainkan gawainya. Aku menuang air putih ke dalam gelas, kemudian ikut duduk di
Baca selengkapnya
Bab 43
Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun sempat tertegun sebentar melihat adanya Bang Raka. Namun, beliau langsung tersenyum sambil sedikit membungkukkan tubuhnya."Umi, ini sahabat Abang saya. Baru saja datang dari Jakarta.""Bang, ini Umi Fatimah sama anaknya, Ustad Hafiz. Pemilik Pesantren Al-Huda."Umi Fatimah, Ustad Hafiz dan Bang Raka sama-sama menganggukkan kepala sambil tersenyum."Silakan duduk, Umi, Ustad. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar."Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun duduk di sofa bersisian. Sementara aku berlalu ke dapur."Ada tamu, ya, Nay?" tanya Ibu yang sedang menyiapkan makan siang saat aku menuangkan air putih ke dalam dua gelas air."Iya, Bu. Ada Umi Fatimah sama Ustad Hafiz.""Tumben, ada apa, ya?" "Enggak tau, Bu. Naya kan udah lama nggak ikut pengajian. Ribet sama Syafea. Ya sudah, Naya ke depan dulu."Aku pun kembali ke ruang tamu sambil membawa baki berisi dua gelas air putih. "Silakan diminum, Umi." Aku menyimpan gelas itu di meja di hadapan Umi Fatimah da
Baca selengkapnya
Bab 44
Sekarang aku sudah pulang kembali ke kampung halamanku setelah seminggu berada di Jakarta. Meskipun ibu dan bapak mertua belum puas melepas rindu dengan cucunya, namun aku juga harus memikirkan perasaan ibuku sendiri yang lebih betah dan nyaman tinggal di kampung halamannya.Seperti biasa, sebelum pulang aku mampir dulu ke makam Mas Fahri untuk mendoakannya. Setelah di kampung, aku kembali dekat dengan Umi Fatimah. Sering berkunjung ke rumahnya sambil menggendong Syafea menikmati udara sore hari. Terkadang menemani umi mengajar anak-anak sekolah agama. Syafea suka anteng kalau di ajak ke madrasah melihat dan mendengar anak-anak mengaji. Semoga kelak ia akan menjadi anak yang solehah.Bang Raka juga kembali gencar mendekatiku, memperhatikanku. Setiap hari lelaki yang kukenal sejak lama itu video call atau sekedar mengirim pesan. Namun jika pesannya atau pembicaraannya sudah menjurus ke hal-hal yang belum kuinginkan, segera kualihkan pembicaraan ke topik lain. Dan sepertinya Bang Raka
Baca selengkapnya
Bab 45
Setelah mengetahui masa lalu kelam Bang Irsyad, aku tidak pernah lagi membahas tentang Nisa dihadapannya. Ya, aku mengerti perasaannya. Kecewa, terluka. Dikhianati oleh orang yang begitu kita cintai itu sangat menyakitkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan masa lalu Nisa. Hanya dia sendiri yang tau. Namun, tak ada manusia yang cela tanpa dosa. Begitupun bagi seorang Nisa. Mungkin dulu dia telah berbuat khilaf hingga hamil diluar nikah. Meski aku sendiri tak tau bagaimana kondisi bayi yang dulu pernah dikandung oleh Nisa. Apakah ia pernah terlahir ke dunia, atau justru tidak sama sekali.Aku begitu sering bertemu Nisa, bahkan dia selalu menginap di rumahku jika aku sedang berada di Jakarta. Namun, aku tak pernah berniat sekalipun untuk bertanya tentang masa lalunya. Bahkan aku tak berhak untuk tau. Biarlah itu menjadi masa lalu Nisa dan Bang Irsyad yang mereka kubur selama ini.Waktu begitu terasa cepat berjalan. Hari ini tepat satu tahun usia Syafea. Tidak ada perayaan. Aku han
Baca selengkapnya
Bab 46
Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s
Baca selengkapnya
Bab 47
Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu
Baca selengkapnya
Bab 48
"Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter
Baca selengkapnya
Bab 49
Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam
Baca selengkapnya
Bab 50
Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status