All Chapters of Dilema Istri Kedua: Chapter 31 - Chapter 40
51 Chapters
Bab 31
Bahagia sekali rasanya bisa merasakan kembali cinta yang sebelumnya pernah aku ragukan. Sekarang tidak lagi, aku tidak akan pernah meragukannya lagi. Dia lah cintaku, kekasihku, imam yang tepat untuk keluarga kecilku.Hatiku telah begitu lama tertambat pada hatinya. Pun dia, sama. Cinta kami abadi. Aku tidak akan pernah menyesali telah mencintainya. Aku tidak akan pernah menyesal telah memilihnya menjadi suamiku. Walaupun pada kenyataannya aku hanya istri keduanya. Tapi di hatinya, aku lah satu-satunya. Tak pernah tergantikan.Andai dulu aku bersabar sedikit saja, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Bapak tidak akan pergi. Mas Fahri juga tidak akan seperti ini. Penyesalan yang dalam kini benar-benar kurasakan. Padahal apa salahnya aku mencoba. Toh Mas Fahri tidak pernah menyakitiku dalam hal fisik ataupun kata-kata. Kecuali kebohongannya. Kini penyesalan pun tiada guna."Mas istirahat lagi, ya. Biar cepat sembuh. Kalau sudah sembuh, nanti kita pulang ke rumah. Rumah yang dari dulu k
Read more
Bab 32
Tak berselang lama setelah Nisa pergi, tiba-tiba sakit di perutku berangsur menghilang. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak tau, karena ini kehamilan pertamaku. Aku belum punya pengalaman apa-apa tentang kehamilan.Samar kulihat Nisa berjalan dengan cepat menuju ke arahku, bersama seorang suster. Rasa sakit yang tiba-tiba menghilang membuatku merasa tak enak pada Nisa dan suster itu karena sudah merepotkan mereka."Mbak, ini susternya," ucap Nisa saat sampai di hadapanku."Kenapa, Bu? Apa yang ibu rasakan? Ikut saya, ya, Bu. Biar saya periksa," tanya sang suster."Maaf, sus. Tadi perut saya sakit banget. Melilit gitu. Saya tidak tau itu ciri-ciri mau lahiran atau bukan. Soalnya ini kehamilan pertama saya. Tapi ... sekarang rasa sakitnya sudah hilang lagi." Aku berusaha menjelaskan."Oh, mungkin ibu mengalami kontraksi palsu. Itu biasa dialami oleh ibu hamil di trimester ketiga. Tapi kalau suatu saat ibu mengalami mulas yang berkepanjangan, ibu langsung saja ke bagian ibu dan anak," p
Read more
Bab 33
Kanker kelenjar getah bening atau limfoma stadium 4 merupakan tahap akhir dari penyakit ini. Pada tahap ini, sel kanker dimulai di kelenjar getah bening dan telah menyebar ke satu atau lebih organ tubuh di luar sistem limfatik seperti paru-paru, tulang, hati, dan sumsum tulang. Peluang sembuhnya semakin kecil karena sudah menyebar ke organ lainnya. Penjelasan dari dokter tadi mengenai penyakit Mas Fahri benar-benar membuat duniaku seakan runtuh. Meski aku yakin, keajaiban Tuhan itu ada, tetap saja aku takut. Karena kemungkinan untuk sembuh itu kecil sekali. Dengan gontai dan hati yang remuk redam aku berjalan menuju ke kamar Mas Fahri. Perkataan dokter tentang sedikit harapan tentang kesembuhan Mas Fahri terus terngiang di telingaku. Hingga air mata terus membanjiri kelopaknya kemudian jatuh berderai mengaliri pipi.Setelah sampai di depan pintu ruangan Mas Fahri, aku tertegun sejenak. Aku menghela napas panjang kemudian mengembuskannya. Berkali-kali kulakukan untuk menormalkan sedi
Read more
Bab 34
Mataku langsung terbuka mendengar rintihan dari Mas Fahri. Dengan cepat aku menghampirinya. Matanya masih terpejam. Keningnya terlihat basah oleh keringat. Kuguncang pelan tubuhnya, agar berhenti mengigau."Mas, Mas kenapa?" Aku berbicara pelan tepat di dekat telinganya.Dia lalu membuka matanya. Melirikku. Napasnya terlihat memburu. Dadanya masih turun naik. "Mas, mimpi, Nay. Mimpi yang benar-benar menakutkan. Mas bermimpi kamu meninggalkan Mas di suatu tempat yang terlihat asing. Tak ada siapapun di sana. Mas sendirian. Kamu terlihat berjalan semakin jauh meninggalkanku, sampai akhirnya hilang tak terlihat lagi."Mas Fahri menjelaskan mimpinya dengan sedikit gemetar. Sepertinya dia memang benar-benar ketakutan."Itu cuma mimpi, Mas. Buktinya, aku ada di sini,kan. Kamu minum dulu, ya."Aku mendekatkan sebuah botol air mineral pada bibir Mas Fahri yang sudah diberi sedotan. Dia menyedot air itu perlahan. Kemudian melepaskannya. Aku kembali menyimpan botol itu di nakas pinggir ranjan
Read more
Bab 35
Aku segera membantunya. Suamiku itu terlihat masih kesusahan untuk turun. Sepertinya dia masih lemah, belum terlalu kuat untuk berjalan."Mas mau coba jalan, Nay." Dia ingin mencoba berdiri."Memang Mas sudah beneran kuat?" Aku memegang kedua bahunya, membantu untuk memapahnya.Namun, ketika kakinya menapak ke lantai dan mencoba untuk melangkah, badannya hampir kembali ambruk jika saja aku tak sigap membantunya. Untungnya tubuhnya tidak sebesar dulu, sehingga aku bisa lebih mudah memapahnya. Bobot tubuhnya berkurang drastis."Jangan dipaksakan kalau belum kuat, Mas." Aku kembali membantunya duduk di pinggir ranjang."Tapi, Mas sudah bosan di kamar terus, Nay. Mas mau jalan-jalan ke luar. Mau menghirup udara segar."Ya, aku mengerti. Mas Fahri pasti bosan. Tapi bagaimana lagi. Bukankah orang sakit memang harus mendapat istirahat sebelum sembuh?Di saat bersamaan, untungnya datang seorang suster. Seperti biasa, dia mengecek kondisi Mas Fahri."Maaf, sus. Suami saya ingin jalan-jalan seb
Read more
Bab 36
Bayiku sedang dibersihkan oleh asisten dokter, sementara aku masih diurus oleh dokter kandungan. Jalan lahirku mengalami kerobekan cukup besar, hingga harus dijahit cukup banyak. Aku hanya bisa meringis menahan perih saat tusukan demi tusukan jarum menembus kulitku.Mas Fahri yang baru saja diminta kembali ke ruang rawatnya, hanya bisa menatapku sendu. Dia sudah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana seorang wanita berjuang bertaruh nyawa demi melahirkan buah hatinya."Ayo, Nak Fahri." Ibu mendekati Mas Fahri kemudian mendorongnya menuju pintu keluar. Namun mata Mas Fahri terus saja menatapku sampai dia benar-benar tak terlihat lagi.Sedetik kemudian ibu kembali lagi menemaniku. Karena di luar sudah ada Nisa yang akan kembali membawa Mas Fahri ke kamarnya.Tepat pukul delapan malam semua sudah selesai. Dokter dan suster pun sudah keluar dari ruanganku. Aku masih ditemani ibu dan Bang Irsyad yang tak lama datang."Bang, Bang Raka mana? Kok, ga ikut?""Ada urusan katanya."Entah
Read more
Bab 37
Ucapan Nisa terus terngiang-ngiang di telingaku. Mas Fahri kritis? Bukankan kemarin sore kami masih melakukan video call. Mas Fahri terlihat biasa-biasa saja, sama seperti sebelumnya. Hanya saja, wajahnya memang sedikit pucat. Saat kutanya, mungkin karena kurang tidur katanya. Dia merindukanku dan juga Syafea, putrinya."Saya akan segera ke sana, Mbak," ucapku pada Nisa.Akupun segera mematikan sambungan telepon."Kenapa, Nay?" tanya ibu cemas."Mas Fahri, Bu. Mas Fahri kritis.""Astagfirullah. Ya, sudah. Kamu cepetan ke rumah sakit. Biar ibu di sini jagain Syafea," titah Ibu."Biar Abang antar, Nay," tutur Bang Raka yang masih menggendong Syafea.Aku mengangguk, "Naya ganti baju dulu."*****Aku dan Bang Raka baru saja berangkat menuju rumah sakit. Jaraknya memang lumayan jauh dari rumah Bang Irsyad, sekitar 20 km. Rasanya aku ingin segera sampai ke rumah sakit. Tak sabar ingin bertemu dengan suamiku itu. Meski kondisiku belum terlalu pulih, aku janji akan kembali menemaninya dan me
Read more
Bab 38
"Dokter mengizinkan, Pa. Dengan syarat harus ada suster yang akan mengawasinya 24 jam. Ibu sudah menyetujuinya. Nanti dokter akan mengirimkan salah satu perawat dari rumah sakit ini," tutur ibu membuat aku merasa lega sekaligus cemas.Ya, sebenarnya aku takut, pengobatan di rumah kurang maksimal. Tapi demi kebahagiaan dan kenyamanan Mas Fahri, terpaksa aku pun menyetujuinya.Aku langsung menghubungi ibu, memberitahunya, bahwa mulai hari ini, aku, Syafea dan ibu akan tinggal di rumahku dan Mas Fahri dulu. Sementara Nisa, ibu dan ayah mertua, memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mereka yang sekarang. Selain karena kamar di rumahku dan Mas Fahri hanya ada tiga, juga ingin membiarkan Mas Fahri dan aku merasakan kehidupan rumah tangga normal seperti yang lain.Sebenarnya aku sudah mengajak Nisa untuk tinggal bersama sambil membantuku merawat Syafea, tapi dia menolak dengan alasan tidak bisa merawat bayi. Hingga lebih baik, tetap ibuku saja yang akan membantuku untuk merawat Syafea.Mes
Read more
Bab 39
Aku kembali mengguncang tubuh Mas Fahri. Dia tetap tak merespon. Dengan gemetar, kutempelkan jariku ke hidungnya. Kenapa dia tidak bernafas? Aku beralih mengambil pergelangan tangannya, kemudian memeriksa denyut nadinya.Tapi kenapa denyut nadinya juga tidak ada? Aku kembali mencobanya, meraba-raba denyut nadinya. Tidak ... ini tidak mungkin. Mas Fahri hanya pingsan. Ya, aku yakin dia mungkin pingsan.Kuambil kayu putih dari atas meja rias, kemudian menggosokkannya ke area hidung, kaki, dan tangan Mas Fahri."Mas ... aku mohon bangun, Mas. Aku mohon." Aku terus mengguncang tubuh Mas Fahri. Air mata sudah mulai berjatuhan. Jantungku berdebar luar biasa.Dengan air mata berderai dan hati yang berkecamuk, aku keluar dari kamar. Mengetuk kamar ibu."Kenapa, Nay?" tanya ibu saat membuka pintu kamarnya. Wanita paruh baya itu masih mengucek matanya karena ini memang masih tengah malam."Kenapa, Bu Naya?" Suster Dina yang kamarnya bersebelahan dengan kamar ibu ikut keluar."Mas Fahri, Bu. Mas
Read more
Bab 40
Aku menatap gundukan tanah merah di hadapanku dengan hati yang remuk redam. Masih terbayang dengan jelas, saat tadi jenazah suamiku dimasukkan ke dalamnya. Tangisan keluarga kembali pecah saat itu. Pun denganku. Bahkan aku kembali hampir pingsan hingga harus dibopong beberapa orang.Tak kuat rasanya melihat orang yang begitu kita cintai dimasukkan ke dalam liang lahat. Lalu perlahan tubuhnya ditimbun tanah hingga tak terlihat lagi. Jangan tanya bagaimana nestapanya hatiku? Seolah jiwaku ikut terkubur di dalamnya. Ibu dan ayah mertua berkali-kali menguatkanku. Pun Nisa dan Bang Irsyad yang tak pernah beranjak dari sisiku. Sementara ibuku, terpaksa tidak ikut karena harus menemani Syafea di rumah. Tak elok rasanya jika harus meninggalkan bayi perempuan itu bersama suster Dina. Meskipun sudah seminggu aku mengenalnya, tapi tetap saja aku harus berhati-hati pada orang asing."Sabar, Nak. Sabar. Ikhlaskan kepergiannya, Nak. Agar dia beristirahat dengan tenang," ucap ibu mertua saat tangis
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status